[Rumah Sakit Tua] - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kopo Medical Center. Bekas rumah sakit polisi yang terbelengkalai sekitar 20 tahun lalu. Tempat dengan lorong berdebu dan perabot berantakan yang juga tempat kelahiran Ressa. Sesekali berselang desah napas bercampur teriakan secara acak dari seluruh penjuru gedung empat lantai itu. Belakangan ini gedung itu menjadi buah bibir di kalangan generasi muda terlebih Saras.

Siang itu Saras mendekati meja Abay di ruangan unit Reserse.

"Bay, ke sana yuk!"

"Mau bantuin Nyonya Lenny selidikin kasus?"

"Gak sih. Mo rekam lo lagi jerit-jerit di sana terus pingsan."

Lagi-lagi Saras ingin mengerjai pemuda berambut jabrik itu. Cukup sudah Abay menderita selama ini berkat bersinggungan dengan dunia supranatural berkat kemampuan aneh dari kedua matanya!

Lenny baru saja memasuki ruangan unit. Dia sengaja singgah di meja kedua cenayang itu.

"Bagaimana hasil penyelidikan berkas kalian?"

"Belum ada informasi berarti," jawab Abay. "Nyonya, apa artinya kita akan pergi ke sana lagi?"

"Hari ini hanya ada kau dan Saras. Malika sudah izin karena ada remedial di kampus. Di mana Jaka?"

"Bang Jaka lagi nengokin Bang Andri di rumah sakit. Kenapa gitu?"

"Sepertinya, aku terpaksa akan mengajakmu. Aku butuh kemampuanmu dalam kasus ini."

Hari itu, mereka pergi ke kawasan Kopo Medical Center lagi. Abay teguk liur ketika mobil Lenny berhenti di area parkir. Firasat buruk menyelimuti diri pemuda yang seakan enggan tanggalkan sabuk pengaman.

"Kenapa? Kita takkan lama di sini. Setelah kau melihat semua yang terjadi di sana, kita akan pulang."

Haruskah? Senyuman sang kepala unit yakinkan Abay untuk turun.

Sore itu keadaan di sana sepi. Tidak banyak anak sekolah atau anak muda yang menguji nyali. Aroma amis bercampur menyan menguar dari lobi rumah sakit. Tambahan bumbu-bumbu jamur, debu beterbangan di setiap langkah, dan pengap membuat hidung mulai berkompromi. Jalinan sarang laba-laba yang menggantung bisa saja jatuh di atas kepala. Kenapa ada orang yang betah uji nyali di sana? Pandangan mata sebatas sorot senter itu tidak menjamin keadaan sekitar aman. Lenny lalu memasang pagar gaib untuk berjaga-jaga.

Lenny keluarkan tiga pasang sapu tangan dan masker dari dalam tasnya. Mereka susuri bagian dalam rumah sakit dengan panduan senter kecil di tangan Lenny. Keadaan di depan mata Abay berubah menjadi kacau. Kadang memperlihatkan keadaan sekitar lobi dengan makhluk halus lalu lalang. Kadang pula memperlihatkan kawasan permukiman Holland di masa lalu.

"Apa ada yang kau lihat?" tanya Lenny.

Pertanyaan Lenny nyaris tak terdengar di telinga Abay. Sejak tadi hanya sayup-sayup suara makhluk halus lalu lalang, jeritan pengunjung yang menguji nyali, dan orang-orang Holland saling bertumpang tindih. Abay berusaha mengumpulkan kesadaran dan tenaganya. Jarak antara dirinya dan anggota unit Reserse lain semakin menjauh.

"Abay?"

Pandangannya pun terbelah menjadi dua. Kepalanya berputar-putar hingga tubuhnya oleng. Darah mulai mengucur dari hidungnya. Kini ia tersungkur di atas lantai lobi yang bersalut debu dan lumpur.

"Bay!"

Teriakan Saras menjadi hal terakhir yang terdengar sebelum pingsan.

Angin malam berembus dari belakang. Seorang wanita berkulit putih duduk sendiri di selasar rumahnya. Rambutnya secokelat tanah dengan manik mata segelap biji mahoni. Dia seakan tak takut duduk sendiri. Gaun tidur putih berhias renda jatuh lemas melewati lututnya nan mulus.

"Apa yang jey lakukan? Tidak sepatutnya inlander berkeliaran sendiri malam-malam begini."

Pertanyaan wanita itu membuatnya terpaku. Pesona wanita dengan pipi berbintik itu terpancar dari senyuman yang terlipat. Tak kalah dengan konstelasi malam yang menemaninya di luar sana. Bibir semerah jambu ranum itu kembali berkata.

"Apa jey tersesat?"

Suara lembut wanita itu lalu berganti dengan teriakan. Jeritan. Tangis. Rangka atap yang jatuh dilahap api. Kini hanya tersisa kepala tanpa badan yang menitikkan air mata.

"Apa kau sudah mengingatnya?"

Sayup-sayup suara pria misterius mengembalikan Abay ke dunia nyata. Ayah dan Dokter Seno langsung mendekatinya.

"Kau sudah sadar, Nak?"

Keringat dingin membanjiri pakaian dan tangannya. Abay membuka telapak tangan yang kini berlumur darah. Ayah lalu mendekap Abay yang berteriak histeris.

"Kenapa, Nak? Badanmu sakit lagi?"

Dokter Seno lalu duduk di atas ranjang kamar Ayah. "Sepertinya akumulasi energi negatif dalam dirinya sudah mencapai batas. Ini sangat berbahaya. Aku harus memperingatkan Lenny agar tidak membawanya lagi ke sana."

Dokter Seno lalu merapikan seluruh barang bawaannya.

"Seno. Terima kasih sudah datang."

"Tidak masalah."

Dokter Seno baru saja meninggalkan rumah. Abay masih terduduk di kamar Ayah.

"Ayah. Sejak kapan aku pulang?"

"Saras menelepon Ayah. Dia bilang kau mimisan dan demam tinggi sewaktu menangani kasus. Ayah langsung ke markas Asosiasi sepulang kerja."

Abay berusaha bangkit dari ranjang Ayah. Tubuhnya tersungkur di atas lantai.

"Nak. Mau ke mana?"

Abay kemudian mengumpulkan tenaga untuk mengambil barang-barang pribadinya. "Aku mau tidur di kamar. Aku udah bisa naik tangga kok. Ayah bisa tidur lagi di sini."

Sudah tiga bulan Abay tidak tidur di kamarnya. Kamarnya tertata rapi dengan asbak di atas meja belajar. Posisi pigura berisi foto keluarganya berubah. Biasanya Abay menaruh pigura itu di rak buku atas meja belajarnya. Sepertinya Ayah sengaja menaruh pigura itu di samping asbak.

Abay menoleh ke arah jendela kamar. Hari sudah gelap. Sinar rembulan kekuningan di langit tak bisa menyapu air mata dan lara yang tak wajar. Kenapa Abay menangis? Siapa sebenarnya wanita keturunan Holland itu?

Malam itu Abay kembali beristirahat. Ia terbangun di selasar rumah bergaya kolonial dengan halaman luas nan asri. Semuanya sunyi. Tak ada suara kentungan apalagi tukang sate yang suaranya secepat kecepatan rambat cahaya. Wanita bergaun tidur putih itu duduk sendiri. Berteman dengan sebuah buku di pangkuan.

"Jey cari siapa?"

Sayup-sayup suara pria bersuara dalam membalas, "Aku tidak mencari siapa-siapa. Bahasamu bahkan sebaik pribumi."

"Jey bisa saja memuji. Aik selalu belajar bahasa pribumi setiap malam. Aik Juliana. Juliana Wilhelmina de Jongh. Bisakah jey menemaniku belajar bahasa pribumi setiap malam?"

Bayang-bayang kepala wanita yang sering mengganggu Abay persis dengan wanita bernama Juliana itu. Seorang wanita indo berkulit putih dengan rambut cokelat bergelombang. Hal itu bahkan membuat Abay dihukum mengerjakan soal Ekonomi di depan kelas.

Jam istirahat pertama pun dimulai. Saras menghampiri bangku Abay selagi kelas berangsur kosong.

"Bay, lo gak apa-apa?"

"Kalo gue masuk ya berarti badan gue udah mendingan," Abay berkelakar, seperti biasa.

"Soalnya gini lho, Bay. Gue ngeliat sesuatu yang aneh dari diri lo pas pingsan. Badan lo item semua kayak botol kecap."

"Lah, bukannya badan gue kayak kecap?"

"I-Iya sih. Masalahnya ini beda. Gue ngerasa kayak aura hitam kesedot gitu aja ke badan lo. Makanya gue panik terus telepon Om Wira juga. Takutnya kenapa-napa."

Saras lalu meninggalkan kelas. "Bay, sori soal perkataan gue kemaren. Gue gak nyangka lo bakalan sakit pas masuk ke sana."

Sepulang sekolah. Abay baru saja sampai di ruangan unit Reserse. Lenny lalu membawa Abay ke ruangannya.

"Nyonya. Ada apa?"

"Dokter Seno dari Poliklinik Asosiasi memarahiku di telepon. Aku tidak tahu masalahmu bisa seburuk ini."

"Dokter Seno menelepon Nyonya?"

"Bagaimana orang sepenting Dokter Seno begitu peduli padamu? Apa mungkin orang dalam yang berhubungan denganmu itu beliau?"

Abay menggaruk kepalanya. "Dokter Seno itu teman dekat Ayah. Selama ini beliau yang merawat keluargaku kalau sakit."

Lenny tarik napas lega. "Rupanya dokter keluarga biasa. Lalu, adakah yang kaulihat kemarin?"

Abay kemudian menceritakan soal masalahnya.

"Jadi, selama ini kau mengalami halusinasi yang berhubungan dengan kejadian di rumah sakit itu?"

"I-Iya, Nyonya. Aku sering melihat kepala noni Holland yang terpenggal dan darah di depan mataku. A-Aku gak tahu apa itu sampai pergi ke sana."

"Sepertinya hal yang kau lihat menjadi petunjuk dari gangguan makhluk halus di sana. Sayang sekali kau tidak bisa ke sana, tapi aku punya tugas penting untukmu."

Lenny meminta Abay untuk pergi ke gedung Arsip Regional. Lenny sudah mengurusi semua persyaratan untuk mengakses arsip penting dari setiap daerah di kawasan Priangan.

"Kau pasti dari Asosiasi Sektor Kopo," sambut seorang pria berseragam cokelat PNS. Pria itu lalu mengantar Abay menuju ruangan berisi arsip penting kota Kopo.

"Semua ini berkas penting berhubungan dengan kawasan utara Kopo. Jika ada pertanyaan, aku ada di meja dekat pintu."

Beragam berkas lama ada di atas meja. Mulai dari berkas milik pemerintah Kopo bahkan salinan berkas pemerintah kolonial dengan bahasa pribumi.

Daerah utara Kopo sempat menjadi tempat tinggal bagi keturunan tuan tanah setempat dan orang-orang Indo. Pantas banyak gedung bergaya kolonial di sekitar kawasan tersebut.

Tono pernah cerita soal Kolam Renang Tjihampelas—yang dulunya merupakan kolam renang golongan elite di masa lalu. Dia menemukan prasasti "anjing dan inlander dilarang masuk" di depan pintu masuk kolam renang (dan prasasti itu masih ada sampai sekarang). Pada masa kolonial, rasisme tak terelakkan lagi. Seperti halnya pada prasasti di depan Kolam Renang Tjihampelas—yang juga markas dari klub renang Mutiara Timur. Hal itu berujung pada kerusuhan yang menghancurkan beberapa permukiman penduduk di utara Kopo. Termasuk daerah yang kini menjadi Kopo Medical Center. Mereka membantai orang-orang indo di sana tanpa kecuali.

Mungkin kebencian dan amarah dari penduduk pribumi di masa lalu memicu energi negatif yang terakumulasi seiring berjalannya waktu. Konsentrasi energi negatif kuat menjadi magnet bagi para makhluk halus untuk tinggal. Layaknya kelas A 23 di SMA Negeri 29 dulu.

Lalu, siapa yang menyebabkan gangguan bagi para penduduk sekitar? Abay terus mencari sejarah tempat sekitar Kopo Medical Center lebih lanjut di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro