[Sepatah Kata] - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagaimana bisa ada paku dan pecahan beling menancap di perut Saras dan melukai tangan Abay? Pertanyaan demi pertanyaan bertumpuk seiring gadis belia itu lewati jalan pulang.

Elissa Rahmawati, 17 tahun. Dia gadis periang yang sering menyebarkan kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya. Namun, cahaya kebahagiaan di wajahnya pun sirna seiring masalah menghujam bertubi-tubi.

Sesampainya di rumah, Ceu Edoh bukakan pintu kecil selebar motor di depan rumah. Dia tidak masuk lewat garasi karena pergi sendiri dengan kendaraan umum. Pembantu bertubuh gempal itu tak seperti perawakannya. Tubuhnya lincah dan cekatan.

"Neng Eli!"

"Ceu, Papa sama Mama ke mana?"

"Papa sama Mama lagi bawa Mas Irwan ke alternatif. Biar cepet sembuh."

Ceu Edoh sudah melayani keluarganya sejak masih kecil. Elissa memang baru mengenal Ceu Edoh semenjak duduk di kelas 4 SD. Ingatannya mungkin samar karena saat itu dia tinggal di rumah kakeknya, kawasan Rancabolang.

Elissa dekap erat boneka beruang sebesar 1 meter di hadapannya. Tak disangka, Saras terluka karena ingin menolongnya. Apa daya, Elissa tak bisa.

Semua bermula di malam itu.

Elissa tak bisa tidur berkat banyaknya tugas sekolah yang menggunung. Deretan tugas tanpa henti membuat otaknya berdenyut. Tenggorokannya gatal dan kering. Dia turun mengambil minum. Jam di dinding menunjukkan pukul 11 malam selagi Elissa nyalakan lampu dapur.

Keadaan di sana senyap. Padahal biasanya selalu ada suara samar penyanyi dangdut menyelinap dari kamar Ceu Edoh yang ada di samping dapur. Ceu Edoh tak pernah absen menonton "Dangdut Academy" yang selalu selesai larut malam.

Firasatnya berkata seperti ada orang mendekat. Sepertinya ada orang lain di sekitar rumah. Bisa saja maling. Lantas, Elissa mengintip dari balik tirai. Pintu belakang pun terkunci rapat. Keadaan jalan di depan rumah pun senyap. Pintu pagar dan garasi sudah dalam belitan rantai.

"Gak ada siapa-siapa kok," gumamnya. Percuma saja pikirkan hal itu. Lebih baik Elissa selesaikan PR-nya.

Firasat tidak enak itu terus muncul selama berhari-hari. Hingga saat itu, sehari sebelum Papanya membuka bisnis di Jayakarta.

"Pa, Papa yakin akan pergi ke sana?" tanya Elissa sewaktu makan malam.

"Iya. Papa juga sekalian awasin pegawainya selama seminggu. Kali aja ada yang ceroboh ya siapa tahu."

Papanya pengusaha generasi kedua jaringan restoran yang memiliki nama besar di Kopo. Salah satunya warung bakso. Dia sering ke sana sewaktu masih kecil. Seiring bisnis semakin besar, Elissa jarang lagi pergi ke sana bersama Papa. Kesibukan menjadi jarak di antara mereka.

"Eli punya ide baru buat restoran gak?"

"Gimana kalo bikin bakso isi ... saus tomat. Orang-orang biasanya menjual bakso isi cabai atau hal baru seperti keju."

"Coba deh Eli buatkan Papa sampelnya. Nanti Papa cicipi sepulang dari Jayakarta."

Namun, obrolan itu berubah menjadi petaka. Restoran bakso Papa terbakar tepat di hari pertama pembukaannya. Tak ada lagi senyuman yang membekas di benak Papa sepulangnya ke Kopo. Bahkan Ua Hasan pun menghiburnya selagi datang ke rumah.

"Udah atuh, Pri. Namanya juga musibah. Gak usah terlalu ambil pusing."

"Saya tidak masalah dengan itu, Ua. Masalahnya, bagaimana saya bisa menggaji para pegawai bulan ini? Semua aset produksi kita habis, Ua."

Ua Hasan adalah kakak Papa sekaligus orang terdekat Elissa. Beliau sering ke rumah bila sempat. Ua Hasan juga ambil alih bisnis keluarga. Namun, beliau lebih memilih meneruskan pabrik batagor instan daripada mengelola restoran bakso.

"Udah, Pri. Mending gini aja. Anggap aja itu ujian. Jangan terlalu ambil pusing. Uang simpanan masih ada, 'kan? Coba pakai dulu buat gaji pegawai bulan ini. Soal biaya produksi, gak perlu dipikirin. Masih bisa kok produksi dengan mengirim bahan baku dari sini."

Ua Hasan juga penasehat keuangan keluarga. Berbekal latar belakangnya sebagai mantan akuntan, lambat laun bisnis Papa mulai bangkit dan sanggup menggaji karyawan hingga sekarang. Namun, masalah terus datang tanpa istirahat. Pasalnya ini berkaitan dengan perasaan dan harga diri keluarga.

Betapa hati Irwan tidak remuk ketika pesta pertunangan yang sudah dipersiapkan dan pernikahan di depan mata kandas sudah dalam semalam. Tak terhitung sudah pundi-pundi yang lenyap tanpa sebab. Irwan pun remas ponsel tatkala matanya tertuju pada akun Instangram sang kekasih. Ya, tepat di hari pertunangannya, kekasihnya pergi ke luar negeri bersama orang lain selagi pamerkan foto-foto mesra. Irwan bahkan mengurung diri bahkan berakhir jatuh sakit seminggu setelah kejadian itu.

Ua Hasan pun datang ke rumah untuk memastikan keadaan keponakannya.

"Sudah, Wan. Jangan sedih. Mungkin saja ini rencana Tuhan buat carikan Irwan jodoh terbaik."

"Terus, gimana sama uang yang udah masuk ke EO? Irwan juga sudah dapet tanggal buat sewa gedung juga."

"Acaranya ganti saja dengan santunan anak yatim. Lagipula uangnya juga sudah tidak bisa ditarik lagi."

Elissa mengintip dari balik pintu kamar sang kakak. Irwan pun banting pigura berisi foto kelulusan SMA dengan sang kekasih. Irwan memang berjanji akan menikahi Cynthia setelah wisuda. Kini, janji itu omong kosong belaka. Bahkan bayang-bayang sang mantan pun membawa Irwan pada kecelakaan hebat yang nyaris merenggut nyawa.

Ponsel di tangan Elissa meluncur jatuh. Air matanya bergulir tatkala mendapat telepon dari Saras. Saras menemukan kakaknya menjadi korban kecelakaan sewaktu perjalanan pulang. Dia dekap erat tubuh Ceu Edoh yang baru saja menjemur pakaian.

"Ceu," isaknya

"Kunaon Neng Eli téh?"

"Mas Irwan kecelakaan. Kata Saras motornya sampe ancur."

"Ya ampun. Mas Irwan kecelakaan? Ceu Edoh telepon Bapak sama Ibu biar cepet pulang ya! Sok atuh Neng Eli siap-siap ke rumah sakit nya."

Matanya sembap ketika dokter menutup tirai ruang UGD rumah sakit. Dia dekap erat Ceu Edoh yang berdiri di sampingnya.

"Udah atuh, El. Sekarang doain aja biar Mas Irwan cepet sembuh," ucap Saras.

Sejak saat itu, Elissa lebih sering muram. Berulang kali Ceu Edoh menghiburnya dengan guyonan khas. Selama ini Eli selalu tertawa berkat cerita lucu pembantunya itu.

"Tumben Neng Eli téh gak ketawa. Apa Ceu Edoh téh kurang lucu?"

Elissa pun rebahkan diri di ranjang kamarnya. Dia tak lagi banyak bicara seperti biasanya. Tidak dengan Ceu Edoh atau Saras yang sering menginap di rumahnya. Hari itu, Ua Hasan datang menjaga Elissa. Orang tuanya masih ada urusan di luar kota. Ketika Irwan masuk rumah sakit, otomatis hanya ada dua orang perempuan di sana.

"Ua Hasan. Akhir-akhir ini téh Neng Eli camedut terus. Biasanya kalo ada apa-apa suka cerita sama Ceu Edoh ato Neng Saras."

Ua Hasan tertegun sesaat. "Ceu, pernah mikir gak kalo semua ini kayak yang disengaja?"

"Disengaja apanya, Ua?"

"Sok atuh dipikir-pikir lagi. Memangnya ada musibah datang beruntun seperti ini? Kayaknya mah ada yang ngirim."

"Ua Hasan mah. Ceu Edoh téh jadi merinding!" seru Ceu Edoh.

"Ini mah kayaknya ada yang sirik sama Pri. Da semenjak bisnis Bapak diambil alih sama Pri, bisnisnya malah maju pesat sampai banyak buka cabang di luar kota. Pasti ada yang gak suka sama dia."

"Ua. Ngapain atuh sirik? Da rejeki mah udah ada yang ngatur."

"Namanya juga manusia. Gak ada yang tahu isi hati orang mah."

Perkataan antara Ceu Edoh dan Ua Hasan sampai pula di telinga Elissa. Kiriman? Apa itu paket yang biasa datang membawa barang sampai depan rumahnya?

"Eli, Ua boleh masuk?"

Elissa seka air matanya. Sang ua pun mendekat. Pria paruh baya dengan rambut beruban teracak itu menjadi sandaran bagi dirinya yang rapuh.

"Ua. Kenapa dengan keluarga ini?"

Ua Hasan tak bisa berkata apapun. Dugaan guna-guna hanya sebatas intuisinya. Beliau tak punya bukti apapun soal itu. Bisa saja beliau salah bicara dan justru membawa masalah lain bagi keluarga Elissa.

"Keluarga Eli lagi diuji. Tandanya Tuhan masih sayang sama Eli."

"Sayang? Kenapa harus dengan musibah?"

"Musibah itu tidak selamanya berarti buruk. Bisa saja itu peringatan agar Eli gak lupa diri. Bisa juga Tuhan pengen ngasih Eli ganti yang jauh lebih baik dari ini."

Ua Hasan selalu berhasil menghibur Elissa. Tak heran, Elissa begitu menyayangi Ua Hasan seperti kedua orang tuanya sendiri. Ceu Edoh pun tersenyum dari jauh. Akhirnya Elissa kembali lagi seperti dulu berkat keberadaan Ua Hasan.

Namun, tidak selamanya.

Kini Elissa juga harus teguk pil pahit berkat musibah yang membuat Ua Hasan berakhir koma di rumah sakit. Dokter pun tidak bisa menjelaskan penyebabnya. Dokter sebatas berkata, "Kondisinya kritis. Beliau harus dirawat intensif di ruang ICU."

Malam harinya, Elissa tak bisa tidur. Dia terbangun berkat mimpi buruk. Pikiran soal musibah keluarganya terbawa pula ke alam mimpi. Elissa pergi ke kamar mandi sekaligus ambil air di bawah sana. Sayup-sayup suara cengkok dangdut mengisi suasana malam di dapur rumah Elissa. Jam dinding di dekat dapur menunjukkan pukul 9 malam. Berarti tandanya Ceu Edoh belum tidur.

Sudah tiga gelas air habis dan dirinya belum mengantuk. Elissa membuka buku pelajaran. Memang sekolah sudah libur karena ini akhir tahun. Kebiasaannya belajar tidak berhenti selepas buku rapor miliknya berada dalam genggaman.

Malam itu, sekitar pukul 22.30.

Ayunan jarum panjang berdetak di atas meja belajar Elissa. Dia sudah selesaikan 20 soal Matematika dan tetap tidak mengantuk. Elissa pun mencari cara tidur di internet.

Minum obat penenang? Ini terlalu beresiko.

Makan banyak sebelum tidur? Mama bilang makan sebelum tidur itu tidak baik.

Menghitung domba? Elissa pun rebahkan diri selagi hitung domba keseratus.

Suara-suara sumbang pun sampai di telinga. Tidak. Itu desau angin yang menerpa ranting pohon kersen di halaman depan rumah. Suara itu bertambah jelas.

Hihihihihihi!

Kuntilanak? Rasanya bukan. Tawa itu milik seorang pria. Papa dan Kiki sudah tertidur pula sejak jam 8 malam. Elissa tarik selimut lalu tutupi telinga dengan bantal.

"Jangan takut."

Elissa gemetar. Suara apa barusan? Angin kencang kembali membuatnya bergidik. Elissa menggulung diri di dalam selimut.

"Tolong. Siapapun di sana, jangan ganggu!"

Suara parau mendesah itu kembali membalas.

"Kami takkan mengganggumu selama kau diam. Jika kau mengganggu kami, kau akan seperti pria tua sekarat itu!"

Pria tua sekarat ... jangan-jangan Ua Hasan ....

"Apa yang kalian lakukan pada Ua Hasan?"

"Jika kau sayang keluargamu, tetaplah diam. Kami selalu mengawasimu setiap saat!"

Suara-suara itu lenyap seiring deru angin berlalu. Wajah Elissa pucat pasi. Ia tetap terjaga semalam berkat kejadian itu.

Tangan Elissa gemetar. Haruskah ia tetap diam? Sudah cukup Mas Irwan, Saras, bahkan Ua Hasan menjadi korban dari diamnya selama ini. Tidak. Ini tak bisa dibiarkan lagi. Lalu, pada siapa Elissa harus bicara? Lagipula Tuhan takkan mengubah keadaan begitu saja bila tak berusaha.

Pikirannya pun tertuju pada Lain di ponselnya. Grup VI A 2006 Semakin Di Depan menjadi tujuan dari sentuhan jemari. Satu nama akun pun terlintas di pikirannya saat itu.

windocean00

slow resp, telepon aja

Haruskah Elissa menghubunginya malam itu juga?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro