34 · Rahasia Awal Mula

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Déjà vu, merupakan sebuah pengalaman yang membuat seseorang seketika flashback atas kejadian yang terasa familiar. Contoh, saat makan tiba-tiba merasa déjà vu, merasa pernah mengunyah menu yang sama dan berada dalam suasana yang sama pula. Bisa juga saat mandi, atau mengobrol, atau pada kasusnya Bina, saat gadis itu menata debaran jantungnya ketika menunggu pintu ruang sidang terbuka.

Rasa itu mengingatkan Bina pada saat Sempro, di mana dia harus uring-uringan mempersiapkan segala keperluan, mulai dari kesiapan mental, materi, proposal skripsi, hingga jas almamater yang kini juga dikenakannya. Bedanya, saat Sempro dulu Bina merasa tidak sepenuhnya siap, dan saat ini Bina merasa lebih siap.

Ditambah lagi, pagi ini Bina mendapat kehormatan dari sang dosen pembimbing dua yang sudah standby di halaman rumahnya, ngopi dan ngobrol ringan dengan ayah Bina sejak pagi belum menyentuh pukul enam.

Ah, Bina jadi merasa bodoh sendiri karena bertatap muka dengan Banu hanya dengan mengenakan piyama dan belum cuci muka. Beruntung Banu nggak ilfil dan langsung ngacir. Malahan, dosen muda itu ternyata datang untuk mengantar Bina ke kampus. Mantap. Rejeki anak soleh.

Selain itu, dukungan dari Ayah, Banu, Rani, bahkan sahabat barunya Leda selama ini telah membuat Bina lebih tenang dan percaya diri terhadap proses pamungkasnya demi mengakhiri perjuangan ini. Satu hal yang sedikit mengganjal di benak Bina adalah Dipa, sebab ternyata cowok itu sudah menjalani sidang skripsi beberapa hari lalu tanpa aba-aba.

Dipa hanya mengabari lewat grup mereka tanpa memberitahu Bina secara langsung tentang prosesnya.

Sebenarnya, Bina hendak protes, 'katanya mau jadi teman, kok malah nge-ghosting?', namun dia segera mengurungkan diri. Tidak worth it jika harus memulai konflik lagi.

Bina juga sedikit menyadari, bahwa agaknya lebih baik melepaskan Dipa tidak sepenuhnya menjadi 'teman'. Kedekatan yang disudahi oleh keputusan sebelah pihak tentu saja akan membawa konsekuensi yang berjarak. Bina tau itu.

"Ini, minum dulu, biar nggak tegang." Rani menyodorkan segelas air mineral yang langsung diteguk oleh Bina. Ibu muda yang sudah sehat wal afiat pasca dua minggu istirahat persalinan itu benar, air membuat Bina lebih tenang.

"Thanks ya, Ran. Kamu sampai repot-repot mau dateng ke sidang aku, padahal sidangmu sendiri masih Kamis depan. Lancang banget ya aku ngelangkahin?" ucap Bina diselingi tawa ringan. Jelas sekali gadis itu sedang bercanda.

"Langkahin aku merid dan punya anak juga dong, Bin. Jangan cuma sidangnya aja. Hehehe." Rani membalas candaan itu. Bina jelas jadi terpaku karenanya. Tak disangka-sangka si mamah muda bisa membalikkan kata.

Sebelum Bina sempat membalas, pintu ruang sidang terbuka. Pak Pranoto memanggil namanya. Ah! Ini dia ... bismillah, batin Bina sebelum pamit pada Rani.

**

Aturan mainnya tetap sama. Pak Pranoto dan Banu sebagai pembimbing, Bu Astari dan Pak Sariani sebagai penguji. Pada proses sebelumnya, seharusnya dosen pembimbing membantu Bina mengoreksi skripsinya hingga dirasa foolproof dan cukup sempurna sehingga tidak dibantai oleh duo penguji saat sidang ini.

Namun nyatanya, yang bekerja menjadi malaikat penyelamat Bina hanyalah Banu seorang. Pak Pranoto berperan sebagai pembimbing satu yang memakan gaji buta semata.

Bina jadi membatin, hmm, kayaknya Pak Pran memang sudah waktunya pensiun kali ya?

"Nah, begini kan bagus. Jujur saja ya, Sabina, awalnya kami ini sempat ragu lho sama skripsi kamu. Waktu Sempro itu sepertinya ... topik ini kayak setengah matang, gitu, untuk diangkat menjadi tulisan ilmiah. Tapi ternyata dengan sumber yang cukup mendukung seperti ini, bisa juga toh?"

Bu Astari sedang kumat dengan duality-nya; memuji setengah mencela. Bina sendiri tak tau harus merasa bagaimana, senang kah? Atau malah terhina? Tapi toh, yang jelas sekali dirasanya saat ini adalah gugup yang teramat sangat.

Bina baru saja selesai mempresentasikan perkembangan skripsinya, mulai dari bab pertama yang merupakan pengantar sekaligus isi proposalnya dulu, dilanjut dengan pembahasan umum-ke-khusus pada bab dua dan seterusnya, hingga diakhiri dengan penutup di bab lima yang secara keseluruhan menyuguhkan skripsi bertotal halaman 98—belum termasuk lampiran!

Apakah Bina merasa bangga? Tentu saja.

Puas? Sedikit.

Grogi? Sangat!

Untungnya nasib seperti menyayanginya hari ini. Bu Astari memuji Bina tepat sebelum sesi pertanyaan, secara tak sengaja memberikan Bina suntikan kepercayaan diri. Gadis itu menjadi yakin akan materi yang mati-matian dia kuasai, melancarkan mulutnya untuk melafalkan jawaban yang rinci dan memuaskan.

Saat penghujung sidang, Bina menyempatkan diri melirik malaikat penyelamatnya selama ini—Banu, dan bisa melihat jelas lelaki itu tersenyum tulus menyiratkan rasa bangga padanya.

Ah, momen singkat itu membuat sidang ini berakhir dengan indah.

"Bina! Sudah selesai? Gimana-gimana?"

Kalimat sambutan itu langsung menerjang BIna sedetik setelah gadis itu melangkahkan kaki keluar dari ruang sidang. Rani yang biasanya kalem, kini tampak excited sekaligus harap-harap cemas. Melihat senyum Bina yang mencair, Rani langsung bisa melepas napas lega seketika. Nampaknya ekspresi wajah lebih bisa menjawab ketimbang kata-kata.

Bina berjalan mendekat ke arah Rani, siap menumpahkan segalanya, terutama, kelanjutan nasib skripsinya yang sudah diloloskan untuk lulus, namun dengan satu syarat mutlak: revisi lagi, untuk yang terakhir kali.

**

"Bina, kita mampir makan dulu, yuk? Ada yang mau ketemu kamu, mau ngucapin selamat."

Kalimat itu membuat Bina menahan langkahnya. Gadis itu menoleh pada Banu yang membimbingnya berjalan beriringan menuju parkiran. Dosen muda tersebut telah konsisten mengantar jemput Bina belakangan ini. Mereka baru saja bubar dari ruang sidang skripsi, Bina pun telah mengucapkan selamat tinggal pada Rani.

"Oya? Okay," jawab Bina tanpa kecurigaan sama sekali.

Mereka pun naik ke dalam Jeep Banu sebelum akhirnya melesat meninggalkan lapangan parkir FIB.

Tempat tujuan yang dimaksud Banu adalah restoran terbuka, dengan pendopo kecil berbaris diisi meja pendek lesehan serta hamparan rumput buatan dan kolam ikan di tengah area serupa taman. Mata Bina langsung menyasar pada ikan-ikan koi sebesar lengan orang dewasa. Gadis itu terkagum-kagum.

"Ban, liat deh, itu ikannya ada yang warnanya belang tiga, kayak kucing!" Bina menunjuk ke dalam kolam.

Banu tertawa tipis sambil menunggui gadisnya dengan sabar. Setelah puas melihat-lihat, Bina pun kembali sambil langsung menggandol di lengan Banu. Rasanya perayaan pasca sidang ini sungguh-sungguh membuat mood sang mahasiswi bangkota menanjak drastis.

Masih memperhatikan keadaan sekitar sambil melangkah riang, mata Bina tiba-tiba menangkap sosok yang membuat kakinya mendadak kaku. Langkah Bina terhenti, Banu pun ikut menoleh.

"Oliv?" Banu menyapa seorang perempuan yang baru saja keluar dari sisi dalam restoran.

Olivia bergandengan dengan seorang pemuda berbadan tegap yang belum pernah Bina lihat sebelumnya. Cewek berpenampilan selevel selebgram itu tersenyum dan melambai ke arah mereka. Tak ada keterkejutan sama sekali pada raut wajah Banu, membuat Bina yang keheranan hanya bisa memandangi mereka bergantian.

"Gimana, lancar semuanya?" lanjut Banu.

"Aman, Bos! You can go ahead, udah ditungguin tuh. Good luck." Olivia berkata pada Banu, dan sesaat sebelum melangkah pergi menyempatkan mengedipkan satu matanya pada Bina, membuat gadis itu mengernyit.

Ada apa ini sebenarnya?

"Ban, kok...?" Bina berbisik dekat telinga Banu saat Olivia dan pemuda yang bersamanya itu sudah berlalu.

"Mmm?" Banu menoleh, membuat Bina mundur sedikit. Waduh, wajah mereka terlalu dekat.

"Itu, barusan Itu si .... mmmm ... Oliv-Oliv yang yang dijodohin sama kamu kan?" Bina mengucapkan kalimat itu dengan rasa getir di lidahnya. Mendadak Bina juga merasa ingin nyebur ke dalam kolam dan berpelukan dengan ikan koi. Kenapa dada rasanya cecenutan begini ya?

"Ooh, iya. Tapi udah enggak lagi kok."

"Heh? Apanya?" gumam Bina.

"Udah batal. Perjodohannya, maksudnya. Aku sudah minta ijin sama keluargaku, udah pamitan juga sama keluarga dia. Nah tadi itu giliran dia yang pamitan sama keluargaku. Gantian."

"Hah?" Bina masih gagu. Bercampur aduk rasanya, meletup-letup di dada gadis itu.

"As I said, sudah nggak ada jodoh-jodohan itu lagi. Sudah selesai. Anyway, kita udah diitunggu loh. Yuk?" ajak Banu sambil menunjuk satu pendopo.

Bina menoleh. Dan seketika itu juga dia merasa ciut. Walah, siapa itu yang duduk di sana?!

Ada Kak Misha, wajahnya semringah bersisian duduk dengan seorang lelaki berwajah oriental—sepertinya suaminya, karena si koko itu lagi nyuapin Cecil—di hadapan mereka, duduk pula bersebelahan dengan tenang ... orang tua Banu. Tuan dan Nyonya Nugraha.

"Ayo. Nggak papa." Banu berkata lembut di dekat telinga Bina, kali ini mengulurkan tangan untuk digenggam. Gadis itu gelagapan seketika.

Alamak. Niatnya mau makan malah kena prank.

Sambil menelan napas dalam-dalam, Bina menyambut tangan itu. Tergenggamlah jemarinya, erat. Seketika itu juga, sentuhan dari Banu seakan memberinya kekuatan.

Ya. Ini dia.

Ini momen yang tak pernah Bina sangka akan tiba, namun saat sudah di depan mata, mendadak muncul sebersit keberanian dan keinginan untuk berkata; Om, Tante, makasih ya udah bikin Banu lahir ke dunia. Karena dia, skripsiku bisa selesai tepat waktu!

**

Gugup keduanya hari ini (setelah yang pertama sidang tadi) mencair seiring percakapan di meja itu mengalir. Ditambah menu gurami asam manis yang membuat Bina semakin good mood, mengamplifikasi keramahan dan kegembiraan yang membuat lawan bicara gadis itu nyaman berlama-lama ngobrol dengannya.

Singgungan topik sensitif sangatlah tipis, sebatas pertanyaan Nyonya Nugraha yang berbunyi 'tadi Bina papasan sama Olivia dan pacarnya ya, pas masuk ke sini?', yang dijawab anggukan Bina yang sedang mengunyah dengan mulut sedikit menggembung. 'He-eh, Tante'.

Selain itu, obrolan berputar sekitar pencapaian Bina dan kesulitan perjuangannya selama ini—yang seringnya ditangkis oleh Bina dengan memuji bantuan dari anak bungsu Nugraha, Banu yang selalu ada. Perbincangan juga merambat pada keluarga, pada ayah Bina, pekerjaan dan proyek candi Angen, serta tanggapan Tuan dan Nyonya Nugraha yang membuat Bina berkesimpulan bahwa dunia yang digelutinya selama ini masih dipandang begitu unik dan eksentrik di mata orang 'normal'.

"Tapi keren lho kamu, Bin. Bisa mempengaruhi Banu sampai ambil jurusan Humaniora begini. Memang ya, magisnya ilmu pengetahuan ternyata nggak terbatas sama apa yang sering kita lihat sehari-hari saja," komentar Tuan Nugraha.

Bina seketika menghentikan kunyahannya. "Maksudnya gimana ya, Om?"

"Lho? Masa kamu nggak tau? Yang dulu bikin Banu jadi pilih jurusan kuliah itu kan kamu." Kali ini Nyonya Nugraha yang menimpali.

Seketika, Bina menoleh pada lelaki yang duduk di sampingnya. Sorotan mata Bina yang membulat tertangkap jelas oleh Banu, seakan bertanya dengan lantang; beneran ini Ban?!

Banu pun menelan ludah. Sepertinya, akan ada percakapan panjang yang akan menyusul setelah ini.

**

[1595 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro