[Rumah Sakit Tua] - 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wajah Abay pucat pasi. Badannya gemetar di ujung tangga sana. Para makhluk halus tiba-tiba berseteru.

"Pemuda itu milikku!" seru hantu berseragam dokter.

"Tidak. Kami yang menemukannya terlebih dahulu," balas trio kuntilanak.

"Tidak bisa. Pemuda itu memiliki tenaga dalam yang hebat. Dia harus menjadi santapanku agar lebih kuat," kata tuyul KW super.

Selagi para makhluk halus itu berdebat, Abay mengendap-endap menuju lantai dua gedung. Ia bersembunyi di celah dekat tangga selagi menarik napas sejenak. Pandangannya mengabur. Kepalanya berputar-putar hingga tak sanggup berjalan lagi. Ia kini tergeletak di lorong lantai dua.

Ketukan tongkat bergema di lantai dua rumah sakit yang senyap. Keadaan di depan mata terus meredup. Hidungnya pedih. Genangan darah dari hidung kini menjadi alas kepalanya.

Ketukan tongkat semakin mendekat. Jantung pun berdebar mengikuti ketukannya. Abay terbujur kaku di atas lantai bercampur debu yang menggelitiki kulit. Sepasang kaki berkeriput dan ujung tongkat menjadi hal terakhir yang muncul di depan mata. Apa jangan-jangan itu makhluk halus yang Jaka maksud?

Hangat. Lebih hangat daripada secangkir bandrek di pagi buta. Punggungnya bersandar pada sesuatu yang kokoh. Pandangannya kembali memfokus. Sesosok nenek tua duduk di samping tongkatnya.

"Nenek siapa?"

"Aku Nyi Centeh. Kuncen dari tempat ini."

Kerutan di wajah nenek berkebaya cokelat itu seakan turut tersenyum. Nenek itu menempelkan tangan keriputnya di tubuh Abay. Persis seperti Lenny mengalirkan tenaga dalam untuk menyembuhkannya. Hawa makhluk halus menyelimuti tubuh nenek itu. Lalu, kenapa?

"Kenapa Nyi menolongku?"

"Aku tidak merasakan niat buruk apapun dari dirimu. Seperti halnya orang yang bertarung di atas sana. Kau mungkin saja tersesat di sini."

"Nyonya Lenny ... apa Nyi bertemu dengannya?"

"Aku belum ke atas. Getaran dari atas terlalu kuat untuk kaki tuaku berjalan."

"Nyi, bisa anterin ke atas?"

"Apa kau yakin ingin ke atas? Semua simpul tenaga dalammu putus. Kau takkan punya cukup tenaga untuk pergi."

Abay berusaha bangkit lalu jatuh terduduk. Ia meraih dinding di dekatnya.

"Ada dua orang di atas sana. Salah satunya pingsan. Aku harus membawa mereka pergi dari sini."

Nyi Centeh mengambil tongkat berkepala persis akar kayu tua nan gemuk. "Mata kuning itu ... sepertinya dia yang merusak tubuhmu. Tubuhmu seperti segel yang rusak."

"Nyi tahu sesuatu tentang diriku?"

Nyi Centeh berjalan di depan Abay. "Jika kau bisa berjalan dalam gelap tanpa cahaya, itu artinya kau bukan pemuda biasa. Ikutlah denganku. Aku akan menjagamu sampai menemukan mereka."

"Sampai kapan kau akan terus bertahan, Nyonya!"

Teriakan dan guncangan hebat muncul di sepanjang anak tangga menuju lantai tiga. Abay berusaha mempercepat langkahnya ke atas.

"Anak muda, hati-hati!" seru Nyi Centeh.

Sampailah Abay di ujung lorong lantai tiga. Cahaya senter dari tengah lorong memperlihatkan Saras yang terkapar di dekat tangga. Sesosok yang tak begitu jelas bertarung di sana. Mata Abay memburam hingga memperlihatkan titik putih mengiringi tubuh yang bergerak. Itu pasti Lenny.

Bongkahan batu besar kemudian melayang ke arah Lenny. Abay memikirkan semua hal yang bisa membuatnya marah besar untuk menyelamatkan Lenny. Angin kencang berderu-deru mendorong kembali bongkahan batu besar sekaligus debu di sekitar lorong. Tubuhnya menggigil sejenak seiring dengan salju yang turun menyertai angin tersebut.

Abay terduduk dengan stamina dan tenaga dalam nyaris habis. Lenny langsung menjewer telinga Abay.

"Dasar bodoh! Kenapa kau datang ke sini?"

"Ampun, Nyonya! Aku takut kenapa-napa di dalem. Kamera di sini tiba-tiba terputus. Bang Jaka terluka. Nyonya dan Saras—"

Tubuh Abay roboh di pangkuan Lenny setelah menggunakan jurus Hembusan Badai Kutub Selatan. Abay belum pernah menggunakan jurus sekuat itu yang menghancurkan organ-organ dalamnya. Darah terus mengucur dari hidung dan bibirnya yang membiru. Nyi Centeh kemudian mendekati Lenny.

"Nenek. Tempat ini berbahaya!" seru Lenny.

"Aku tahu. Aku hanya menemani pemuda ini ke atas. Tolong jaga pemuda ini sebentar."

Nyi Centeh lalu memeriksa kondisi Saras. Pandangan Abay mengaburkan sosok bersuara lantang yang menantang Nyi Centeh.

"Apa yang kau lakukan, Nek? Kau ingin aku mempercepat kematianmu?"

"Kau ya yang selama ini mengganggu penunggu di sini. Keberadaanmu jauh lebih mengganggu daripada manusia penasaran yang datang."

"Abay. Siapa nenek itu?"

Sorot mata Abay bertambah buram. Dadanya remuk untuk menarik napas.

"Nyi Cen ... teh. Kuncen si ... ni."

"Kenapa kau percaya begitu saja dengan perkataan makhluk halus? Di mana sentermu?"

Perkataan Abay tertahan di ujung mulut. Darah sudah menggenangi paru-paru hingga kesulitan bernapas apalagi bicara. Fungsi indra lainnya menurun. Semuanya gelap. Suara di sekitar nyaris tak terdengar. Tubuhnya menghangat. Aliran tenaga dalam kemudian membuatnya memuntahkan gumpalan darah yang menghitam.

"Bertahanlah. Setidaknya agar kita bisa membawa Saras dari sini," ucap Lenny dengan suara yang semakin mengecil. "Jaka! Kau bisa mendengarku?"

"Akhirnya aku menemukanmu, Anak Muda. Kondisimu yang melemah memudahkanku untuk menyantapmu!"

Kegelapan di matanya tersibak. Sorot senter di kepala Lenny membuat Abay memicingkan mata. Sesosok siluman kelelawar terbang di tangga menuju lantai tiga. Kulitnya kelabu dengan lidah panjang menjulur dan sayap berselaput yang terus mengepak. Sosok itu berusaha menyerang Lenny dari atas. Ia berhasil mengelak tembakan pilar batu bertubi-tubi di udara.

Jemari Abay kembali bergerak. Ia berusaha untuk membantu Lenny yang tersudut. Nyi Centeh berusaha menyelamatkan Saras selagi menghindari sosok berkaki laba-laba yang menyerangnya.

Sekujur tubuh Abay menghangat. Tarikan napasnya semakin enteng. Seakan-akan memulihkan diri sendiri dalam sekejap. Tubuhnya jauh lebih bertenaga dan ringan. Asap tipis berhawa dingin muncul dari telapak tangannya.

Sosok siluman kelelawar menukik ke arah Lenny sembari membuka lebar-lebar gigi bergerigi tajamnya. Abay bertolak menepis siluman kelelawar dari kejauhan.

"Abay! Hentikan! Tubuhmu tidak kuat lagi!"

Sebuah tongkat es muncul dari genggaman tangannya. Sepucuk tombak es berujung runcing  mengoyak sayap siluman kelelawar hingga jatuh membentur dinding. Satu persatu makhluk halus yang mendiami ruangan sekitar berhamburan melarikan diri. Abay lalu mendarat di lorong dengan rambut panjang yang berayun sesaat menutupi mata.

"Nyonya gak apa-apa?"

Suara berat dan dalam membuat Lenny bersiaga. "Siapa kau? Kenapa cara bicara dan pakaianmu persis dengan Abay?"

"Nyonya kenapa sih? Udah jelas ini anak buah Nyonya yang kurang gan—" Abay terpaku dengan tangannya yang putih mulus. Lulur bahkan suntikan vitamin C sekalipun mustahil membuat kulit segelap kecap Abay putih dalam sekejap.

Sosok siluman kelelawar bergabung dengan sosok setengah laba-laba di belakangnya.

"Tuan Salaka."

"Keling. Kenapa dengan sayapmu?" balas sosok berkaki laba-laba itu.

"Pria bertombak es itu merusak sayapku. Gerakannya sangat cepat," balas Keling.

Sementara itu, Abay terus mengangkat kedua tangannya yang putih dan berotot kencang. Rambut putih panjang menjulur sebatas pinggangnya. Lenny terus memicingkan sedikit matanya ke arah Abay.

"Rambut putih dan es itu ... apa kau itu orang Kembang Putih?"

Salaka bersiap untuk menyerang mereka. Nyi Centeh segera menepikan Saras dari lorong. Guncangan kuat kembali mengayunkan barang-barang di sekitar mereka. Abay langsung menggunakan jurus Lompatan Kelinci lalu menarik Lenny ke atas trampolin selebar satu meter tempatnya berpijak.

"Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?"

"Nanti saja, Nyonya. Sebaiknya kita pikirkan soal Saras dan cara menghentikan gangguan laba-laba jelek itu."

Abay bertolak dengan trampolin kecil selebar telapak kaki di dekatnya lalu menusuk Salaka dengan tombak es. Serangannya meleset. Keling menarik Salaka dengan tangannya yang terluka.

"Kampret."

Abay membuat tombak es lain dari genggaman tangannya. Ia menyerang Salaka dan Keling sekaligus. Sayap yang koyak tidak menghentikan manuver Keling. Hal itu menjadi kesempatan emas bagi Salaka. Ia menembakkan jaring dari mulutnya.

"Buset! Jaring bau jigong!"

Abay masih saja bercanda sambil menghindar. Tanpa sadar Keling ada di belakangnya dengan cakar tajam yang siap mengoyak badan. Sebuah tembok mementalkan Keling ke langit-langit. Tubuhnya kini terperangkap di atas jalinan jaring yang merintangi lorong rumah sakit.

"Aku tidak tahu siapa kau, tapi sifat gegabahmu itu benar-benar persis Abay yang kukenal. Sebaiknya kita tuntaskan saja sebelum tenaga dalamku habis," ucap Lenny selagi menggenggam mantap Termos Perangkap.

Salaka tertawa kencang.

"Apa kalian pikir bisa menyerangku begitu saja? Kalian mungkin bisa menghindari Tinju Bumi milikku. Bagaimana dengan lepas dari jaring super lengketku?"

"Hei! Lepaskan aku!" gerutu Keling selagi berusaha melepaskan diri.

"Sebaiknya kau duduk manis saja di sana. Kau tak berguna tanpa sayapmu."

"Cih. Inikah yang dinamakan kerja sama tim?"

"Memangnya aku sudi satu tim denganmu?"

Selagi keduanya saling berdebat, Abay menggunakan tombak esnya untuk menyerang. Ia menangkis tembakan jaring dari mulut Salaka. Sial. Jaringnya tidak terbelah. Kini tembakan jaring mengunci badannya di dinding. Tentu saja hidungnya sekarat dengan bau jigong di sekitar.

Keadaan di sekitar lorong lantai 3 berguncang. Getaran kaki Salaka sekuat jurus Tinju Bumi miliknya. Sejak tadi Abay tak bisa meloloskan diri. Andai saja ia memiliki manifestasi tipe logam yang bisa memotong apapun. Salaka kini bersiap untuk menyantapnya.

"Aku tidak pernah bertemu dengan pemuda sepertimu," Salaka menjilati bibirnya, "Kurasa aku bisa menjadikanmu santapan pembuka untuk menambah kekuatanku berkali-kali lipat."

"Hei! Aku yang menemukannya lebih dulu!" sahut Keling.

"Aku yang menangkapnya lebih dulu. Dengan kekuatan dari pemuda ini, baik Aryasena maupun Naga Sungsang bukan masalah besar lagi."

Kedua kaki runcingnya kini menekan pipi Abay. Sementara itu, Nyi Centeh masih berusaha mengobati Saras. Lenny sudah ... kilauan tutup Termos Perangkap memberinya ilham.

"Nyonya. Cepat tangkap laba-laba jelek ini dengan Termos Perangkap!"

"Bagaimana caranya? Kita bahkan tidak bisa melumpuhkannya."

"Masih ada cara. Ini memang beresiko, tapi percayalah padaku."

"Kau ingin menantangku dengan tubuh seperti itu?"

Masih ada celah bagi Abay untuk menggerakkan tangannya. "Jurus Pembasmi: Pemurnian Jiwa!"

Ledakan cahaya menyilaukan mata siapapun di sekitarnya. Nyi Centeh kemudian memasang penghalang untuk melindungi Saras. Ini kali pertama Abay menggunakan jurus yang ditirunya dari Sephia. Tubuhnya remuk redam setelah menggunakannya.

"Panas! Panas! Hentikan!"

Tubuh Salaka berguncang. Sayatan demi sayatan melukai tubuh kekarnya. Darah yang memancut terurai menjadi titik-titik cahaya di depan Abay.

"Nyonya! Sekarang!" teriak Abay selagi menahan rasa sakit di badan.

Angin bertekanan tinggi dari dalam Termos Perangkap menarik apapun di sepanjang lorong. Namun, tak cukup kuat mencerabuti jaring laba-laba dan benda apapun yang tersangkut di atasnya.

"Hentikan!"

Teriakan Salaka bergema di sepanjang lorong. Tubuh Abay sudah mencapai batas. Ia terus mengerang karena jurusnya sendiri. Lenny menambah tekanan dari Termos Perangkap di tangannya. Angin kencang berhasil mengisap tubuh Salaka ke dalam Termos Perangkap. Lampu LED berkedip sesaat sebelum akhirnya padam.

Sosok yang selama ini mengganggu penduduk sekitar rumah sakit kini berhasil tertangkap. Semua itu dengan tubuh ringkih Abay sebagai ganjarannya.

Kondisi Saras sudah membaik dengan pertolongan Nyi Centeh. Lenny kemudian menginterogasi Keling selagi terperangkap di atas jaring. Sementara itu, keadaan di depan mata Abay memburam. Ia tak menyangka eksorsis bisa berbalik melukai dirinya seburuk ini.

"Kau baik-baik saja, Anak Muda?"

Ayunan tongkat Nyi Centeh memutus jaring laba-laba di sekitar Abay. Lenny langsung menangkap Keling dengan Termos Perangkap.

"Huh. Siluman di sini benar-benar merepotkan," dia menoleh ke arah Abay, "dan sekarang aku butuh penjelasanmu soal ini. Siapa kau? Kenapa kau bertingkah seperti anak buahku dan bisa menguasai jurus cenayang?"

Abay terus mengangkat kedua tangannya.

"Kalau kau tidak menjawab, termos ini bisa membantumu."

"Ja-Ja-Ja-Jangan, Nyonya!"

Abay menarik napas sesaat. Ia menceritakan identitasnya pada Lenny.

"Kepalaku benar-benar pusing. Aku masih bisa percaya soal campuran karena pernah bertemu mereka. Lalu, bagaimana bisa?"

"Aku juga bingung, Nyonya. Bahkan kemampuanku saja gak bisa bantu banyak. Maaf kalo selama ini aku—"

"Aku tidak peduli siapa dirimu. Aku hanya peduli pada kinerjamu sebagai seorang cenayang."

Abay meraih tangan Lenny. Wanita itu tertunduk sesaat.

"Nyonya?"

"Aku tidak apa-apa. Sebaiknya kita bawa Saras ke mobil."

"Apa kalian ingin pergi sekarang, Anak Muda?" tanya Nyi Centeh.

"Iya," balas Lenny. "Terima kasih telah membantu kami, Nek."

"Sama-sama. Apa perlu kuantar sampai bawah?"

Abay menggendong Saras di punggungnya. "Gak usah, Nyi. Nyi Centeh istirahat aja."

Lenny dan Abay berlari menerobos para makhluk halus di sekitar lorong.

"Tangkap mereka!" seru sosok kuyang di dekat lorong.

Sundel bolong di dekat lift membalas, "Jangan. Mereka jauh lebih kuat daripada kita. Sebaiknya kita menyingkir saja"

Akhirnya Abay bisa bebas dari fans—maksudnya para makhluk halus yang mengerubungi mereka di sepanjang lorong menuju lantai dasar.

"Nyonya, apa yang harus kulakukan? Aku gak tahu gimana caranya bisa balik lagi ke tubuh asal."

"Coba gunakan Ilusi Mata. Para cenayang biasa menggunakannya untuk menyamar atau mengendap-endap menuju sasaran."

Sampailah mereka di area parkir Kopo Medical Center. Jaka membantu mereka membawa Saras ke dalam mobil. Mereka akhirnya kembali ke markas Asosiasi Sektor Kopo. Namun, Abay tidak ikut bersama mereka pulang. Masih banyak pertanyaan soal Kopo Medical Center dan dirinya yang mengganjal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro