[Kenangan yang Hilang] - 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cahaya sebatas garis yang membujur di wajah. Rintihan dan jeritan bergema dari luar sana. Sesosok bocah di dalam kegelapan menutup mulut dengan mata membelalak.

"Lenny! Cepat pergi!" teriak seorang wanita dari luar.

Kaki Lenny rapuh. Tenaganya sudah tersedot habis. Teriakan beruntun memekakkan telinga. Perkataan dalam bahasa yang tak dipahaminya membuat Lenny gemetar. Tak. Tuk. Tak.

"Lenny. Di mana kau?"

Teriakan seorang pria bersuara serak membuat Lenny meninggalkan lemari tempatnya bersembunyi. Tubuh mungilnya mendorong kursi meja belajar menuju pintu. Dia lalu mengunci rapat pintu kamar.

"Lenny. Buka pintunya."

Sekujur tubuh Lenny gemetar. Kaki kecilnya merangkak mundur. Ayunan kapak berulang kali mencoba mendobrak pintu kamarnya. Napas Lenny tersendat-sendat di dalam kamar. Kabur. Dia harus kabur.

Bilah kapak berlumur darah menancap sesaat di pintu. Insting bertahan hidup memaksa Lenny untuk melarikan diri

"Lenny. Ayo kita main! Biasanya kau senang main sama Bapa Tua."

Suara itu terus memanggilnya seiring dengan ayunan kapak menghancurkan pintu kamar. Jendela di kamar membuka lebar. Jarak dari jendela menuju tempatnya berpijak seakan menjauh.

"Lenny!"

Mata melotot dari celah pintu membuatnya gemetar. Tangan-tangan panjang dari bayangan berusaha meraih tubuh kecilnya.

"Jangan!"

Malam itu Lenny terbangun. Ini sudah kesekian kali dirinya bermimpi hal serupa. Teriakan Lenny turut membangunkan Adrian.

"Kenapa, Len?"

Dasternya basah dengan peluh. Dia dekap erat Adrian dalam tangis.

"Besok kita ke tempat Paman lagi ya."

Keesokan harinya. Adrian menggantikan Lenny menyetir Vezel putihnya. Mereka pergi ke rumah Profesor Rachmat di Hegarmanah. Adrian kemudian bercerita soal mimpi buruk Lenny.

"Ini benar-benar buruk." Profesor Rachmat mengambil buku catatan di mejanya.

"Ini sudah kali kesembilan mimpi buruknya muncul setelah terakhir kali konsultasi tiga bulan lalu. Apa belakangan ini Lenny bertemu dengan keluarga besarnya?"

"Kayaknya gak. Belakangan ini Lenny sibuk dengan kasus yang muncul selama tiga bulan ini. Dia juga sering pulang malam."

"Apa mungkin ada hal lain yang memicu kembali mimpi buruknya seperti kelelahan atau penyebab lain?"

"Penyebab lain?" tanya Lenny.

"Apa belakangan ini Asosiasi sedang menangani kasus santet?" tanya Profesor Rachmat.

"Masalahnya iya. Dua dari tiga kasus yang Asosiasi tangani berhubungan dengan dukun santet."

"Ini buruk. Paparan pemicu trauma terus menerus bisa membuat seseorang menghadapi ketakutannya. Masalahnya kau juga penyintas dari pembunuhan dan santet di usia kanak-kanak. Sebisa mungkin kau harus hindari pemicunya untuk sementara sampai terapinya tuntas."

"Apa ini artinya obat penenang lagi?"

"Aku harus mempertimbangkan kondisimu sebelum meresepkan obat lagi."

Menjadi penyintas pembunuhan dan santet sekaligus membuat Lenny tak berkutik dalam menghadapi beberapa kasus. Hal itu yang menjadi cikal bakal gosip "Lenny tidak pernah menangani kasus santet secara langsung" di kalangan para cenayang Sektor Kopo. Posisi Lenny sebagai kepala unit—dan satu-satunya profiler di Sektor Kopo—membuatnya jarang berada di TKP bila tidak mendesak. Dia lebih sering berada di markas untuk menginterogasi saksi dan tersangka, mengidentifikasi pola dan motif tersangka, dan melakukan pekerjaan administratif seperti koordinasi dengan pengadilan untuk reka ulang perkara.

Kondisinya memburuk setelah mendapat kasus berhubungan dengan santet akhir-akhir ini. Kasus berkaitan dengan tindakan perdukunan memang menjadi kasus terbanyak yang Asosiasi tangani. Mulai dari dukun palsu, penipuan dengan motif penggandaan uang, dukun cabul, sampai dukun santet. Lenny tak bisa menolak apalagi memilih-milih kasus yang masuk. Semua kasus harus dituntaskan demi kenyamanan masyarakat Kopo.

Kedatangan Abay membuat Lenny menurunkan kaki berstoking yang pegal setelah menginjak pedal gas dengan stiletto setiap hari dari atas meja. Pemuda keling itu selalu saja menunduk di depan Lenny. Nada bicaranya selalu merendah bila memasuki ruangan kepala unit. Kadang ia tergagap-gagap. Reputasi Lenny saja sudah cukup membuat ciut cenayang pemula seperti Abay.

"Ada apa?"

"Nyo-Nyo-Nyonya."

"Apa kau takut identitasmu terbongkar?"

"Bu-Bu-Bukan begitu!" Abay menyodorkan secarik kertas di meja Lenny. Sebuah pengumuman resmi dari SMA Negeri 29 berisi jadwal ujian kenaikan kelas kini berada di tangan Lenny.

"Kau ingin meminta izin karena ujian?"

"I-Iya. Saras juga."

"Aku lupa kalian satu sekolah. Berhubung saat ini sedang tidak ada kasus, pulanglah."

"Ke-Kenapa?"

Lenny mengembalikan pengumuman ujian pada Abay. "Kau harus banyak belajar. Apalagi sebentar lagi naik ke kelas 3 terus UN sama persiapan buat kuliah. Pekerjaan memang penting, tapi jangan sampai itu membuatmu mengabaikan akademik di sekolah. Paham?"

"Ba-Ba-Baik, Nyonya."

Abay mengendap-endap meninggalkan ruangan kepala unit. Ia ambil langkah seribu setelah menutup pintu.

Ada-ada saja kelakuan Abay di markas. Kadang membuat Lenny tersenyum simpul. Kadang pula membuat kepalanya cenat-cenut. Memang Abay itu naif dan gegabah saat bertugas. Ia butuh pengawasan lebih dibandingkan dengan Saras dan Malika. Semua perhatian Lenny memang beralasan, tapi perasaan ini .... Ia seperti seseorang yang sudah dikenalnya sejak lama.

Minggu siang, Lenny baru saja pulang dari terapi di rumah Profesor Rachmat. Dia bersantai sejenak di saung belakang rumahnya. Mainan Ryan berserakan. Bocah lelaki itu masih tidur siang. Saat Lenny merapikan seluruh mainan dan krayonnya, Adrian duduk di saung dengan membawa kantung plastik.

"Udah lama gak makan pasta. Mau bikin?"

Adrian berbelanja bahan makanan di supermarket. Mereka memasak pasta di rumah. Lenny tersenyum. Adrian membeli bahan-bahan untuk pasta saus pesto kesukaannya.

https://youtu.be/paJ05a1D8gE

Lenny memasukkan bahan-bahan saus ke dalam blender.

"Adrian, kenapa gak bilang mau bikin pesto?" tanyanya selagi menyalakan blender.

Adrian mencari botol saus bolognese di rak dekat kompor. "Um. Aku. Aku pengen liat kamu ceria lagi. Setidaknya dengan makanan kesukaanmu."

Lenny tersipu. "Adrian. Makasih."

Adrian tertawa kecil sambil mengangkat spaghetti yang sudah matang. "Santai. Kita 'kan teman."

Mereka membuat 3 porsi spaghetti: 2 spaghetti bolognese dan 1 spaghetti dengan saus pesto. Ryan yang baru saja bangun tidur langsung menghidu spaghetti yang matang di atas meja makan. Sejak tadi Lenny terus memutar-mutar garpu di atas piring.

"Mama. Kenapa spaghettinya gak dimakan?"

Pertanyaan Ryan membuyarkan lamunan Lenny. Hari itu keluarganya tengah berkumpul bersama di meja makan, tapi rasanya ada yang kurang.

"Omong-omong, ke mana anak itu? Aku jarang melihatnya selama beberapa minggu ini. Apa dia menyerah untuk berlatih?"

"Dia izin. Katanya masih ujian kenaikan kelas."

"Oh iya. Sekarang 'kan musim ujian anak sekolah."

Sepiring spaghetti saus pesto di hadapannya masih belum habis. Sementara Adrian sudah mencuci piring bersama dengan Ryan di dapur. Lenny masih terus memikirkan soal Abay. Pemuda itu bukan anak kandungnya, tapi ....

Lenny lalu teringat kejadian di Kopo Medical Center. Malam itu sekitar pukul 9. Lenny baru saja memasang pagar gaib dan garis polisi di depan sana. Jaka masih memanaskan mobil pengintai sebelum kembali ke markas.

"Kau yakin tidak akan ikut pulang? Apa orang tuamu tidak cemas?"

"Nyonya duluan aja. Aku udah bilang Ayah kalo bakal pulang telat. Masih ada hal yang harus kuselidiki lagi di dalam."

"Kalau begitu tolong betulkan juga sensor di dalam. Kita masih harus memantau perubahan energi negatif di dalam selama seminggu. Barangkali ada fenomena lain yang memicu gangguan di sekitar sini."

Jaka menekan klakson mobil. "Nyonya, ayo pulang!"

Lenny menoleh ke arah pintu gerbang Kopo Medical Center. Jalinan garis polisi merintangi jalan masuk. Sebuah pagar gaib mengitari seluruh gedung. Abay melompati garis polisi begitu saja. Tanpa ada yang lepas apalagi kerusakan pada pagar gaib. Ketika berada di depan pintu, ia melepaskan efek jurus Ilusi Mata dan melambaikan tangan pada Lenny yang memasuki mobil. Lambaian tangan dan sorot mata sendu itu ....

"Kau di sini saja ya."

Suara itu tiba-tiba mengalun di telinga Lenny. Ryan menarik-narik tangan mamanya.

"Mama. Kenapa makanannya gak habis? Mama sakit?"

"Mama. Mama pengen makan pelan-pelan kok. Soalnya udah lama Mama gak makan spaghetti."

Senyuman Lenny di depan Ryan tak bisa membohongi Adrian. Dia menepuk bahu Lenny seraya berkata, "Mama jangan melamun lagi. Makanannya habisin. Nanti Dewi Sri nangis."

Yo! Pika di sini. Kali ini aku mau bahas soal pesto.

Pesto itu sebenarnya saus buat pasta. Bahan-bahannya dari kacang-kacangan, kemangi, keju, dan minyak zaitun. Resepnya ada di video YouTube yang kutaruh di sana.

Lenny emang seneng pesto. Itu sebabnya Adrian sengaja membelikan bahan-bahan saus pesto untuk menghiburnya. Kalo aja ada suami yang sepeka Adrian, mau juga dong.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro