[Firasat] - 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sabtu malam. Abay mendapat pesan dari grup WasApp Karang Taruna.


Karang Taruna Pucuk Mekar 2017-2018

Bengek

Jangan lupa besok rapat jam 1.


Sudah lama dirinya tidak ikut serta dalam acara apalagi rapat Karang Taruna. Selagi tidak ada kasus, Abay pergi ke sekretariat Karang Taruna sekitar pukul 12. Seperti biasa. Jam karet sudah kadung mendarah daging di negeri ini. Bobby duduk sendiri sambil mengocok dek kartu remi di dalam gedung sekretariat. Batang hidung anggota Karang Taruna lain tidak tampak. Bahkan Adnan yang juga ketua periode ini.

"Bay. Tumben mampir."

Keadaan di depan mata Abay tiba-tiba berubah menjadi sosok anjing hitam dengan kaus oblong ukuran XL, persis Bobby. Pemuda itu mengerjapkan matanya berulang-ulang.

"Kelilipan, Bay."

"Kayaknya mah. Poker?"

"Hayu! Mumpung lowong."

Bobby lalu membagikan kartu di depan Abay.

"Berani berapa?" tantang Abay.

"Lima puluh rebu?"

"Hayu!"

Bukan namanya Bobby Ramdhani jika tidak gemar bermain kartu. Keberadaan duo biang kerok Karang Taruna itu kerap beradu kelihaian bermain kartu sambil memasang taruhan. Belum genap satu ronde usai, seorang pemuda dengan rambut sependek rumput datang.

"Ya ampun. Ini sekre Karang Taruna apa tempat judi?"

Keduanya tersenyum simpul. Itu Abah Nono, salah satu anggota tertua Karang Taruna. Dia selalu memergoki dua penjudi yang kerap memasang taruhan di gedung sekretariat itu.

"Lagian pada ke mana sih? Katanya rapat jam 1!" seru Abay selagi lemparkan pasangan kartu andalannya. Bobby tidak mau mengalah dengan memasang straight.

"Namanya juga diundur satu jam. Tau sendiri anak-anak Tarka suka ngaret," ucap Abah Nono.

"Si Bengek mana lagi. Masa ketua Tarka gak ngasih contoh yang baik?" Lagi, Abay membalas serangan Bobby dengan full house.

"Kayaknya urang liat dia ke luar gitu. Dia bilang emang bakalan telat. Soalnya pergi sama orang tuanya. Tungguin ," ucap Bobby. Pemuda bongsor itu menggaruk kepala karena tidak punya kartu lebih tinggi daripada full house Abay.

Abay bertanya pada Adnan via Lain.


Hari Ini


13.53

Nan, di mana? Cenah rapat.

13.54

Bengek

Bay, Saras masuk rumah sakit. Gue lagi di sana sama Ibu. Bilang aja bakalan telat.


Air mukanya berubah seiring dengan pesan balasan Adnan.

"Bay. Kenapa?" tanya Bobby.

Ia pun membalas.


13.55

Rumah sakit mana? Terus rapatnya gimana?


Belum ada balasan lagi.

"Keknya aku izin gak rapat dulu. Temen masuk rumah sakit."

"Terus rapatnya?" tanya Bobby.

"Punten pisan nya. Tanyain ke si Adnan. Dari tadi nge-chat gak dibales."

Langkah sandal jepitnya pun kembali ke rumah. Berulang kali Abay telepon Adnan, tak ada balasan. Ini sudah telepon keempat dan ....

"Halo, Nan. Di mana?"

"Salam, Bay."

"Saras kenapa?"

"Gak tahu, Bay. Gue cuman anterin Ibu buat ngukur baju ke tempatnya Mami. Tahu-tahu A Wildan liat Saras pingsan di kamarnya."

"Si Doi di kamar nomor berapa?"

"Masih di UGD, Bay."

Abay pun beranjak menuju kamar Ressa. Syukurlah. Ressa tengah mengerjakan tugas kuliah di kamarnya.

"Eh, Bay. Rapatnya udah beres?" tanya Ressa.

"Kak. Pinjem motor. Kalem , nanti diisiin full tank."

"Eh, Bay!"

Pemuda keling itu kadung melesat meninggalkan kamar Ressa.

Abay pacu motor Mio hitam dari garasi rumahnya menuju Rumah Sakit Salam, sekitar 10 menit dengan naik motor lewat jalan tikus. Jalanan menuju rumah sakit itu memang menyambung dengan kompleks Marga Asih. Abay pun tak harus putar balik melewati by pass untuk mencapai rumah sakit itu.

Ruang UGD berada di samping area parkir motor. Deretan pohon rimbun menaungi Abay yang berlari menuju pintu bertuliskan Gawat Darurat di depannya. Ia bertemu Adnan dan ibunya di sana.

"Nan!"

Abay lalu memberi salam pada ibu Adnan.

"Bay? Gak jadi rapat?"

"Baru ada si Bobby sama 'Bah Nono. Saras gimana?"

"Gak tahu, Bay. Maminya sama A Wildan lagi di dalem."

Adnan lalu pamit. "Duluan ya. Takutnya anak-anak kelamaan nunggu sekalian anter Ibu."

Selagi Adnan dan ibunya tinggalkan ruang UGD, kakak dan Mami Saras pun keluar dari pintu salah satu ruangan.

"Abay? Kok ke sini?" tanya pria berambut cepak klimis di sana.

"Barusan Adnan ngabarin di Lain. Bang Wildan, Saras gak kenapa-napa, 'kan?"

Itu Wildan, kakak ketiga Saras. Abay sering bertemu dengannya di lapangan futsal. Keduanya sering bertanding futsal.

Saras terkapar di depan pintu kamarnya dalam kondisi mimisan. Badannya demam tinggi. Sekujur tubuhnya memucat. Padahal sebelumnya Saras baik-baik saja. Dia masih bisa memperbaiki motornya yang bermasalah setelah kecelakaan. Wildan juga berkata Saras langsung membersihkan lantai atas rumahnya setelah itu.

Abay meremas kepalan tangannya. Pasti ini ada hubungannya dengan santet di rumah Elissa.

Senin siang. Tepat jam pulang sekolah. Abay menelepon Lenny di rumah sakit.

"Abay. Ke mana saja kau? Apa kau tidak ingin terkena skors lalu gajimu dipotong?" bentak Lenny di telepon.

"Maaf, Nyonya. Aku lagi ada di Rumah Sakit Salam. Saras masuk rumah sakit."

"Apa? Saras di rumah sakit?"

"Dia di ruang ICU, Nyonya. Nanti aku akan menyusul ke markas."

"Awas saja kalau sampai bohong!" pungkas Lenny.

Abay menoleh ke arah pintu kamar ICU tempat Saras dirawat. Nyatanya, hari itu Abay tidak menepati janji. Abay justru datang ke rumah Elissa dengan meminjam motor Adnan.

Abay berdiri di depan rumah Elissa. Keadaan di depan matanya tiba-tiba saja berubah menjadi mendung. Padahal langit kawasan Imam Bonjol saat itu sedang cerah. Pagar rumahnya terkunci.

Seekor anjing di rumah tetangga Elissa kembali menggonggong. Abay mendelik ke arahnya. Anjing itu memasang wajah memelas lalu kembali ke kandang. Berulang kali suara bel di dekat pagar garasi berbunyi, tetap saja tak ada balasan. Abay lalu kembali ke markas sektor Kopo setelahnya.

Sudah seminggu lebih Saras berada di rumah sakit. Bukan Saras namanya bila ia tak peka dengan orang lain. Kadang kepeduliannya terlalu berlebihan bahkan cenderung ikut campur. Kini sifatnya itu membawanya dalam kondisi kritis.

Sejak tadi Abay termenung di depan meja kerjanya. Andai saja Abay lebih kuat dan menyadari soal santet itu lebih cepat, Saras takkan berakhir seperti ini. Selama berkunjung ke rumah Elissa, tak ada petunjuk yang muncul di depan matanya. Apa jangan-jangan kemampuan psikometrinya lenyap? Tepukan bahu membuyarkan lamunan Abay sesaat.

"Nyonya."

Lenny menarik kursi di samping meja Abay. Meja di antara posisi Malika dan Abay memang kosong.

"Apa kau masih memikirkan soal Saras lagi?"

"Aku cuman ngerasa gak berguna. Aku bahkan gak bisa menolong temenku sendiri yang diganggu santet."

"Santet bukanlah perkara yang mudah untuk ditangani," Lenny menundukkan kepala ke atas meja. "Santet dan perdukunan memang menjadi kasus terbanyak yang Asosiasi tangani. Masalahnya kebanyakan korban tidak selamat karena tidak mau melapor."

Penggalan demi penggalan kejadian muncul di depan Abay. Sepasang suami istri mati mengenaskan di atas lantai berlumur darah. Seluruh pakaiannya koyak. Paku, silet, dan pecahan kaca mencuat dari seluruh bagian tubuhnya. Ada bekas cekikan di leher wanita berwajah indo itu. Pria berahang kotak di sampingnya tewas dengan mata melotot dan lidah terjulur. Mungkinkah itu ... tidak. Bisa saja halusinasi yang kerap mengganggunya.

"Abay?"

Keringat dingin terus membasahi seragam sekolahnya.

"Pergilah ke rumah sakit besok. Kabari kami soal ruangan Saras. Aku dan rekan-rekan unit Reserse akan menyusul nanti."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro