[Firasat] - 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sabtu siang, sekitar kawasan Ciumbuleuit. Saat itu Asosiasi Divisi Priangan mengadakan pelatihan gabungan khusus untuk para anggota Unit Reserse Kriminal Khusus dari seluruh sektor. Lenny meminta Saras untuk menemaninya dalam pelatihan. Seharusnya Andri datang bersama dengan Lenny, tapi urung karena harus menemani istrinya ke rumah sakit.

"Kenapa Nyonya gak minta Bang Jaka, Teh Malika, atau Abay buat gantiin Bang Andri?" tanya Saras.

"Mengajak Bayu dan Jaka itu kadang merepotkan. Malika juga sedang sibuk dengan proyek di kampusnya. Hanya kau yang bisa kuandalkan untuk menggantikan Andri."

"Masalahnya gini, Nyonya. Sebenarnya Saras bisa ikut, tapi masalahnya besok ada acara keluarga."

"Tidak apa-apa. Tadi aku sudah WasApp Andri. Dia bilang besok masih bisa datang."

Pelatihan tersebut berlangsung selama dua hari di akhir pekan. Sabtu itu para cenayang melakukan pelatihan gabungan untuk simulasi penanganan kasus skala besar. Saras selesai membantu Lenny berkoordinasi dengan anggota Reserse dari sektor lain dalam simulasi itu. Sementara hari Minggu adalah sosialisasi tentang peralatan baru yang dikembangkan Unit Teknologi Terapan.

Simulasi hari itu berlangsung di sebuah kompleks gedung pelatihan milik Asosiasi. Simulasi berlangsung baik di dalam maupun ruangan. Tak terasa hari pun sudah petang. Hujan deras langsung menyambut Saras sesaat setelah menyalakan mesin motor trail-nya. Urung sudah niatan Saras untuk menginap di rumah Aki di Lembang. Dia bisa saja terjebak dalam derasnya hujan lalu sampai saat malam. Mau tidak mau dia menginap di rumah Elissa yang jauh lebih dekat dari tempat pelatihan.

Angin kencang menyapu kota bahkan pengembara yang berhenti di persimpangan. Aliran air deras dari jalanan yang menurun semakin membuat Saras menggigil di depan lampu merah. Jas hujan pun tidak benar-benar menepis guyuran air yang mulai meresapi seragam di baliknya. Sesekali Saras mendongak ke arah lampu merah dengan penghitung waktu mundur di sampingnya. Tiga puluh detik serasa tiga puluh menit di tengah guyuran hujan sekaligus kemacetan khas jalanan utara Kopo saat akhir pekan.

Rinai hujan tak kunjung mereda di sekitar rumah Elissa. Badannya menggigil tak lama setelah Elissa membukakan pagar garasi. Gadis itu langsung mandi sesampainya di sana.

"El, ikut reuni gak?" tanya Saras yang baru saja kembali dari kamar mandi.

"Eh. Um. Kayaknya gak bisa deh. Maaf ya."

"Oh iya. Mas Irwan baru ke luar dari rumah sakit."

Raut masam tak bisa terhindarkan lagi. Ini bukanlah Elissa yang ceria seperti biasa. Benar juga peringatan Yanuar. Kegelapan pekat masih melekat di tubuh Elissa. Saras tak bisa berkata. Mana paham gadis itu dengan perkara tak kasat mata.

"Kenapa gak ajak Abay ato Adnan aja?"

"Boro raah (boro-boro), El. Mereka susah banget diajakinnya. Apalagi si Abay. Pundungan. Aku juga ngerasa anak-anak emang keterlaluan sama mereka pas reuni terakhir."

Malam semakin larut, tapi pembicaraan di antara mereka tak kunjung surut. Keduanya terus mengobrol sampai mengantuk. Mereka lalu tidur tak lama sesudahnya.

Malam semakin senyap. Hujan kini mereda. Tiba-tiba Saras terbangun. Tenggorokannya gatal. Dia bangkit dari ranjang bawah di kamar Elissa.

Hingga kini, Elissa masih saja tidur di ranjang susun meskipun sudah besar. Saras sering tidur di ranjang bawah yang bisa didorong itu. Dia masih tertidur pulas di ranjang atas. Dengan mata setengah memicing dan tenggorokan gatal, Saras susuri anak tangga menuju dapur di lantai bawah.

Keadaan di lantai bawah pun senyap. Tidak semua lampu di sana menyala. Sumber cahaya sebatas jangkauan lampu di dekat tangga. Jarum pendek bertengger di antara angka 10 dan 11 di bawah sinar remang dari arah jendela dapur. Percikan air keran wastafel dari arah dapur seakan mengiringi langkah kaki Saras menuruni setiap anak tangga.

Jantung Saras berdetak tak karuan. Entah. Suasana ini berbeda daripada tinggal sendiri di rumah. Rumah tipe 100 itu sehening rumah kosong padahal berpenghuni. Kamar Ceu Edoh di dekat dapur pun senyap. Segaris cahaya masih menyelinap dari sela-sela pintu kamarnya. Biasanya sayup-sayup lagu dangdut terselip dari celah pintu kamar. Maklumlah. Ceu Edoh selalu menonton Akademi Dangdut Nusantara di televisi yang berlangsung hingga tengah malam.

Saras mengambil gelas dari rak piring. Dia percepat minumnya seakan-akan ada yang mengikuti sejak tadi. Bila memang itu ulah makhluk halus, pastilah ada sedikit petunjuk. Minimal suara atau penampakan yang biasa muncul di sekitar Saras.

Lupakan saja. Bisa saja semua ini efek dari simulasi sekaligus hujan-hujanan. Lebih baik Saras lekas tidur agar tidak terlambat berangkat besok.

Pagi pun menjelang. Saras baru saja selesai merapikan kasur tempatnya tidur. Orang tua Elissa turut mengajak Saras sarapan. Ceu Edoh baru mengangkat hidangan matang ke atas meja. Seluruh keluarga ada di sana—minus Irwan yang makan di kamarnya.

"Saras, nanti kamu mau kuliah di mana?"

Wanita berambut bergelombang bermata teduh di sampingnya itu ibu Elissa. Dia memiliki mata sedikit sipit seperti halnya Elissa.

"Masih bingung, Tante."

Selama ini Elissa lebih sering berada di rumah bersama dengan Ceu Edoh dan kakaknya. Orang tua Elissa sering mengikuti pelatihan dan pertemuan bisnis di luar kota. Bahkan Kiki, adiknya yang masih berusia 4 tahun, sering ikut bersama mereka.

"Oh iya ya. Eli pernah cerita sama Tante kalo Saras udah kerja. Gimana di sana? Betah?"

"Lumayan."

Keadaan di meja makan hari itu pun tak biasa. Mungkin semua karena kecelakaan itu. Biasanya Irwan meramaikan suasana ruang makan dengan diskusi bersama ayahnya. Sesekali Kiki mengambil makanan dengan tangan belepotan.

"Ceu, enggak makan?" tanya ayah Elissa. Ceu Edoh baru saja kembali dari kamar Irwan—yang sementara menempati kamar tamu di lantai bawah hingga kondisinya membaik.

"Nunggu Neng Saras dulu. Nanti baru Ceu Edoh makan."

Pembantu bertubuh gempal berdaster itu tersenyum selagi kembali ke dapur. Suara gaduh alat makan kotor sampai di telinga Saras dari belakangnya. Sesekali berselang suara guyuran air keran. Itu tandanya Ceu Edoh sudah kembali bekerja.

"Saras. Abisin aja," ucap ibu Elissa.

Saras ambil nasi yang masih mengepul dalam bakul. Tak lupa sayur dan lauk di sebelahnya. Saras terkesiap. Sendok sayur di tangannya pun tergelincir ke atas meja makan. Denting dari sendok sayur yang jatuh mengalihkan fokus orang-orang di sekitar meja makan.

"Saras, kenapa?" tanya ibu Elissa.

Bibir Saras mengatup. Lidahnya terkunci. Berulang kali Saras menahan gerak peristaltik di kerongkongannya. Apa yang harus Saras katakan?

"Saras, makan aja dulu. Nanti pulangnya bisa ke dokter," bujuk Elissa di sampingnya.

Gadis berambut ikal itu semakin bergidik. Tangannya gemetar selagi ambil sayuran di depannya. Semua orang di sana makan lahap.

Bagaimana bisa? Belatung menggeliat sesaat di atas sendok milik ayah Elissa. Aroma sayuran busuk menguar dari dalam mangkuk di hadapan Saras. Potongan ayam yang Elissa makan mengeluarkan aroma nanah. Bahkan Kiki sendiri makan belasan cacing yang menggeliat di mulut dengan bumbu belepotan.

"Tante. Saras mau ke belakang."

Sebenarnya, apa yang salah dari mata Saras? Menu sarapan pagi itu sebenarnya mi goreng bumbu kecap, ayam goreng, dan cumi cah kangkung. Lebih baik Saras lekas mandi untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Aki.

Saras bersiap naiki motornya. Hawa sepintas itu kembali muncul. Itu seperti keberadaan makhluk halus di sekitarnya. Lagi-lagi tak ada penampakan fisik maupun hal lain yang menunjukkan keberadaan mereka. Saras tidak punya waktu urusi hal itu. Dia tancap gas secepat mungkin menuju Lembang.

Kejadian aneh yang muncul tidak sehari dua hari membuat Saras bertanya-tanya. Nalurinya berkata ada yang mengikutinya, tapi tak ada siapa-siapa. Bahkan makhluk halus.

Sesampainya di rumah, Saras langsung mengusir hantu botak genit dari kamarnya. Biarlah poster motor-motor balap di dinding menjadi menemaninya kala berganti pakaian. Saras lalu berdiam sesaat di depan meja rias. Deretan peralatan make up berjajar rapi di depan cermin besar. Memangnya tidak boleh gadis tomboi seperti Saras berdandan? Gadis itu terus mengerjapkan matanya di depan cermin.

"Eh Neng Saras. Mau maskeran?"

Kemunculan kepala hantu botak yang menembus pintu tak membuatnya terkejut apalagi terjengkang. Saras langsung mendekati si hantu botak.

"Bang. Ngerasa ada yang ngikutin Saras gak?"

"Gak tahu. Belakangan ini Abang sibuk godain mbak Kunti pohon pisang. Tapi—"

"Tapi apa?"

"Abang sering liat yang item-item di punggung Saras. Abang pernah cobain noel tuh. Dikirain hantu juga. Eh tahunya bukan."

Bisa saja Udin, nama asli si hantu botak, salah. Toh faktanya kebenaran dari perkataan hantu itu peluangnya hanya 50%. Terlebih lagi perkataan arwah penasaran yang kembali merengek karena cinta ditolak.

Keesokan harinya di markas Asosiasi. Hari itu sekolah rapat mengenai persiapan ujian murid-murid kelas 3 SMA. Para murid kelas 1 dan 2 dipulangkan lebih cepat. Saras langsung datang ke sana sepulang sekolah.

Sesampainya di sana, ruangan unit kosong melompong. Hari ini tidak ada kasus. Saras memang sampai sewaktu jam istirahat makan siang kantor. Abay sampai lima menit setelahnya.

"Lho, bukannya lu berangkat duluan? Kok datengnya hampir barengan?"

"Gue tadi ke bengkel dulu."

"Kena ranjau paku?" tanya Abay sembari duduk di kursinya.

"Gak. Beli oli. Tadi baru ngeh kalo meteran motor gue udah kelewat 500 km. Pantesan asa gak enakeun."

Saras memicingkan matanya. Abay kembali menjadi pemuda berkulit segelap kecap dari jarak jauh, tapi tidak dari jarak dekat. Berulang kali Saras berkedip, pemuda yang menyalakan komputer kantor itu masihlah pria berkulit putih dengan rambut gondrongnya. Abay berbalik menggoda Saras.

"Belakangan ini lu ngeliatin gue mulu. Ganteng ya?"

Sifat narsisnya pun masih sama.

"Bay, sini geura," bisik Saras. Sentilan kuat membuat kulitnya semerah daging mentah yang baru dilumuri bumbu semur.

"Lu nyentil apa nyiksa sih?" gerutu Abay sambil mengelus jidat. Pemuda itu lalu menjerit sambil merengek-rengek di dalam ruangan unit. Untung saja markas sedang sepi. Toh memang Abay terlalu payah untuk menggunakan indra keenam.

Sentilan itu sebenarnya cara pintas untuk mengaktifkan indra keenam dalam waktu terbatas dengan jurus Mata Batin. Biasanya kemampuan jurus itu tidak lebih dari 5 menit bagi orang biasa, tanpa perpanjangan durasi.

"Ras, punten pisan nya. Kemaren gue gak bisa tidur gara-gara gak sengaja nonton film Ouija malah dibikin kebayang-bayang lagi!"

"Justru gue minta tolong sama lo, Bay. Lo liat sesuatu dari punggung gue gak?"

Pemuda itu terus berkedip. "Kagak. Gue cuman liat hantu kompeni sama jurig dempak yang keluyuran di sekitar sini."

"Seriusan gak liat?" Abay mengangguk.

"Kurang ajar tuh Bang Udin. Bisa-bisanya ngerjain orang aja."

"Bang Udin?"

"Siapa lagi kalo bukan si botak penunggu rumah gue. Bang Udin bilang ada item-item yang nempel di punggung gue."

"Kali aja lu nyuci bajunya gak bersih. Makanya belakangnya masih item-item."

Saras memutar kursi kerjanya. Bisa-bisa tensinya semakin naik karena ocehan Abay.

NB:

Jurig dempak itu nama daerahnya hantu muka rata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro