21a. Buronan Belanda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Deka dan Jala terpaksa rebah di tanah untuk menghindari terjangan peluru. Dari arah benteng, terdengar orang-orang berteriak-teriak dalam bahasa asing. Seorang serdadu Belanda yang berjaga di menara rupanya melihat keberadaan Deka dan rombongannya, lalu memperingatkan anggota pasukan lain.

"Belanda gila! Kenapa mereka menembaki kita?" seru Deka.

"Musuh, kita pasti dianggap musuh!" sahut Jala dalam bahasanya.

Otak Deka segera berputar mengeluarkan memori tentang pelajaran sejarah yang telah lama terkubur. Seingatnya, peperangan masyarakat Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan melawan Belanda memang berlangsung puluhan tahun. Setelah Kesultanan Banjar dibubarkan secara sepihak oleh Belanda tanggal 11 Juni 1860, pertempuran masih terus berlanjut. Bila sekarang tahun 1894, berarti perang yang masih berlangsung adalah Perang Banjar dan Perang Barito. Keduanya baru selesai tahun 1906. Luas pertempuran pun membentang dari daerah aliran Sungai Kapuas di barat, hingga Tanah Bumbu di pesisir timur. Celakanya, mereka sekarang berada di Sungai Kapuas yang bersebelahan dengan Sungai Barito. Sungai terbesar yang membelah kota Banjarmasin itu bahkan bercabang ke sini.

Deka yang telah kehabisan tenaga semakin lemas saat menyadari situasi mereka. Bukan hanya dikejar para pengayau Punan, mereka bahkan memasuki area Perang Barito! Belanda pasti mengira mereka adalah sisa-sisa laskar Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati. Pantas saja orang-orang Punan itu kabur begitu tahu wilayah siapa yang mereka masuki.[1]

Jala memberi kode dengan tangan untuk berpindah ke tempat yang lebih aman. Ia menunjuk sebuah area dengan pepohonan yang rapat. "Ayo, merayap ke sana."

Deka mengangguk, lalu berpaling ke Urai yang sedari tadi berbaring di sisinya tanpa suara. Ditepuknya pundak gadis itu. "Rai, cepat merayap ke balik pohon di sana!"

Di luar kebiasaan, Urai diam saja. Deka berpaling dan menemukan Urai tergolek dengan mata terpejam dan bibir pucat. "Astaga!"

Deka beringsut mendekati Urai dengan jantung berdetak kencang. "Rai! Rai!" Ia berusaha membangunkan gadis itu dengan menepuk-nepuk pipinya. Namun, tidak ada reaksi. Urai benar-benar pingsan dan ia tidak tahu penyebabnya.

Hati Deka kontan mengerut sebesar biji bayam. Ia tidak sepanik ini saat Urai kesurupan. Entah mengapa, firasatnya buruk. Matanya segera memindai keberadaan Jala. Pemuda itu sudah menghilang di balik pepohonan seperti hantu.

"Jala! Jala!" panggil Deka. Ia agak lega saat kepala berponi itu muncul dari rerimbunan pohon. "Tolong Urai!"

Jala bergerak cepat mendatangi kedua rekannya. Sambil merunduk, ia memeriksa luka di lengan Urai. Melihat bentuk goresannya, ia yakin luka itu berasal dari senjata. "Dia terserempet panah beracun," bisiknya.

"Apa?" tanya Deka.

Tahu temannya tidak paham, Jala menunjuk bambu tempat penyimpanan anak sumpitan yang tergantung di pinggang. "Upas, upas ipoh."

Deka paham dan terkaget. "Hah, bukan kena duri? Lalu apa penawarnya?"

Jala tidak menjawab karena memang tidak mengerti bahasa Indonesia. Tapi dari raut wajahnya, Deka tahu situasi Urai gawat.

Tangan dan kaki Deka kontan berkeringat dingin. Mulutnya terbuka, namun hanya desahan terengah yang keluar. Apakah Urai akan berpulang di sini, di tanah asing ini? Oh, jangan! Ia tak sanggup menanggung kehilangan itu. Lebih baik Urai membuat onar dan memenuhi telinganya dengan cuitan tak bermutu dari pada diam membisu seperti ini.

"Kita harus membawanya ke balian untuk mendapat pengobatan," ucap Jala.

"Apa?" tanya Deka.

"Balian, orang pintar yang bisa mengobati," ucap Jala sambil membuat gerakan tangan agar Deka mengerti.

"Oh, iya. Balian," angguk Deka. Ia teringat balian adalah sebutan untuk orang Dayak yang bisa menyembuhkan penyakit dan mengusir roh jahat. "Tapi, ke mana kita mencari balian?"

Jala diam saja. Ia sendiri tidak tahu daerah ini. Apalagi mereka ditembaki tentara Belanda.

Suara-suara dari benteng kembali terdengar. Peluru-peluru kembali berdesingan. Sekarang, tentara Belanda mengganti karabin dengan senapan laras panjang yang daya tembaknya lebih kuat.

"Kita bisa mati kalau terus di sini," ucap Jala. Ia menunggu tembakan berhenti, lalu mengangkat Urai ke dalam gendongan. "Ayo pergi!" 

_________________

[1] Pangeran Antasari adalah pewaris tahta Kesultanan Banjar, yang dinobatkan tahun 1862. Pusat perjuangannya di Menawing, pedalaman Sungai Barito, sekarang masuk wilayah provinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan Tumenggung Surapati berasal dari suku Dayak Siang, yang juga mendiami daerah hulu Sungai Barito.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro