Anneta - Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anneta benar-benar melamar pekerjaan itu. Dan sepertinya Tuhan juga melancarkan segala urusannya. Mungkin karena memang niatnya baik. Apa yang sekarang Anneta lakukan, semata-mata karena dia ingin menolong Naira. Semoga dia benar-benar mendapatkan hasil dari tempat ini. Jangan sampai apa yang ia korbankan menjadi sia-sia.

Untuk urusan toko bunga ia sudah minta tolong pada Riska untuk mengurusnya. Dan ia bersyukur tantenya atau mama Tara, juga mau membantu mengurusi toko tersebut saat Anneta bercerita ingin fokus pada kegagalan skripsinya. Yah, walaupun alasan sebenarnya bukan itu. Tapi setidaknya Anneta tidak benar-benar berbohong. Karena memang dia juga akan mengurus sidang ulangnya sembari bekerja paruh waktu sebagai office girl. Walaupun dia belum tahu bagaimana nanti, yang terpenting ada niatnya dulu.

Gue nggak kenal lo Nay, tapi nggak tahu kenapa gue harus mau ngelakuin ini semua.

Anneta mengembuskan napas untuk menetralkan jantungnya yang perlahan berdentum hebat saat melihat tempatnya bekerja. Sebelum akhirnya memberanikan diri masuk ke tempat itu. Semoga ke depannya semuanya lancar. Yah, semoga!

Anneta mulai bekerja hari ini. Ah, dia benar-benar tabu dengan pekerjaan seperti ini. Jangankan mengepel, mencuci piring di rumah pun dia tidak pernah. Gadis itu menyesal karena tidak mau mendengarkan kata-kata mamanya untuk belajar mengerjakan pekerjaan rumah. Ternyata inilah efek dari terlalu manja dan bergantung pada orang lain.

"Kamu anak baru?" tanya seorang laki-laki yang memakai seragam sama dengan Anneta. Masih muda, ia pikir teman-temannya adalah bapak-bapak atau ibu-ibu yang sudah berumur, ternyata tidak.

"Iya, Mas," kata Anneta canggung. Dia harus bersikap manis, karena mau bagaimana pun dia adalah seorang junior di tempat ini.

"Panggil aja, Faris. Nggak usah pakai Mas-masan," katanya sembari tersenyum. Matanya terus memindai wajah cantik Anneta. Mungkin dia juga berpikir, gadis ini rasanya kurang pantas jika harus menjadi seorang office girl. Lihat saja rambut panjang Anneta yang sangat terawat, meski kini diikat menjadi satu ke belakang.

"Oke, aku Anneta," katanya sembari menyambut tangan Faris, lalu datang dua orang lainnya, namanya Ira dan juga Wawan. Mereka semua ramah dan tidak memperlakukan Anneta seperti seorang junior.

***

"Ta! Sekalian kamu yang antar, ya? Biar tahu Pak Bos kita yang mana," kata Wawan, dia sepertinya yang paling tua di sini. Anneta hanya mengangguk sembari meracik dua kopi ke dalam cangkir.

"Siapkan hati ya, Ta!" Entah apa arti dari kata-kata yang baru saja Wawan katakan. Anneta hanya menggerdikkan bahu lalu melangkah keluar dengan nampan di tangannya.

Anneta mengetuk pintu ruangan direktur utama kantor itu, yang letaknya ada di lantai paling atas. Lalu melangkah masuk saat terdengar sahutan suara berat dari dalam. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar sedikit cepat. Bukan karena perkataan Wawan tadi, tapi dia bingung bagaimana caranya ia mengenali apakah orang di dalam itu adalah Alfian. Dan jika benar bosnya tersebut bernama Alfian, bagaimana caranya memastikan bahwa Alfian yang sedang ia cari itu sama dengan Alfiannya Naira. Sementara foto yang ia punya tidak membantu sama sekali. Karena di foto, wajah alfian tidak terlalu jelas.

"Silahkan, Pak," kata Anneta ramah sembari menatap sekilas wajah kedua laki-laki yang kini duduk saling berhadapan.

Yang satu memakai kacamata, dan wajahnya sedikit oriental. Sementara yang satu lagi laki-laki dengan postur tubuh lebih tinggi dan lumayan gagah. Kulitnya tidak terlalu putih, wajahnya tampan, tapi terkesan sangat dingin. Dia memakai dasi berwarna merah yang cukup mencolok.

"Tunggu!" kata salah satu dari mereka. Kalau Anneta boleh menebak, laki-laki yang memakai dasi merah itu yang bersuara. Sementara laki-laki yang memakai kacamata terus menatap Anneta dengan senyuman manis di bibirnya.

"Kopi apa ini!" kata si dasi merah sembari menyemburkan kopinya ke arah lantai. Anneta tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat tingkah bos tampannya itu. Inikah yang bernama Alfian? Tidak mungkin! Sungguh jauh berbeda dengan yang ditulis oleh Naira di buku hariannya.

"Ini terlalu manis! Kamu mau bikin saya diabetes! Hah!"

Anneta hanya mengernyit. Itu takaran kopi dari Wawan, apa temannya itu mengerjainya?

"Maaf, Pak. Biar saya ganti," kata Anneta sembari mengambil cangkir yang sudah diletakkan kembali ke atas meja. Dan saat tangannya akan meraih gelas cangkir yang satunya, laki-laki berkacamata itu menahannya.

"Punya saya udah pas, nggak perlu diganti lagi," katanya dengan senyuman manis. Anneta bahkan sampai menggigit bibirnya agar tidak meleleh. Apa dia Alfian? Rasanya laki-laki ini lebih pantas jika menjadi sosok Alfian.

Anneta kembali ke dapur, tapi sayang Wawan tidak ada di sana.

"Mbak Ira, tahu takaran kopi buat Pak Bos, nggak?" tanyanya pada wanita yang memang sepertinya lebih tua darinya itu.

"Buat Pak Alfian? Apa Pak Alta?"

Ada sedikit binar di mata Anneta, karena akhirnya nama itu disebut. Jadi benar, salah satu dari dua orang itu bernama Alfian. Kali ini dia tinggal memikirkan bagaimana cara mencari tahu apakah Alfian tersebut adalah Alfiannya Naira atau bukan. Anneta berdeham saat menyadari kerutan di kening Ira.

"Yang mana, Pak Alfian? Yang mana, Pak Alta?" tanya Anneta, berharap bahwa Alfian adalah sosok berkacamata. Laki-laki ramah yang memang sepertinya lebih cocok menjadi sosok Alfian yang sering Naira ceritakan di dalam buku hariannya. Sepertinya, berurusan dengan laki-laki murah senyum seperti itu akan lebih mudah.

"Pak Alta yang pakai kaca mata, Pak Alfian yang lebih tinggi, dan ganteng," kekehnya di ujung kalimat.

Bahu Anneta merosot saat mendengar penjelasan itu. Kenapa harus laki-laki ketus dan dingin seperti itu yang harus dia hadapi? Sepertinya Ira menyadari ekspresi tak suka yang Anneta tunjukkan.

"Kenapa? Kena semprot sama Pak Alfi? Itu udah biasa, dia kalau ada OB baru cantik emang suka begitu," jelas Ira yang membuat dahi Anneta mengerut.

"Aku juga nggak tahu, tapi dia itu seperti anti sama wanita cantik. Apalagi kaya kamu," lanjut Ira membuat kernyitan di dahi Anneta semakin dalam.

"Kok bisa?"

Ira hanya menggerdikan bahu lalu pamit keluar sembari membawa sapu dan alat pel.

"Anti wanita? Orang aneh," gumamnya. Lalu memutuskan untuk membuat kopi pahit, dan membawa toples gula. Karena dia yakin, laki-laki itu akan dengan sengaja mencari-cari alasan untuk memarahinya. Kesalahan yang sengaja dibuat-buat.

***

Anneta menampakkan senyum konyolnya setelah meletakkan isi nampan di atas meja. Laki-laki berkacabmata yang bernama Alta terlihat menahan senyum geli. Sementara orang di seberangnya tampak menautkan kedua alisya. Memindai cangkir kopi di depannya, lalu matanya bergerak ke arah gadis yang masih berdiri di sampingnya sembari memeluk nampan.

"Maaf, Pak Alfi. Saya kan baru, jadi nggak tahu takaran yang pas untuk kopi Bapak. Jadi mohon bimbingannya, biar saya nggak salah lagi," kata Anneta dengan senyuman yang sebenarnya terlihat sangat di paksakan. Tapi dalam hati tertawa puas, karena laki-laki itu nampak tidak mempunyai bahan untuk memprotes.

Mata Anneta mengamati dengan baik tangan Alfian yang akhirnya bergerak dari toples gula ke arah cangkirnya.

Sudah gue duga! Dia cuman cari-cari masalah!

"Kamu boleh pergi," katanya dengan nada dingin. Ingin sekali Anneta melayangkan nampan di tangannya ke wajah yang katanya tampan itu.

"Ngomong-ngomong, kopi yang tadi saya buat untuk Bapak juga dua sendok gula. Jadi, mudah-mudahan Bapak tidak terkena diabetes, permisi," kata Anneta setelah berhasil mengambil kembali toples gula yang ada di hadapan Alfian. Lalu pergi begitu saja, mengabaikan wajah laki-laki itu yang terlihat geram dengan perkataannya.

***

"Lo bisa diem, nggak!" geram Alfian kesal sembari melempar map yang sedang ia periksa. Pasalnya laki-laki yang berstatus sahabat juga rekan kerja di depannya itu, tak henti-hentinya menertawakan sikap Alfian yang akhirnya mati kutu karena sikap office girl baru kantor mereka.

"Siapa namanya? Anneta, ya?" gumam Alta sembari mengusap-usap dagunya.

"Nggak usah macem-macem! Ingat anak istri di rumah!"

Alta kembali terkekeh. "Sebenarnya gue lagi mikir, dia itu kayak nggak pantes aja jadi office girl. Mungkin dia itu salah satu fans lo, kaya yang kemarin-kemarin."

Alfian hanya mendengus, dia malas jika harus berurusan dengan gadis-gadis yang selalu saja mempunyai niat lain saat melamar pekerjaan di kantornya. Dan jika Anneta pun memiliki niat yang sama. Maka akan dia pastikan, gadis itu akan bernasib sama dengan yang lainnya. Dia tidak akan segan-segan membuat hidup gadis itu seperti ada di dalam neraka.

Sementara Anneta, sedang menatap kosong bak cuci piring di depannya. Dia sedang berpikir cara apa yang bisa ia lakukan untuk mencari tahu apakah Alfian ini adalah orang yang memang sedang ia cari.

"Nai, demi lo Nai! Gue rela berurusan dengan cowok songong kayak gitu," desahnya sembari melangkah ke luar. Sepertinya pekerjaan sebagai detektifnya akan segera dimulai.

Ternyata hari itu sungguh hari yang cukup berat untuk Anneta. Karena Alfian seolah sengaja mengerjainya. Dia memberikan pekerjaan yang tak henti-henti. Dan seperti dengan sengaja laki-laki itu sangat menikmati raut kesal di wajah Anneta.

"Siapa yang bersihin meja saya? Kenapa masih banyak debunya?" Sosok tinggi itu sudah berdiri di ruangan Office girl, dengan tampang paling menyebalkan. Anneta yang sedang mengistirahatkan tubuhnya untuk sejenak, mau tak mau berdiri dan menghampiri laki-laki itu. Sementara temannya yang lain hanya saling pandang dan menatap prihatin pada sosok cantik yang kini berdiri menghadapi bos dinginnya itu. Mereka tahu, Alfian sedang mencari cara untuk membuat Anneta tidak betah bekerja di sini. Seperti nasib OG lainnya yang akhirnya memilih resign di hari kedua mereka bekerja.

"Saya, Pak," jawab Anneta sembari menatap langsung wajah Alfian. Dia tidak boleh terlihat lemah, karena dia tahu betul laki-laki ini sedang menguji kesabarannya. Dan di sini, dialah yang harus menang.

Alfian memicingkan mata, dia tidak menyangka gadis ini cukup berani menantangnya.

"Kamu di bayar untuk bekerja dengan benar, bukan malas-malasan," ketusnya dingin.

"Baik, Pak. Saya akan bersihkan ulang meja Bapak," katanya seraya mengambil lap serta cairan pembersih meja.

"Bapak bisa kasih saya contoh? Bersih menurut Bapak itu yang seperti apa?"

Alfian mengerutkan kening, sudah ingin melayangkan kata-kata tajam, namun urung saat Anneta melangkah begitu saja meninggalkannya. Tangan laki-laki itu mengepal kesal, melihat tingkah OG-nya yang ia anggap tidak sopan.

"Kamu bisa bersikap sopan sedikit, kan?"

"Bapak bilang saya dibayar untuk bekerja dengan benar, kan?" kata Anneta tanpa menghentikan langkahnya. Dia baru berhenti lalu berbalik saat sampai di depan pintu ruangan laki-laki yang kini menatapanya dengan tatapan horror.

Alfian pun masuk ke ruangan tersebut dan Anneta mengikuti di belakangnya. Gadis itupun segera mengelap ulang meja yang ia yakin sebenarnya sudah bersih.

"Bisa Bapak contohin, nggak? Bersih menurut Bapak itu yang seperti apa?" kata Anneta dengan memasang tampang bodoh sebelum benar-benar menyentuh meja. Alfian yang sudah duduk di sofa seraya memangku laptop menatap tajam wajah Anneta yang ia yakin sengaja dibuat bodoh itu.

"Saya takut salah lagi, nanti Bapak juga kan yang rugi kalau mejanya nggak benar-benar bersih?" katanya masih memasang ekspresi yang sama. Alfian yang geram, akhirnya berdiri dan mau tak mau mengelap mejanya dengan kekuatan penuh. Seolah sedang menyalurkan kekesalannya di sana. Sementara Anneta hanya bisa menahan perutnya yang sakit karena menahan gelak tawa.

"Kamu bisa bandingin, kan?" ketus Alfian seraya melempar lap ke arah wajah Anneta. Tapi beruntung gadis itu bisa sigap menangkapnya.

Dengan cengiran yang sangat menyebalkan di mata Alfian, gadis itu mengangguk dan melakukan hal yang sama seperti yang Alfian lakukan tadi.

"Gimana Pak? Udah bersih?" Bisa Anneta dengar desahan lelah yang meluncur dari bibir laki-laki itu. Hingga akhirnya Anneta bisa mengembuskan napas lega saat tangan Alfian mengisyaratkannya untuk pergi.

Sungguh hari yang melelahkan, dan sialnya dia belum berhasil mendapatkan informasi apapun tentang bosnya yang menyebalkan ini.

📕📕📕

Revisi (03 Oktober 2019)

Part ini agak beda di bagian akhir, ya sama versi lamanya.

Gemesin ya dua orang ini. 😅😅

Nantikan kelanjutannya. 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro