16a. Terjebak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ter-terkena sumpitan?" bibir Urai gemetar saat mengucapkannya. "D-di mana?"

Napas Deka terengah. Ia sudah merasa umurnya tidak akan panjang. Rasa nyeri di leher dan darah yang merembes membuat perutnya seperti diaduk sehingga napasnya pendek-pendek. Ia merasakannya sejak serangan tadi, tapi tidak sempat memeriksanya karena mereka harus mendayung secepat mungkin agar lolos dari kejaran musuh. "Di leher, Rai."

Urai mendekat dengan gemetar. Darah yang merembes di kaus Deka semakin membuatnya kalang kabut. "Kodeka ...," tangisnya.

Deka sebenarnya kasihan melihat gadis itu panik. Tapi, sekarang bukan waktu yang tepat untuk meratap. "Rai, tolong, ya. Jangan menangisi hal-hal yang nggak berguna. Kamu nggak membantu sama sekali."

Tangis Urai langsung terhenti karena teguran keras itu. Deka masih bisa berkata pedas walaupun sedang kritis. "Maaf .... A-aku periksa lukamu, ya?"

Deka menoleh ke kanan agar Urai bisa melihat lehernya dengan lebih jelas. Urai mengulurkan tangan, bermaksud menarik tangan Deka menjauh dari luka itu. Namun, saat jemarinya nyaris menyentuh kulit Deka, ia segera menariknya kembali. Jujur, ia tidak siap bila ternyata luka itu besar dan dalam. Atau jangan-jangan seperti di film-film, begitu tangan dibuka, darah akan menyembur seperti pancuran. "Tunggu sebentar. Aku akan mencari obat."

Urai membalikkan badan dan kembali menggeledah seisi sampan. Ia menemukan buntalan kain di ceruk ujung depan. Saat dibongkar, ternyata isinya ewah dan kain tapih. Urai meraih selembar tapih dan membawanya kepada Deka. Maksudnya untuk membalut luka.

"Urai, ke sini!" Jala mengulurkan tangan untuk meminta sumber cahaya itu dari Urai. Benda itu pun segera berpindah tangan. Jala mendekatkan obor ke hadapan Deka sambil membungkuk mengamati lukanya.

Urai yang tidak tega melihat darah, segera memalingkan wajah sambil meremas kain tapih. Dalam hati ia berdoa agar racun itu tidak mematikan. Bukankah telah berjam-jam berlalu dan Deka masih sadar serta bernapas? Bila upasnya mematikan, pasti tidak sampai selama ini reaksinya.

Jala menarik tangan Deka, lalu menyentuh luka di leher sebelah kiri itu.

"A-ah!" desah Deka. Ia mengernyit karena merasa pedih. Darah hangat kembali mengalir membasahi kausnya.

"Kodeka, bertahanlah," bisik Urai sambil terpejam. Tangannya masih gemetaran meremas-remas kain tapih.

Jala melakukan sesuatu di leher Deka. Tak lama kemudian, ia membalikkan badan sambil tersenyum lebar. "Lihat!" Ia mengulurkan tangan dan mengangkat obor agar Urai bisa melihat dengan jelas. Ada benda lonjong biru kehitaman dan bercampur darah di telapak tangannya.

Urai segera memalingkan wajah dan seketika lemas. Pikirannya langsung berkelana ke mana-mana, membayangkan kemungkinan terburuk. Pandangannya mengabur karena air mata yang nyaris runtuh. "Racun apa itu?"

Jala malah terkekeh. "Racun? Kamu tidak tahu ini apa? Sepertinya kamu memang orang kota. Coba lihat baik-baik!"

Urai menoleh, lalu melihat dengan takut-takut. Ternyata benda itu menggeliat di tangan Jala. "Loh, ini kan ...?"

Jala terkekeh lagi, kali ini sampai air matanya keluar. "Kamu tidak salah. Ini lintah!"

Mata Urai membeliak. "Hah? Jadi bukan senjata beracun?"

Jala mengangguk. "Beracun juga. Bekas gigitannya bisa membengkak dan bernanah."

"Oooh, ternyata cuma lintah?" balas Urai dengan suara sengaja dibuat nyaring dan mata menatap Deka dengan nanar. Junjungannya sekarang tidak tampak lemas. Irama napasnya pun sudah teratur, tidak tersengal. Melihat Deka baik-baik saja, perasaannya berubah campur aduk, antara lega dan kesal. Tentu saja, Deka segera melengos ke arah lain.

Urai pun menghapus air mata dan merangkak mendekati Deka. Ia memberanikan diri mengelap darah di leher sang junjungan dengan kain tapih. Ada lubang-lubang kecil bekas gigitan makhluk pengisap darah itu. "Sakit?" tanya Urai datar.

"Menurutmu?" balas Deka, tak kalah datar.

Urai kini kesal. "Cuma lintah aja kenapa lemas tadi? Sok-sok sesak napas pula!"

Deka malas menjawab. Direbutnya kain tapih dari tangan Urai. "Kalau nggak ikhlas, nggak usah menolong!"

Urai kontan manyun. "Dih! Bikin aku jantungan aja, Kodeka. Lain kali dilihat baik-baik, dong. Belum apa-apa sudah merasa kena sumpitan."

Deka menoleh. Terus terang, wajah panik Urai tadi sempat membuatnya terenyuh. Namun sekarang ia pun ingin menutupi rasa malu. "Ya sudah! Berdoalah supaya lain kali aku terkena sumpitan beneran!"

☆☆☆

Deka, Deka ... ckckckck
Komen, yuk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro