16 · Metode Sejarah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sabina melangkahkan kaki keluar dari ruang jurusan dengan dada yang terasa ... aneh, tapi lega. Lega tapi aneh. Lega yang aneh.

"Kak Misha bilang kalau bisa aja kamu ... trauma, karena masalah dulu."

Bina masih kesulitan menahan tawa mendengar kalimat itu. Gadis itu sedikit tersanjung dan terharu dengan Kak Misha yang mau repot-repot memikirkannya.

Sesi bimbingan dengan Banu tadi menyimpulkan bahwa lelaki itu mempunyai inisiatif baik untuk memperbaiki hubungan, mendamaikan luka.

Sejujurnya, Bina masih agak tidak percaya.

Semudah itu kah aku baik-baik saja? Apa karena waktu yang udah bekerja mem-baik-baik-saja-kan semuanya? Gadis itu tak habis pikir. Tapi toh, ada 'oleh-oleh' berfaedah yang diberikan Banu pada saat penghujung bimbingan kali ini: deadline.

Anjay banget kan?

Bina harus merampungkan proposalnya—proposal 2.0 yang lebih masuk akal, menurut Banu—dalam dua minggu. Ah, itu artinya dia harus melepaskan beberapa job translasi subtitles yang akan datang.

Tapi tak apa. Bina tak ingin tertinggal dari teman-temannya.

Gadis itu sempat ingat di perpus jurusan sebelum ia hengkang tadi, Dipa minggu depan sudah bisa menyerahkan proposal finalnya pada Pak Pranoto.

Aku bisa, aku pasti bisa. Ku harus terus berusaha, joss!

Bina bermonolog dengan dirinya sendiri seraya memasuki perpus jurusan, tempat dua teman seperjuangannya—tadinya—berada.

Saat ini kursi mereka kosong. Bina ditinggal.

Buru-buru, Bina mengecek ponselnya dan benar saja, sebuah pesan dari Rani mengabarkan Bina jika kongkow-kongkow grup itu di perpus jurusan telah bubar jalan. Dipa harus pulang untuk manggung di kafe, sementara Rani telah dijemput oleh suami tercinta.

Bina benar-benar ditinggal.

Kuampret! runtuk gadis itu dalam hati sebelum akhirnya balik kanan.

Langkah kaki Bina terhenti di dekat gerbang keluar fakultas. Gadis itu merogoh kunci motor di kantung kecil ranselnya. Si Beat yang baru saja keluar dari bengkel menantinya dengan setia. Dengan satu tarikan gas, gadis itu menderu pulang.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Bina bersemangat membuat tugas—mengetik proposal skripsi.

**

Pusing yang dirasakan Bina benar-benar sebuah kepusingan yang memuaskan.

Aneh memang, menyetarakan kata 'pusing' dengan 'puas' dalam satu kalimat.

Tapi nyatanya, itulah yang dirasakan Bina saat gadis itu merenggangkan tubuhnya yang sedang tersandera di meja belajar.

Kretek, krek-krek ... suara tulang manula usia 25 bergemeretek ketika Bina menolehkan lehernya. Rasanya sulit dipercaya dia masih mengemban status sebagai mahasiswa.

"Sudah mau tengah malam, anak Ayah kok masih rajin aja? Ngga takut skripsinya berubah jadi labu nanti?"

Pak Santo menerobos masuk kamar Bina sambil menyerahkan mug berisi energen rasa cokelat. Sang ayah hafal betul kebiasaan putrinya yang mudah lapar di malam hari, belum lagi penyakit lambung yang membayangi sang siluman kelelawar sewaktu-waktu.

"Emangnya aku Cinderella, Yah?" cibir Bina sambil meraih cangkir pemberian ayahnya. Detik berikutnya, gadis itu telah menyeruput minum-makanan-bergizi tersebut.

"Coba sini, Ayah lihat." Pak Santo merunduk ke arah laptop Bina, yang buru-buru dicegah oleh gadis itu.

"Jangan, Yah! Malu!!"

"Haish, ngapain malu. Kamu aja pas masih kecil Ayah yang mandiin kok."

Bina ternganga hendak protes akan kalimat absurd ayahnya, namun Pak Santo keburu menyambar tetikus yang lepas dari genggaman Bina, sebab tangan gadis itu tersandera oleh mug energen sepenuhnya.

"Ayaaahhh!" protes Bina dengan nada tak terima, mendadak merasa minder ketika bagian abstrak-nya dibaca oleh sang ayah.

"Mmmm, sebentar," balas Pak Santo.

Akhirnya Bina pasrah, meminum energen sampai tandas seraya meneguk rasa malunya seiring hangat cokelat dan sereal turun mengaliri tenggorokan.

"Wah ...." Pak Santo melepaskan tetikus saat selesai membaca draf proposal Bina. "Rasanya seperti flashback, baca tulisan bunda kamu."

Kata-kata ayahnya membuat Bina membatu. Kenapa di saat gadis itu berniat menjadi dirinya sendiri, lepas dari bayang-bayang Bunda, tapi malah semakin disama-samakan begini rupa?

"Ayah serius?" gumam Bina.

Pak Santo mengangguk. "Bahasa tulisan kamu dan bundamu mirip sekali, Bina. Ditambah topik pembahasannya juga selaras—cuma ini Ayah baru lihat, pendekatan dari kacamata historis seperti ini. Hebat sekali anak Ayah ini."

Bina bisa merasakan tepukan sayang di punggungnya. Pak Santo menyemangati anak gadisnya dengan sepenuh hati, tapi entah mengapa Bina merasa tidak tersemangati dengan optimal.

"Yah ... itu yang ngerancang outline-nya si Banu, loh, bukan aku. Jadi yang hebat itu dia. Aku cuma ngikut aja."

Bina menaruh mugnya di atas meja. Pak Santo tampak mengerutkan keningnya.

"Banu kan ... jadi asistennya Pak Pranoto itu, ya? Dia bantu kamu bikin ini? Yang ngedraf ini?"

Bina mengangguk lemah.

"Berarti tetep hebat anak Ayah dong!"

Bina mendongak. Gadis itu menatap ayahnya tak mengerti. "Why?"

"Karena kamu bisa mengikuti instruksi dengan baik sekali. Belum tentu kalau orang lain yang mengerjakan sesuai arahan Banu, hasilnya akan jadi sebegini detail. Ya toh? Keliahtan sekali, Bina, ini kamu nulisnya pakai hati."

Sabina sontak tertawa tipis. Ah, sepertinya kali ini sang ayah berganti taktik dari menyemangati jadi menggombal.

"Ayah, aku tuh ngetikna pake tangan, bukan pake hati!"

Celetukan Bina disambut tawa renyah Pak Santo.

"Udah ah, Yah, aku mau lanjutin lagi. Dikit lagi selesai kok." Bina mendorong mug kosong ke arah Pak Santo, yang dengan senang hati diterima oleh ayahnya itu.

"Jangan tidur pagi-pagi, Cantik. Nanti mata kamu jadi kayak seragam PNS, ada kantongnya," pesan Pak Santo sebelum mencium pucuk kepala anak gadisnya, untuk kemudian berjalan keluar dari kamar Bina.

Bina terdiam beberapa detik menatapi kursor yang berkedip stagnan.

Bunda, apa aku masih boleh berharap untuk jadi seperti Bunda?

Apa aku bakal mulai jadi denial lagi?

Apa aku bakal meleng lagi seperti kemarin?

Dengan kalut Bina sambil men-save progres drafnya. Gadis itu lantas menuruti omongan sang ayah, pergi tidur.

**

Dalam proses penelitian sejarah, ada yang namanya Metode Sejarah. Ini adalah rumus krusial bagi para mahasiswa jurusan Sejarah Budaya UNJ yang sedang menjalani proses tugas akhir, skripsi. Bina tak terkecuali.

Sebenarnya, Metode Sejarah itu terdiri dari empat langkah penting;

Heuristik—mencari berbagai sumber sejarah, bisa berupa bukti tertulis, foto, video, atau bahkan wawancara langsung.

Setelah itu, Kritik—menyaring ulang sumber-sumber tersebut, apakah valid atau tidak, asli atau tidak, bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.

Ketiga, Interpretasi—menyambungkan benang merah dari temuan sumber sejarah yang telah divalidasi, menjadi satu kesatuan cerita yang runtut.

Terakhir, Historiografi—menuangkan fsemuanya ke dalam tulisan. Bina agak sedikit sableng. Dia tidak menjalankan Metode Sejarah itu runtut sesuai alurnya.

Bina, si anak rebel yang suka semaunya, kebiasaan melewati proses Kritik, keburu loncat ke Historiografi, nyicil nulis-nulis berhadiah, eh tau-tau salah aja, balik ke Interpretasi, menyambungkan (baca: menambal) apa yang tadinya tak runtut, dengan cara kembali ke langkah pertama, Heuristik, mencari-cari sumber data di saat sudah terjun setengah penelitiannya.

Pusing? Tentu saja.

Bukan cuma Bina, tapi Banu juga.

Lelaki itu tersenyum kecut ketika Bina duduk di hadapannya, menyerahkan map plastik berwarna kuning cerah yang berisikan draf proposal skripsinya. Draf tersebut adalah revisi keempat dalam minggu ini.

"Bina, kamu ini on fire sekali. Tapi efeknya, saya yang kebakaran," cetus Banu sambil mulai memeriksa isi map kuning tersebut.

"Kalau Bapak nggak nyuruh saya revisi terus-terusan dan nge-ACC langsung mah, ya nggak bakal kebakaran gini." Celetukan Bina membuat sang dosbing menaikkan satu alisnya.

"Kalau kamu siap dibantai sama Pak Pranoto sih, silakan." Banu mulai membalik lembaran draf.

"Hehehe, ampun bang jago."

Bina pasrah menunggu Banu selesai membaca sampai akhir. Setelah lima menit yang terasa bagai lima abad, akhirnya sang dosbing meletakkan map kuning itu juga.

"Selamat, Sabina," ucapnya. Bina langsung memiringkan kepala.

"Saya nggak ulang tahun tuh, Pak."

Banu berdecak tak sabar. "Selamat, kamu sudah bisa lanjut bimbingan final ke Pak Pranoto. Segera diurus segala birokrasi menyangkut Sempro. Jangan lupa siapkan jas almamater untuk diuji. Kamu siap, 'kan?"

Bina berkedip setengah tak percaya.

"M-maksudnya ... proposal aku kamu ACC, Ban?" Gadis itu bertanya, setengah tak percaya.

"Betul sekali. Selamat lagi ya, Bin. Kamu selangkah lebih dekat menjadi sarjana."

Bina tidak bisa menjabarkan apa yang dirasanya saat itu. Perpaduan perasaan takjub, tak percaya, dan sedikit bangga, bergemuruh dalam dadanya.

Kalau saja Bina bisa mengungkapkan sensasi ini ke dalam bahasa, maka Bina mungkin akan mengucap satu kalimat: ANJIR, AKHIRNYA ACC JUGA!

**

[1271 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro