06 · Proposal Fosil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kafe Semasa Bersama semakin hidup seraya malam semakin larut. Sudah jam sembilan lewat 15 menit ketika Banu akhirnya membalik halaman terakhir proposal skripsi yang diserahkan Bina, menampilkan lembar daftar pustaka.

Kini, dua manusia itu masih duduk di tempat yang sama, setelah terpisah sembilan tahun tanpa kontak langsung, dengan status yang sudah jelas: Dosen Pembimbing Skripsi dan Mahasiswa Angkatan Tua.

"Bagaimana, Pak?" tanya Bina dengan nada datar.

Banu membalik proposal setebal dua belas halaman yang sudah lecek itu kembali ke halaman cover, membaca sekilas judul yang diajukan Bina.

[Asimilasi Kebudayaan Jawa dan Madura di Desa Pandalungan, Kabupaten Ndalung, Jawa Timur :
Sebuah Penelitian Budaya oleh Sabina Eka Gayatri

Jurusan Sejarah Budaya
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Jayanegara
]

Sang dosen muda menghela napas sesaat. Sebuah paraf bernamakan inisial 'Pranoto' tercoreng di halaman itu, berserta tanggal dikumpulkannya lembaran tersebut—18 bulan yang lalu.

"Ini ... proposal daur ulang, ya?" Banu menatap mahasiswi bimbingannya itu lekat-lekat. Tanpa ragu, Bina mengangguk.

"Iya. Itu sebenarnya tugas akhir di mata kuliah Praktek Penelitian dan Seminar Sejarah. Kata Pak Pranoto bisa diteruskan untuk jadi judul skripsi. So I did what I was told."

Banu kembali mendesah. Pemuda itu memijit pangkal hidungnya.

"Seburuk itu, ya?" tanya Bina yang tak bisa mengindahkan gelagat kecewa Banu. Segagal itu kah aku? lanjutnya dalam hati.

"Dapat nilai apa?" ujar Banu tiba-tiba.

"Hm? Apanya?"

"Ini, di mata kuliah PPSS. Kamu dapat nilai apa dengan proposal ini?"

Bina tampak mengingat-ingat. "Emmm ... C?"

Banu semakin kelihatan puyeng.

"Separah itu, ya, Ban?" gumam Bina yang dijawab dengan garukan kepala Banu.

"Yah ... kayaknya proposal ini harus kubawa nginep dulu, nanti kita ketemu lagi pas aku sudah rampung nganalisis isinya, sekalian ngasih catatan mana-mana saja yang perlu kamu ... perbaiki. Nggak papa 'kan?"

"Iya."

Bina mengangguk pasrah. Sedikit disesalinya kenapa tidak menyempatkan diri mencetak ulang file proposal tersebut.

**

Bina tiba di rumah ketika jarum panjang menunjukkan seperempat jam menuju tengah malam. Pak Santo yang sedang membaca jurnal di sofa ruang tamu menyambut salam anaknya dengan pandangan menganalisa.

Sabina tampak lelah dan kalah.

"Gimana, Bin?" tanya sang ayah.

Dia tau anak gadisnya baru saja melakukan bimbingan skripsi pertama kali dalam tahun ini. Dari raut wajah dan bahasa tubuh Bina, sepertinya tidak berjalan dengan baik.

"Bina capek, Yah. Bisa jangan ditanya-tanya dulu?" Bina membalas dengan suara parau. Gadis itu melepaskan jaket dan menggantungnya di tanduk rusa.

"Oke, langsung istirahat saja kalau begitu," jawab Pak Santo dengan nada menenangkan. "Kamu sudah makan belum?" lanjutnya, ketika Bina telah berlalu dari ruang tamu.

"SUDAH!" teriak Bina dari ruang tengah. Makan hati, lanjutnya tanpa suara.

Sabina langsung menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Rebahan adalah satu-satunya tujuan hidupnya saat ini. Sambil memejamkan mata, sekelebat ingatan mengalir tanpa diminta, tentang kejadian malam itu ketika dia hendak berpisah dengan Banu.

Ketika tadi Bina dan Banu berjalan meninggalkan Semasa Bersama menuju parkiran, Bina merogoh kunci motor Beat-nya di dalam saku jaket, sementara Banu mengekor di belakang. Tak ada angin ataupun ada hujan, tiba-tiba Banu melontarkan satu pertanyaan.

"Jadi, kenapa jurusan Sejarah?"

Langkah Bina terhenti seketika. Gadis itu membalas, "Kamu sendiri kenapa tiba-tiba jadi dosbing skripsi di jurusanku?"

Banu tersenyum manis menanggapi mulut pintar Bina. "Kalau aku jawab, kamu bakal jawab juga?"

Bina mengedikkan bahu. "Maybe."

"Sebenernya nggak tiba-tiba juga, sih, Bin. Aku udah tiga semester jadi tangan kanannya Pak Pranoto. Ngincer rekomendasi buat lanjut S3. Beliau itu salah satu kliennya Kak Misha, makanya aku bisa kenal. Nggak nyangka ternyata beliau itu DPA*-mu, Bina."

"Oh." Bina mengangguk. Nadanya yang getir luput dari pendengaran Banu.

"Kalau kamu? Bukannya dulu tujuanmu masuk jurusan Antropologi? Kenapa melenceng jadi Sejarah?"

Dada Bina mencelus. Rasanya, seperti jatuh tercebur lumpur. Tapi bukan Sabina Eka Gayatri namanya jika merengek termehek-mehek oleh keadaan. Dengan satu tarikan napas, Bina mengukuhkan nyalinya bermodalkan slogan iklan detergen, 'berani kotor itu baik'.

"Nggak diterima," jawab Bina santai. "Jurusan Antropologi di negara ini 'tuh adanya di Perguruan Tinggi Negeri yang passing grade-nya ketat banget. UI, UGM, UNPAD, UNAIR ... pokoknya kampus-kampus yang raksasa gitu lah. Aku yang cuma remah-remah fosil ini ya mana lolos, Ban. So I took the next best thing, Sejarah ..."

Banu masih memikirkan hendak merespons apa. Sepertinya gadis ini sudah berada di fase defensif paling akut sampai tidak lagi malu-malu untuk menjabarkan kegagalannya, sekaligus penerimaan berbalut insecurity yang Bina coba tampik jauh-jauh. 

Banu harus berhati-hati pada gadis rapuh di hadapannya ini.

Bina berdeham dan melanjutkan, seakan bisa meraba arah pikiran Banu. "It's okay, really. Kamu pernah dengar istilah 'tak ada rotan, akar pun jadi', nggak, Ban?"

"Ah, iya ...." Banu sempat berpikir bahwa percakapan ini akan berbelok kea rah positif. Namun ternyata tawa getir Bina membuktikan sebaliknya.

"Bundaku dulu benci banget sama pribahasa itu. Katanya, rotan ya rotan, akar ya akar. Aku dulu nggak begitu paham maksudnya apa, tapi sekarang aku seakan-akan ketampar sama realita. Bunda benar, kita nggak bisa cari alternatif dari tujuan utama kita, bakal kacau jadinya."

Gadis itu tertawa sumbang sambil memainkan kunci motor.

"Aku pikir, lebih mudah loncat linjur* ketika ambil studi satu rumpun ilmu yang sama. Aku pikir Sejarah dan Antropologi nggak terlalu beda. Eh, ternyata, makin ke belakang makin jauh melencengnya. Aku terlalu sok tau, baru sadar belakangan kalau fokus ilmu Sejarah itu sama sekali nggak seperti yang aku harapkan—terlalu sistematis, nggak fleksibel. Itu sebabnya aku nggak terlalu peduli lagi sama kuliah selepas semester tujuh."

Sudah, selesai sudah Bina menumpahkan aib kegagalannya dalam perkuliahan.

Malu? Tentu saja.

Lega? Entah kenapa ... iya.

Sementara itu, Banu masih terpekur setelah mendengarkan kisah Sabina. Tanpa terasa, mereka sudah sampai di ujung parkiran kafe, tempat Bina memarkir motornya.

"Makasih ya, Pak Bahari, terlepas dari saya yang niat-nggak-niat ini, Bapak sudah mau repot-repot mengoreksi proposal saya yang nggak layak itu." Bina menunjuk tas kerja Banu, di mana tersimpan proposal skripsi daur ulangnya tadi.

Drrtt—drrrtt ....

Getaran ponsel di dada Bina membuyarkan lamunannya. Kedip notifikasi membuat kantuk gadis itu jadi tertunda.

Di Ujung Tanduk
(3 participants)

|Rani Mahmud
|Teman2, senin jadi ke kampus kan?

|Pranadipa
|Yo

Eh? Senin besok?? |

|Rani Mahmud
|Iya, Bin.
|Jangan bilang kamu lupa? Kan kita disuruh ngurus administrasi sama P. Pranoto

Oooo iyaya |

|Rani Mahmud
|Udah gitu aja, sekedar mengingatkan (emot sungkem)

Eh tunggu-tunggu! |
Kalian pada dapet dosbing siapa? |

|Pranadipa
|Gw sih pembimbing 1 Pak Pran, tapi yg ngoreksi asistennya
|Yg katanya dosbing 2 itu loh, di surat. Bahari-something-something

|Rani Mahmud
|2in
|Sama, Bahari Nugraha namanya

Oooh |
Berarti kita be3 sama-sama dibimbing Pak Pranoto dan diserahin ke asistennya itu? |

|Pranadipa
|Yoi

|Rani Mahmud
|Sepertinya

OK |
Betewe kalian udh ketemu? Sama asistennya itu? |

|Pranadipa
|Enggak, belum. Senin ini gw janjian

|Rani Mahmud
|2in lagi, aku baru kontekan lewat WA, dan udh kirim soft file proposal via e-mail
|Kenapa Bin?

Gpp |

Bina meletakkan ponselnya ke atas nakas. Hari ini begitu panjang. Minggu ini, sepertinya akan lebih panjang. Bina harus istirahat cukup agar tidak menjadi zombi pada hari Senin nanti.

Semangat, Bina! Jadi tawanan skripsi itu butuh tenaga! Yuk bobok yuk.

**

[Words 1071]

*DPA : Dosen Pembimbing Akademik.

*Linjur : lintas jurusan, berpidah-pindah disiplin ilmu pada ranah akademik, berbeda dari jurusan asal yang semula dipelajari.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro