1. Panggilan Gaib

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pembaca, kisah kali ini berlatar sejarah, yaitu beberapa waktu menjelang rapat damai seluruh suku Dayak di Tumbang Anoi tahun 1894.

Kenapa mengambil latar itu?

Karena peristiwa itu membuat budaya saling serang, bunuh, ngayau, dan perbudakan di antara sesama suku Dayak berakhir dan menjadi titik awal kesadaran identitas suku Dayak.

Suku-suku yang semula terpecah dalam klan-klan kecil, saling curiga, bahkan bermusuhan dapat duduk bersama, rapat dengan damai untuk menyelesaikan ratusan sengketa di antara mereka. Bukankah kearifan itu masih relevan dan dibutuhkan hingga saat ini?

Semoga kisah berbalut paranormal dan aksi kejar-kejaran ini menjadi pengingat akan pentingnya persatuan bagi kita di masa sekarang, saat menghadapi tantangan perpecahan bangsa, baik dari dalam maupun dari luar. Semoga semakin hari, kita semakin sadar akan identitas dan jati diri kita sebagai bangsa yang besar dan bisa mempertahankannya sepanjang zaman.

NKRI harga mati. Yes?

🌻🌻🌻



Siang ini, seperti biasa matahari seolah memamerkan kekuasaan terhadap warga Kota Banjarmasin dengan memberi panas yang berkelimpahan. Walaupun begitu, Pasar Kuripan tidak pernah sepi pengunjung. Jalanan di depan sebuah toko beras tetap dipadati sepeda motor dan mobil yang berseliweran, meninggalkan deru dan debu.

Toko yang terbilang besar itu menjual beras secara eceran maupun grosir. Di siang hari begini, saat penjualan sayur dan bahan makanan di pasar telah berkurang, toko itu tetap dikunjungi pembeli yang berkeliling di antara boks-boks beras pajangan. Suara-suara mereka bercampur dengan seruan-seruan pegawai yang mengangkut karung-karung beras.

Pemilik toko itu, Deka Dharmawira, adalah seorang pemuda berkulit kuning langsat yang tingginya pas-pasan. Rambut kecokelatan dan wajah oriental membuatnya menonjol di antara para pegawai toko yang rata-rata berkulit sawo matang. Di usia yang terbilang muda, ia sukses meneruskan usaha warisan keluarga.

Deka tengah membuat nota penjualan saat telinga indigonya mendengar desiran angin aneh mengembus dari lantai dua rukonya. Sebagai seorang indigo, Deka telah terbiasa dengan berbagai anomali alam maya. Namun, aliran gaib yang menerpa kali ini sangat ganjil. Terasa lemah, namun membawa panggilan yang menyayat. Hati Deka mendadak terasa ngilu.

Deka pun memutuskan mencari tahu asal angin gaib itu. Dipanggilnya salah satu karyawan kepercayaan.

"Rul, tolong kamu selesaikan pembelian Amang Dasan ini."

Choirul segera menempatkan diri di depan komputer. "Koko handak kamana?" (Koko mau ke mana?- bahasa Banjar, Kalimantan Selatan)

Deka memberi isyarat dengan kedipan. "Ada panggilan."

Choirul mengangguk paham. Bosnya memang kerap dimintai tolong mengurus berbagai hal yang tidak bisa diselesaikan dengan cara fana. "Ayo ja, Bos. Jangan lupa persenannya gasan ulun." (buat saya - bahasa Banjar)

"Boleh! Aku kasih dolar nerakakah?"

"Amit-amit! Kada kawa gasan jujuran, Koh!" (Tidak bisa buat mas kawin, Koh! - bahasa Banjar)

Biasanya, Deka akan membalas dengan candaan yang lebih menggigit. Namun kali ini, firasat buruk menelan selera humornya. Dengan gegas ia menaiki tangga menuju lantai dua. Hawa asing itu semakin kuat, membuat bulu kuduknya meremang. Deka berusaha menajamkan indra keenam dengan menepis keriuhan pikiran dan keramaian suasana tempat itu. Ia mengira akan menjumpai makhluk asing yang ingin berkomunikasi. Ternyata dugaan itu meleset. Saat kakinya telah menapaki anak tangga terakhir, hawa gaib itu malah menipis.

"Halo? Siapa yang datang tadi?" sapa Deka melalui batin.

Sunyi.

"Haloooo! Kalau mau bicara, silakan bicara!" ujar Deka dengan lebih keras. Ia hanya mendapati keheningan. Agaknya, entah makhluk halus atau bentuk energi gaib itu telah lenyap tanpa bekas.

"Baiklah. Kalau kamu mau ketemu, aku tunggu di kamar."

Deka memasuki kamar tidur, lalu duduk bersila di lantai. Kedua telapak tangan diletakkan di atas paha dalam posisi menghadap ke atas. Ia berusaha tenang dengan memejamkan mata dan mengatur napas.

Perlahan, napas Deka menjadi halus. Suara-suara dari luar semakin berjarak. Senyumnya terkembang. Ia menyukai sensasi hening ini. Semakin ia santai, deru kehidupan itu mereda dan mengendap. Walau dunia luar riuh, ia menemukan ketenangan yang hakiki.

Deka terhanyut. Ia mulai masuk ke alam lain. Berbagai makhluk yang hanya bisa dilihat oleh indra khusus mulai terlihat nyata. Bentuknya aneh-aneh. Sebagian bahkan tidak jelas makhluk apa, hanya berupa gumpalan energi yang melayang-layang. Menggoda sekali untuk diperhatikan dan diamati. Bahkan ada beberapa makhluk yang ingin mengajak mengobrol.

Deka mengabaikan mereka semua. Bukan ini yang ia cari. Sejak membantu Jata dan Puput, ia baru sadar bahwa kemampuan indigonya sangat terbatas. Ia hanya bisa melihat sedikit saja dari sekian ratus dimensi yang ada di semesta raya. Oh, bisa habis umurnya hanya untuk mengamati makhluk-makhluk berbagai bentuk itu. Yang ia cari adalah cahaya ajaib yang memancar saat Jata dan Puput bertempur melawan penguasa kekuatan gaib Bukit Matang Kaladan[1]. Untuk beberapa saat, Deka menikmati kondisi tenang dan damai itu.

"Kamu yang tadi datang, muncullah!" ucap Deka melalui batin.

"Dekaaaaa!" Sebuah entitas memanggil dari kejauhan, lalu muncul tak jauh di depan Deka. Namun, entitas ini bukan pendatang asing tadi, melainkan sosok yang telah dikenal cukup lama.

"Kamu lagi Nuraini! Jangan ganggu, aku baru meditasi," protes Deka pada mantan panglima Matang Kaladan itu melalui percakapan batin.

"Kamu panggil aku tadi!"

"Salah panggil. Maksudku bukan kamu."

"Siapa? Jangan selingkuh, ya!"

"Bukan siapa-siapa. Udah, ya. Aku mau lanjut meditasi."

"Aku benci kalau kamu mulai meditasi. Kamu jadi jauh! Energimu tinggi banget, aku nggak bisa dekat-dekat."

"Salahmu sendiri kenapa nggak mau melepas kemelekatan duniawi! Lihat tuh Siti, Fatika, dan Salbila[2] bahagia di tempat yang seharusnya. Mereka udah menunggu giliran buat dilahirkan kembali. Kenapa kamu masih keluyuran di alam manusia?"

Nuraini merengut. "Aku belum rela meninggalkan kamu, Deka!"

"Terus maumu apa?!"

"Ciuuuuummm!" teriak Nuraini sambil memonyongkan bibir. Sayang, ia tidak bisa mendaratkan bibir di pipi Deka yang mulus bak penyanyi K-Pop.

"Najis! Ogah!"

"Huhuhu! Jahara! Aku pergi, nih! Jangan cari aku kalau kamu kangen!" Arwah gadis itu pun menghilang dari pandangan Deka.

Deka mengembuskan napas lega. Ia kembali khusyuk mengheningkan cipta. Dunia kembali menjauh dan dirinya memasuki kekosongan. Kosong, tapi indah. Sungguh aneh. Beberapa saat kemudian, ia merasakan datangnya cahaya yang terang benderang, mengguyurnya dengan lembut namun sangat kuat. Deka semakin hanyut dalam keindahan yang aneh. Entah cahaya apa itu, tapi ia ingin menangis haru saat dijamahnya.

"Kodeka!"

Bruk!

Sebuah suara menyeruak dari belakang bersamaan dengan lanjung[3] yang diletakkan di depan Deka. Pemuda itu kaget luar biasa sampai ambruk ke samping. Nuraini yang manusia datang!

"Kamu!" Mata Deka mendelik saat sadar siapa yang mengganggu meditasinya. Nuraini, yang biasa dipanggil Urai, adalah gadis yang tanpa sengaja ia kenal gara-gara membantu Puput dan Jata menghadapi kekuatan gaib penguasa Bukit Matang Kaladan. Biarpun sudah diprotes berkali-kali, gadis itu terus memanggilnya dengan sebutan Kodeka, pelesetan dari Koko Deka. "Kenapa masuk kamar orang sembarangan? Kamu nggak pernah diajari sopan santun?"

"Bi Minah suruh aku langsung ke sini," elak Urai. Padahal ia yang menerobos masuk.

"Lain kali ketuk pintu dulu!" Mata Deka mengerling ke lanjung. "Apaan, nih?"

Urai tersenyum-senyum dengan bibir mencang-mencong. "Beras langka!" Wajah bulat telurnya mendadak menjadi menggemaskan sehingga Deka terkesiap.

Kalau soal beras, Deka tak akan menyiakan kesempatan. Ia segera membuka penutup lanjung. Wangi beras yang sangat unik segera terhirup. Ia belum pernah menemukan aroma seperti ini. Karena penasaran, diambilnya segenggam dan diamati sejenak. Ada yang aneh. Ia segera bangkit, lalu berjalan ke balkon di ujung ruang keluarga agar mendapat cahaya matahari lebih banyak. Urai membuntuti dengan lincah.

Di bawah penerangan lebih itu, terlihat bulir yang sangat unik. Bentuknya panjang dan langsing. Warnanya sangat putih, sehingga cenderung berwarna biru. Ada titik kecil berwarna putih kekuningan di tengah-tengah setiap bulir.

"Beras apa ini?" gumam Deka sembari mengacak benda di telapak tangan dengan telunjuk.

"Aneh, kan? Itu dikasih saudara jauh dari Kapuas," ujar Urai dengan bangga. "Aku masak, ya?"

Deka mengerutkan kening. "Nggak! Ntar kamu kesurupan lagi di sini! [4]"

Urai mencibir. "Aku juga males masak buat kamu! Jangan kegeeran!"

Geram juga Deka. Kedatangan Urai selalu menguras energi. Kalau tidak mengajak berdebat tidak bermutu, pasti mencari perhatian dengan segala jenis permintaan tolong. Andai ayah Urai bukan pelanggan toko berasnya, dan paman Urai bukan tokoh Dayak yang ia segani, sudah lama Deka ingin memencet hidung gadis ini sampai merah. "Papamu pesan beras apa?" tanyanya.

"Kayak biasa. Katanya uang pembayaran udah ditransfer," ujar Urai.

"Iya, aku udah tahu. Ada lagi?" tanya Deka datar.

Urai menggeleng, lalu mengangguk. "Makan kepiting, yuk!"

Belum sempat Deka menjawab, sebuah gelombang energi mengalir deras di udara. Deka mendongak dan mendapati entitas putih besar melayang berputar-putar di atas rukonya. Perasaan Deka mendadak tidak enak. Bisa jadi energi itu pertanda akan adanya sesuatu yang besar yang tengah terjadi di alam gaib.

"Rai, sebaiknya kamu cepat pulang, deh," ujar Deka dengan was-was.

"Kok aku diusir?" protes Urai. "Tahu gitu nggak aku bawain beras!"

Deka tidak menanggapi. Pikirannya tengah berkonsentrasi pada makhluk asing yang kembali menghilang tanpa menjawab kebingungannya.

________________

[1] Jata dan istrinya, Puput, serta kerajaan gaib Bukit Matang Kaladan ada di cerita Percobaan 44

[2] Kisah lima bersaudara Siti, Nuraini, Fatika, Fauziah, dan Salbila bisa dibaca di Percobaan 44

[3] Lanjung adalah tas yang terbuat dari anyaman rotan dengan tali di salah satu sisi sehingga bisa digantung di punggung seperti membawa ransel.

[4] Dalam cerita Percobaan 44, Urai beberapa kali kesurupan, salah satunya saat berada di lantai dua ruko Deka.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro