24 · Anjing Penjaga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jemari Bina menari dengan lincah di atas tuts-tuts keyboard laptop usangnya. Pada papan digital itu terpampang sebuah judul di tengah halaman, bercetak bold dengan huruf kapital: Bab 1.

Ya. Bina sedang melakukan hal yang sangat luar biasa. Mengerjakan skripsinya.

Jam di sudut bawah kanan monitor laptop menunjukkan pukul 11:19 PM.

Sebuah mug gemuk berisikan kopi instan yang sudah tersisa seperempat di dalamnya setia menemani Bina di atas meja belajarnya. Ini adalah gelas kopi Bina yang kedua.

Malam sudah larut, kopi sudah diseruput, tapi kenapa masih baru mulai Bab 1? Ah, itu adalah sebuah pertanyaan yang agak sedikit menyebalkan ketika dijawab.

Pasalnya, sebelum Bina bisa leluasa mengetik Bab 1 itu, dia harus mempersiapkan halaman awal yang berupa tetek bengek yang (agak) penting namun rumit luar biasa, berupa halaman pembukaan, pendahuluan, abstrak, ringkasan, persembahan (untuk almarhumah Bunda, untuk Ayah, untuk sodara-sodara dan teman seperjuangan), hingga daftar isi, daftar istilah, daftar singkatan, daftar tabel, gambar, grafik. Ah ... pokoknya pusing!

Untung saja Bina sudah melalui itu semua, berbekalkan template tempel pasang hasil copy draft skripsi Rani, yang memudahkan Bina bisa lancar jaya mengerjakan tanpa harus berpikir terlalu muluk tentang format dan kawan-kawannya.

Bina hanya harus mengetik ulang apa yang perlu dia isi, sesuai dengan skripsinya sendiri. Dan ternyata itu memakan waktu hingga hampir tengah malam—setelah bekerja rodi, dua hari berturut-turut.

Memandangi kursor yang berkedip pasif, Bina akhirnya merenggangkan badan. Otaknya tiba-tiba stuck. Sekilas bayangan ingatan beberapa hari lalu berkelebat di dalam kepalanya.

Banu. Tidak salah lagi, pasti itu punggung Banu. Lelaki yang Bina lihat berjalan keluar pintu masuk restoran Ayam Gurinjay.

Ngapain ya dia di sana?

Bina tak pernah melihat sosok Banu lagi semenjak hari itu, selama hampir lewat seminggu, pun tak juga mengontak sang dosen pembimbing dua itu sama sekali, terlepas dari Bina yang (harusnya) membutuhkan bimbingan skripsi.

Bina menggeleng. Pikirannya keruh. Gadis itu tak lagi bisa fokus mengetik skripsinya.

**

"Lho, tumben udah rapi kamu, Sabina? Memangnya ada jadwal bimbingan?"

Suara bertanya Pak Santo tak diindahkan anak gadisnya yang sedang memasang tali sepatu. Alih-alih menjawab, Bina malah balas bertanya.

"Ayah nanti makan siang sendiri, ya. Malamnya nanti aku bawain makanan dari cafenya Dipa."

Pak Santo manggut-manggut. "Ooooh, mau nge-date toh."

"BUKAN!" sembur Bina.

Gadis itu mengencangkan tali ranselnya, benda itu terbebani oleh unit laptop yang dibawa Bina. Dan dengan dandanan yang casual namun sopan, jelas anak semata wayang Pak Santo itu berminat ke kampus.

"Dah ah, Yah, aku berangkat." Bina pun mengucap salam, yang langsung dijawab oleh ayahnya.

Motor Bina menderu beberapa menit kemudian. Setibanya di kampus, alih-alih memarkirkan motornya di tempat biasa, Bina malah menepi ke depan gedung rektorat.

Biasanya jam segini Banu ada di gedung itu.

Sepuluh menit menunggu, Bina mulai kepanasan. Dilihatnya jendela chat dengan dosen muda itu. Informasi di dekat nama kontak Bahari 'Hantu' Nugraha itu menunjukkan terakhir online adalah empat jam yang lalu.

Bina mengerucutkan bibir. Dia sempat mengirimkan pesan 'bapak hari ini ke kampus?' tadi pagi, namun tak ada centang dua tanda dibaca hingga detik ini.

Aneh.

Bina bersumpah malam tadi, sambil setengah mengantuk dia mengganti nama kontak Banu, gadis itu sempat melihat selama beberapa detik bahwa jendela chat dengan kontak Banu sedang menunjukkan dia sedang mengetik. Bahari 'Hantu' Nugraha is typing...

Tapi sampai Bina tertidur pun, tak ada satu notifikasi pesan masuk.

Kini, digerogoti rasa geregetan, gadis itu berniat menghadapi Banu head to head. Mengadu kepala, menyelesaikan masalah mereka.

Bina juga penasaran, kenapa Banu sampai sebegini menghindarinya?

Apa salah yang sudah Bina perbuat?

Apakah selama ini Bina hanya halusinasi saja; tentang melihat punggung Banu di otlet Ayam Gurinjay, dan juga berkhayal bahwa dia typing malam-malam buta tanpa pernah mengirim pesan apa-apa?

Ah, kalau begitu kasusnya, berarti Bina sudah gila.

Mungkin melihat wajah galak Banu akan mewaraskannya.

"Neng, maaf, permisi, gedung rektorat di sebelah mana, ya?"

Seorang abang-abang ojol menepi di sebelah motor Bina, membuyarkan lamunannya.

"Hah?" Bina membuka helm.

"Gedung rektorat...," ulang pengemudi berjaket hijau itu.

Bina menunjuk ke bangunan tepat di hadapan mereka. Heran. Padahal ada tulisannya, kenapa nggak baca, ya?

Abang-abang ojol itu mengucapkan terima kasih dan lanjut tancap gas. Sekilas mata Bina menangkap penumpang yang dibonceng ojol tadi.

Wuih, artis mana tuh nyasar kemari? batin Bina sambil menghirup angin wangi yang baru saja melewatinya.

Cewek yang dibonceng abang ojol itu mengenakan pakaian yang ... hmmm, terlalu stylish untuk ukuran kampus. Celana jeans yang cukup ketat, atasan halter top yang dibalut jaket hot pink. Rambutnya wangi, lurus sampai bahu lalu keriting gantung sisanya di punggung. Kalau dari wanginya sih, kayaknya anak orang kaya.

Sayang Bina tidak sempat melihat wajahnya. Tapi Bina yakin sepenuh hati, pasti wajahnya cakep abis! Minimal riasan yang flawless tanpa setitik pun noda di mukanya.

Eh? Tunggu sebentar ...

Bina menyipitkan mata saat melihat cewek yang dibonceng ojol itu turun di parkiran gedung rektorat. Dan ada satu sosok lelaki yang menghampirinya. Sosok yang membuat jantung Bina terasa berhenti memompa kehidupan ke seluruh tubuhnya.

Bahari Nugraha. Dengan wajah yang tersenyum ramah, mengajak cewek wangi itu masuk ke lobi rektorat.

Sabina Eka Gayatri yakin, kalau motornya tidak ditopang standar samping, dia pasti sudah ambruk di tempat.

**

Bina meneguk espresso double shot itu tanpa bernapas. Dipa, di hadapannya, hanya bisa melongo saja. "Bina, lu kesurupan setan apa? Mau gue bikinin kopi item sekalian?"

Sambil mengetikkan paragraf dengan cepat di laptopnya, Bina menjawab tanpa berpikir. "Boleh."

Dipa menghela napas. Dia pun memanggil pramusaji, lalu memesan secangkir black coffee tanpa gula.

Di seberang mejanya, Bina kembali mengetik bagai orang kesetanan.

Ternyata itu toh alasannya. Sekarang udah ada anjing yang jaga, pikir gadis itu selama menyelesaikan sisa subbab terakhir pada bab pertamanya.

Pikiran tadi berkembang dalam pertanyaan mengapa, apa, kenapa, siapa, dan sampai mana hubungan Banu dengan si cewek cantik spek artis kesasar itu?

Tapi bukan Sabina namanya jika tenggelam dalam lumpur kegalauan. Bukan pula Sabina jika sedih berlarut-larut. Gadis itu memang malas dan mageran, namun dia juga tau prioritas. She learned that in a hard way, nine years ago.

Jadi demi kebaikan bersama dan kemajuan progres tuntutan akademis, Bina memutuskan untuk meluapkan segala emosi—marah, kesal, frustasi yang entah datangnya dari mana itu—ke dalam lembar-lembar digital draft skripsi yang ada di laptopnya.

Dalam hari-hari berikutnya, gadis itu mendadak jadi rajin riset, membaca, dan mengetik. Tentu saja orang-orang di sekitarnya mendukung penuh (Rani yang menyediakan copy-an template draf skripsi, Pak Santo yang mendukung sepenuh hati, dan bahkan Dipa yang belakangan ini rela menjadi ojek makanan).

Mereka heran bercampur kagum melihat perubahan Bina yang mendadak ini. Aneh tapi nyata. Wajib dilestarikan.

"Besok gue sama Rani mau ke kampus buat bimbingan nih, Bin. Lo ikut?" tawar Dipa suatu malam, setelah mengantarkan sebungkus carbonara pasta sisa stok restorannya.

Bina menggeleng ringan.

"Aku mau kelarin sampe bab empat, Dipa, terus langsung nyerahin ke Pak Pranoto," tutur Bina sambil memilin-milin kantong plastik dalam genggamannya.

"Loh?" Dipa mengerutkan kening. "Bukannya harus koreksi dulu per-babnya ke Bahari?"

Bina tersenyum pahit lantas menggelengkan kepala. Seketika itu pula Dipa paham. Gadis itu sedang menghindari penyebab utama hilangnya selera hidup.

"Yaudah," ucap Dipa. "Gue pamit dulu yak, Bin."

Bina melambai dari balik pagar, sepenuh hati bersyukur akan kehadiran Dipa yang menjadi moodbooster bermodalkan makanan.

Ketika Bina berbalik untuk masuk ke dalam rumah, pandangannya bertatap dengan sang ayah yang ternyata sedang berdiri di ambang pintu dapur. Pak Santo menyuguhkan senyum misterius.

"Apa, Yah?" tanya Bina curiga.

"Pranadipa itu ... baik, ya?" Pak Santo memulai.

Bina memutar mata seketika.

"Dia teman yang waktu itu ngantar-jemput kamu 'kan, pas motormu rusak?" lanjut Pak Santo. Bina menggeram dengan acuh.

"Pranadipa itu anaknya yang punya kafe Past Tense itu ya Bin? Dia suka main musik kan?"

Pertanyaan Pak Santo ini merupakan retorika belaka, sebab mereka sudah sempat bertukar obrolan saat makan bersama di Ayam Gurinjay. Pak Santo menanyai berbagai hal tentang Dipa, termasuk fakta bahwa Past Tense Coffee sebenarnya adalah kafe milik keluarganya—yang mana ini Bina juga baru tau.

Tapi Bina juga tau dengan jelas maksud ayahnya yang mendadak mulai kepo. Dengan napas terembus, Bina berbalik menghadap ayahnya.

"Ya, ya, ya. Ayahku yang kepo, Ayah tau juga kan kalo Dipa juga pernah masuk penjara?" pungkas Bina berharap mengakhiri percakapan nirfaedah ini secepatnya.

Pak Santo lantas tersenyum.

"Tau dong. Ayah juga tau kalo kita nggak bisa nilai orang dari kesalahannya di masa lalu. Yang penting itu gimana mereka sekarang. Bener nggak?"

Bina terenyuh sejenak.

"Maksud Ayah apa, sih? Ayah mau ngomong apaan?" tanya gadis itu akhirnya.

"Ayah cuma mau bilang, meskipun kamu kelihatan sedang dalam masalah, tapi kalau dia datang bawa makanan itu kamu jadi bisa senyum lagi. Biasanya laki-laki itu akan lebih perhatian pada perempuan yang buat dia nyaman, dan Ayah sama sekali nggak melarang kalau misalnya kamu ... dan Pranadipa ...."

"Ayah!" potong Bina seketika.

Gadis itu berderap lari menuju kamarnya, meninggalkan Pak Santo yang tertawa lepas.

Aneh sekali. Entah kenapa Bina paham apa maksud ayahnya, pun mengerti sang ayah hanya sekadar berkata demi kebaikannya. Tapi rasanya ada sesuatu di dalam diri Bina yang tak rela, tak berselera memikirkan kemungkinan itu.

Mendadak rasanya Bina tidak selera pula menyantap pasta carbonara yang kini diletakkannya di atas meja kamarnya.

Mendadak pula gadis itu meraih ponsel, membuka sebuah jendela chat yang mati tanpa adanya pertukaran pesan sama sekali selama seminggu ini. Satu nama yang terpampang sebagai judul kontak terbaca nyalang: Bahari JANGAN DIKONTAK Nugraha.

Satu pesan balasan dari Banu tempo hari terbaca, maaf HP saya ketinggalan di rumah. Saya sudah nggak di kampus. Ada apa? Bina tidak membalas pesan itu. Dia tau dengan jelas Banu habis bersama siapa sesaat sebelum mengetikkan pesan itu.

Perlahan Bina merasa dadanya sesak. Gadis itu membanting ponsel ke atas kasur, dan merubuhkan tubuhnya sembari menenggelamkan wajah di atas bantal.

Dalam dekapan malam, Bina mengutuki nama itu berkali-kali, dibaluri rasa frustasi dan putus asa.

**

[1600 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro