14b. Menyelamatkan Diri (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di saat yang kritis itu, Urai mengerahkan segenap tenaga untuk mengangkat tempat minum babi yang dibawa Jala tadi. Benda itu terbuat dari batang kayu utuh yang dilubangi bagian tengahnya. Dihantamkannya batang kayu itu ke penyerang dari belakang. Tak disangka, pukulan itu tepat mengenai kepala dan leher musuh. Pemuda itu pun terhuyung dan ambruk.

Ketiga orang itu segera menyelinap ke balik kandang babi yang gelap sebelum pemuda itu bangkit kembali. Malam itu gelap tanpa cahaya bulan. Namun, kobaran api dari arah betang telah memberi sedikit penerangan sehingga mereka menemukan gerumbul perdu yang dimaksud Riwut. Mereka menyibaknya dan benar ada jalan setapak. Jalan itu sempit. Tanahnya becek dan berbekas tapak-tapak kaki. Rupanya, anak-anak dan para wanita tadi juga menggunakan jalur ini untuk melarikan diri.

Ketiganya kemudian berjalan secepat mungkin menyusuri jalan itu. Mereka agak sulit bergerak cepat karena jalan itu masih dipenuhi perdu dan akar pohon. Selain itu, semakin jauh masuk ke hutan, kondisi semakin gelap.

"Kodeka, aku nggak bisa melihat apa pun," lapor Urai setelah beberapa kali tersandung-sandung.

"Jangan lepaskan tanganmu dari tanganku," ucap Deka.

Gadis itu tidak menjawab, namun mengangguk dan diam-diam tersenyum. "Kamu juga, Kodeka. Jangan lepaskan tanganku."

Perkataan lirih yang sebenarnya memelas itu malah membuat telinga Deka gatal. "Hish, Rai! Jangan mikir aneh-aneh, deh. Pikirkan aja gimana menjaga kepalamu tetap di tempatnya!"

Kesal karena ucapan ketus itu, Urai mencengkeram lengan Deka sekuat tenaga hingga kukunya menancap di kulitnya.

"Auuch!" pekik Deka. Lengannya segera ditarik sehingga Urai kehilangan pegangan.

☆☆☆

Mereka akhirnya menemukan cahaya obor di kejauhan. Setelah dekat, ternyata cahaya itu berasal dari obor-obor para penghuni betang yang menyelamatkan diri. Mereka telah berada di jukung-jukung yang mengarungi anak sungai menuju hilir. Agaknya, rombongan Deka adalah kloter terakhir.

"Kita ikut mereka?" tanya Deka.

Jala menahan badan Deka. Dengan gelengan kepala, ia memberi isyarat tangan untuk membelok ke kiri.

"Riwut bilang kita harus membelok ke kiri," terang Jala dalam bahasa yang tak dimengerti Deka.

Deka menunggu Urai menerjemahkan perkataan Jala. Beberapa detik menunggu, hanya kesunyian yang didapatkan.

Deka dan Jala akhirnya menoleh ke belakang. Mata mereka kontan terbelalak. Penyerang gempal tadi ternyata berhasil bangkit dari hantaman dan menyusul mereka. Sekarang, tangannya membekap mulut Urai.

"Mau apa kau?" hardik Jala.

"Letakkan senjata dan menyerahlah! Kalau tidak, gadis ini mati!" Pemuda berwajah garang dan berompi perang itu balas membentak dengan suara nyaring.

Beberapa orang yang berada dalam jukung ikut menoleh ke arah mereka, namun kegelapan malam mengaburkan pandangan. Mereka hanya bisa menduga itu Jala dari suara dan logatnya. Lagipula, hanya ada wanita dan anak-anak di jukung terakhir itu. Tidak ada gunanya kembali, kecuali bila ingin mengantarkan nyawa. Akhirnya, mereka mendayung semakin cepat agar segera menyingkir dari situ.

Jala dan Deka meletakkan mandau, sumpitan, serta talawang dengan berat hati.

"Berlutut!" perintah pemuda itu.

Jala dan Deka menurut. Begitu lutut keduanya tertekuk di tanah, pemuda itu mendorong Urai ke samping hingga terjungkal. Lalu dengan meloncat secepat kilat, ia mengayunkan mandau ke arah kedua orang itu.

Deka tak kalah gesit. Dilemparnya beras bertuah dari arwah amnesia ke wajah musuh. Serangan balik itu, walau hanya beras, ternyata sanggup menghentikan gerakan musuh. Matanya menjadi sangat pedih karena kemasukan butiran beras. Ia mundur dan terjatuh. Beruntung otak Deka masih berfungsi dengan baik. Saat meletakkan mandau dan talawang tadi, ia sempat merogoh beras dari dalam saku dan diam-diam menggenggamnya.

Melihat musuh terjatuh, Jala bangkit. Dengan cepat, diraihnya mandau dan diarahkan ke leher orang itu. Sekali tebas, darah mengucur deras, membuat orang itu tak bergerak untuk selamanya.

Mereka bergegas mengambil jalan ke kiri, berlawanan arah dari jalur pelarian penghuni lain. Tak lama kemudian, rumpun nipah itu ditemukan. Tanah di tempat itu tampak telah lembek karena terinjak-injak. Sepertinya sudah ada orang yang datang ke situ sebelum mereka. Tak lama kemudian, datang rombongan yang terdiri atas seorang remaja dan empat anak-anak dari arah berlawanan. Mereka membawa obor kecil sebagai penerangan. Kelima orang itu langsung mengambil sebuah jukung, mendorongnya hingga meluncur ke anak sungai, lalu segera mendayung. Rombongan itu segera lenyap ditelan gelapnya hutan. Hanya obor mereka yang tampak berkelip di kejauhan.

"Cerdik! Mereka memecah jalur evakuasi agar kemungkinan selamat lebih besar," puji Deka.

Hanya tersisa satu jukung di tempat itu. Deka dan Jala mendorongnya masuk ke air, lalu mereka bertiga naik ke atasnya. Mereka mendayung ke arah perginya rombongan remaja tadi.

Urai menoleh ke belakang. Dari kejauhan, terlihat obor-obor bergerak menuju tepi anak sungai. Kepanikan segera menyergap ulu hatinya.

"Astaga, mereka memburu kita!" 

☆☆☆

Ketangkap nggak, ya?
Makasih buat vote dan komennya selama ini yang bikin Fura semangat nulisnya.
Follow IG Fura: nataliafuradantin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro