1. Hari Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa yang lebih dirindukan seorang siswa selama libur panjang? Sekolah, ruang kelas, teman-teman, tugas-tugas, makanan kantin, atau gebetan? Calla merindukan semuanya, kecuali tugas dan gebetan. Dia tidak berteman baik dengan tugas. Gebetan? Calla cari dulu, deh.

Suasana SMA Wijayamulya masih lengang. Calla menyusuri jalan yang diapit taman di sisi kiri-kanan. Di bagian atas, tanaman thunbergia putih yang diatur merambat pada teralis besi menaungi jalan di bawahnya.

"Belum ada orang. Apa aku kepagian?" gumamnya seraya mengedarkan pandangan.

Calla adalah salah satu siswa yang begitu antusias pergi sekolah di hari pertama setelah libur panjang. Akan tetapi, dia tidak menjamin keantusiasannya akan bertahan lebih dari sebulan. Biasanya masalah terlihat ketika dia mulai bosan.

Beberapa langkah meninggalkan naungan bunga thunbergia, sayup-sayup Calla mendengar suara keributan. Dahinya mengerut ketika melihat dua orang yang tengah beradu mulut di dekat tugu sekolah. Posisinya ada di depan taman sisi kanan. Calla cepat-cepat berlari ke arah mereka. Rambut panjangnya melambai-lambai diterbangkan angin pagi.

"Wah, secara gak langsung kamu udah ngaku, ya? Padahal aku cuma tanya kamu lagi apa. Kenapa panik gitu?" ujar Raihan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Siapa yang gak panik kalau nada bicara kamu terdengar menuduh?"

Raihan memiringkan kepala, menyelidik papan nama gadis di hadapannya. "Meysha Divya. Aku belum pernah dengar nama itu."

"Aku baru pindah hari ini."

"Oh, anak baru? Datang-datang langsung bikin onar, ya?"

"Bukan aku pelakunya!"

"Ada apa, sih, Rai?" Calla menginterupsi sebelum cowok itu sempat bicara lagi. "Kenapa tugunya rusak?"

Raihan menoleh pada Calla. "Enggak tahu. Waktu aku ke sini sudah ada cewek itu, martil, sama tugu yang rusak."

Calla memelotot. "M-masa kamu ...."

"Wah, kalian kompak mau nuduh aku?" Meysha mendengkus. "Aku tegaskan, ya. Tugunya udah rusak sejak aku datang!"

Calla mau bicara lagi, tetapi suara langkah yang terdengar keburu menghentikannya. Juna, kini ikut bergabung menyaksikan tugu yang telah rusak. Cowok itu tidak bereaksi apa pun selain menatap tugunya. Hanya ada tiga huruf yang rusak di sana. A pada tulisan "SMA", dan J serta U pada "Wijayamulya".

"Kalau ada martil segala berarti sengaja dirusak, dong." Calla berujar lagi sambil menatap Meysha. "Tapi kalau bukan kamu pelakunya, terus siapa?"

Meysha geleng-geleng. "Mana aku tahu."

Calla berjalan menghampiri martil. Baru saja membungkuk hendak memeriksa, suara riuh menghentikannya. Calla berbalik dan mendapati anak-anak lain sudah berkerumun beberapa meter di belakang, seolah sengaja memberi jarak pada empat orang yang sudah ada di TKP duluan. Tangan mereka mengacung sembari memegang ponsel, layaknya penonton yang merekam konser.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Juna dingin.

Anak-anak yang berkerumun itu hanya saling bertukar pandang.

"Turunkan handphone kalian!" kata Juna memandang mereka bergantian.

Seseorang datang menerobos dan membelah kerumunan. Tiba di barisan paling depan, dia membuka mulut lebar-lebar dengan kedua bola mata memelotot, kemudian berteriak, "Hei! Apa-apaan ini?!"

"P-pak Daniel, jangan salah paham. Kami juga gak tahu kenapa ini bisa rusak." Calla dengan cepat menjelaskan. Dia panik sendiri karena berada tepat di depan tugu, dan martil ada di bawah kakinya.

Juna meninggalkan tempat itu lebih dulu. Calla menoleh pada Raihan yang memberinya kode untuk pergi juga. Meysha malah sudah ngibrit duluan mendahului Juna.

"Wah, lihat dia. Kelihatan banget dia panik, kan?" kata Raihan menoleh pada Calla yang berjalan di sampingnya.

"Kamu yakin dia pelakunya?"

"Bukan yakin. Aku cuma curiga."

Langkah Raihan terhenti ketika ada seseorang menarik tas ranselnya dari belakang.

"Mau kabur ke mana kalian?" kata orang itu.

Calla dan Raihan kompak berbalik, lalu mendapati Pak Daniel sudah ada di belakang mereka.

"Kami mau ke kelas," jawab Raihan santai.

"Ke kelas?" Pak Daniel tertawa, lalu ekspresinya serius lagi. "Beraninya kalian pergi ke kelas dengan wajah tanpa dosa."

"Pak, kami memang gak punya dosa." Calla menyela.

Pak Daniel menghela napas. "Oke. Sana pergi ke kelas! Tunggu nama kalian dipanggil saja."

Calla terbelalak, sementara Pak Daniel berlalu.

"Apa kita bakal kena masalah?" Calla menoleh pada Raihan.

Raihan membuang napas. "Perasaanku gak enak."

Mereka berdua tetap pergi ke kelas. Calla segera menuju tempat duduknya di barisan paling belakang, deretan ketiga dari kanan. Sementara itu, tempat duduk Raihan berada tepat di sebelah kanannya. Calla tertegun ketika melihat kursi paling belakang di sebelah kirinya. Tempat duduk di kelas itu diatur untuk satu orang. Jumlahnya genap. Ada empat deret ke samping dengan masing-masing lima kursi ke belakang. Sehingga tampak mencolok ketika ada kursi tambahan. Meski begitu, Calla tidak terlalu memedulikannya. Dia melepas tas dan menaruhnya di atas meja, kemudian duduk.

"Ah, aku gagal lagi masuk IPA 1," kata Calla membuat Raihan menoleh.

"Kamu terobsesi banget masuk kelas itu." Raihan malas-malasan duduk di kursinya. "Semua orang di kelas ini gak ada yang pindah ke sana. Kamu enggak bego sendirian."

"Pak Daniel pasti senang karena gak perlu merombak grup chat kelas. Bahkan pembagian kelas pun dia share di sana sebelum kita sempat lihat pengumuman resmi." Calla mendesah. "Padahal semester kemarin aku udah belajar mati-matian. Kelas itu terlalu besar untuk otak aku yang kecil."

"Hei!" Raihan berteriak membuat Calla terlonjak. "Apa bedanya dengan kelas ini? Sama-sama kelas juga."

Calla memosisikan tubuhnya menghadap Raihan. "Bedalah sama kelas ini! Di situ isinya pemilik peringkat tertinggi paralel."

Raihan berdecih.

"Padahal isinya cuma dua puluh orang. Tidak bisakah aku rangking dua puluh saja?" Calla merengek.

Raihan geleng-geleng sambil menghela napas. "Kamu bersyukur aja ada di kelas ini. Di sana isinya orang ambisius semua. Kamu gak akan punya teman. Kamu enggak lebih dari seonggok saingan."

Calla manyun. "Tapi aku, kan, masih punya kamu."

Raihan mendadak bungkam. Calla bahkan bisa melihat semburat merah di wajahnya. Cowok itu tidak bicara apa-apa lagi selain berdeham dan melengos.

Suasana kelas yang riuh tiba-tiba hening. Pak Daniel menyapa anak-anak didiknya dengan ramah. Kemudian, pria berusia tiga puluhan itu memanggil siswa baru. Suasana riuh lagi ketika seorang gadis berambut pendek di atas pundak memasuki kelas. Anak-anak cowok yang paling heboh. Gadis itu memperkenalkan diri seadanya. Katanya, pindahan dari Garut. Namanya Meysha Divya. Calla mengangkat alis dan menoleh pada Raihan.

"Dia di kelas ini juga," bisiknya sambil mencolek lengan Raihan. Cowok itu hanya geleng-geleng kelihatan bingung.

Meysha berjalan menuju tempat duduk setelah dipersilakan. Matanya sempat tertumbuk ke arah Calla dan Raihan, tetapi segera membuang muka sedetik kemudian. Meysha terlihat komat-kamit. Seperti sedang mengomel. Meysha mengambil tempat duduk di sisi paling kiri, sebelah Calla. Ternyata kursi tambahan itu untuknya.
Pak Daniel memberi wejangan sebentar. Sebelum keluar, pria itu sempat memandang ke arah Calla dan Raihan. Dua jari menunjuk matanya, lalu menunjuk Calla dan Raihan. Sepeninggal sang wali kelas, Calla dan Raihan bertukar pandang.

"Apa maksudnya itu?" kata Raihan.

"Aku mengawasi kalian. Atau, aku melihat kalian?"

Tiba-tiba terdengar suara dari speaker yang dipasang di sudut-sudut plafon.

"Mohon perhatian. Kepada siswa yang namanya dipanggil harap untuk menghadap ke ruang kepala sekolah. Rafka Arjuna, Raihan Albar, Calla Aleysia, Meysha Divya."

Kata-kata itu diulang sebanyak dua kali. Calla menoleh pada Raihan dan berujar, "Kita beneran dipanggil."

Raihan mendengkus. "Bagus, deh. Biar enggak ikut upacara," katanya yang kemudian keluar lebih dulu.

Calla menoleh pada Meysha sebelum keluar. Gadis itu juga mengikutinya pergi. Di depan pintu ruang kepala sekolah, mereka bertemu dengan Juna. Keempatnya masuk ke sana setelah Juna membuka pintu dan mengucap salam. Di hadapan kepala sekolah, mereka berempat berdiri berjejer. Kepala sekolah duduk di kursi kebesarannya. Sebuah meja menjadi sekat di antara mereka. Pak Daniel yang berdiri di samping kepala sekolah memandang anak-anak didiknya dengan tatapan serius.

"Apa-apaan ini?" Pria bernama Agus itu berujar. "Baru hari pertama kalian sudah bikin ulah."

Calla dan teman-temannya bertukar pandang. Raihan yang lebih dulu menanggapi dengan pertanyaan pula.

"Maksud Bapak?"

"Jangan pura-pura tidak tahu! Foto kalian sudah tersebar. Kalau sampai viral, nama sekolah ini bisa jelek."

Mereka bertukar pandang lagi.

"Bapak lihat fotonya di mana?" tanya Juna.

"Anak-anak OSIS yang melapor."

Calla melongo. Baru menyadari anak-anak OSIS yang tadi sibuk memotret. Calla hendak bicara, tetapi Raihan keburu menyela.

"Pak, ini salah paham. Kenapa malah kami yang kena?" kata Raihan.

Pak Agus menaruh ponsel di atas meja yang posisinya menghadap pada mereka. "Kalian ada di TKP."

Raihan tertawa tak percaya.

"Semua orang juga ada di TKP," sanggahnya.

"Tapi kalian berempat yang paling mencolok. Pak Daniel saksinya."

Mereka berempat kompak menoleh pada Pak Daniel. Pria itu jadi gelagapan sendiri.

"T-tapi saya tidak bilang kalau mereka benar pelakunya. Mereka baru kandidat pelaku," ujar Pak Daniel membela diri.

Juna membuang napas kasar dan berujar, "Beasiswa saya sudah dicabut. Memangnya masuk akal kalau saya nambah-nambah masalah seperti ini?"

Semua orang menoleh pada Juna. Tatapan mata Juna memancarkan kemarahan.

"Saya apalagi, Pak." Calla berusaha mengalihkan pembicaraan. "Ngapain saya angkat-angkat martil? Memangnya saya atlet angkat besi?"

Pandangan kepala sekolah kemudian beralih pada Raihan.

"Saya?" Raihan menunjuk wajahnya sendiri. Dia tertawa kecil. "Saya enggak sepengangguran itu sampai gak ada kerjaan sama sekali."

Pak Agus kemudian menunggu jawaban Meysha yang berdiri di sisi paling kiri.

"Saya anak baru. Saya tidak tahu apa-apa," ujar Meysha membuat Raihan menoleh.

"Wah, padahal kamu yang pertama kali ada di sana," kata Raihan.

"Terus itu bisa jadi bukti kalau aku pelakunya?"

"Sudah diam!" Pak Agus membentak, membuat mereka tersentak.

"Siapa saksinya kalau kalian tidak bersalah?" tanya Pak Agus.

"SAYA."

Keempatnya kompak menjawab. Pak Agus geleng-geleng.

"Saya akan memanggil orang tua kalian. Bersiaplah menerima hukuman," ujar Pak Agus.

"Tunggu dulu!" Juna membuat semua orang menoleh lagi padanya. Dia mengepalkan tangan sebelum bicara lagi. "Kami akan temukan pelaku sebenarnya, tapi jangan panggil orang tua kami."

"Kami?" Raihan menatap Juna tak percaya. "Kamu aja sendiri tangkap pelakunya. Kenapa harus bawa-bawa orang lain?"

Juna menoleh pada Raihan. Tatapannya tidak bersahabat. Raihan berdeham dan membuang muka.

"Jun, kamu yang benar saja!" Kini Calla yang protes.

"Baiklah." Pak Agus sudah angkat bicara sebelum mereka sempat protes lagi. "Saya akan memberi kalian waktu sebulan. Kalau gagal, kalian akan dikeluarkan."

"APA?!" Calla, Raihan, dan Meysha menjawab kompak.

"Pak, masa langsung dikeluarin gitu aja, sih?" ujar Calla tak habis pikir.

"Kalau begitu, Bapak akan panggil orang tua kalian, dan kalian akan dihukum."

"Ya udah, Pak. Panggil aja gak apa-apa. Orang tua kami juga gak akan tinggal diam kalau anaknya dihukum tanpa alasan."

"Enggak," sela Juna. "Bapak boleh panggil orang tua mereka, tapi jangan orang tua saya."

"Jun, tarik kembali kata-kata kamu!" Calla menyikut Juna dan memelotot padanya.

"Kalau kamu gak mau nyari pelakunya, biar aku sendiri aja." Juna menatap tajam pada Calla.

Calla menganga tak percaya.

"Oke, oke," ujar Raihan membuat Calla menoleh. "Kita cari pelakunya sama-sama."

"Rai, kok kamu jadi setuju sama dia, sih?" Calla makin pusing saja.

"Gak ada salahnya, kan, bantuin temen kita?" Raihan tersenyum, dan Calla mau menonjoknya kalau saja di sini tidak ada orang.

Seolah sudah mencapai kesepakatan, Juna pamit keluar duluan. Pak Agus menyuruh tiga orang yang tersisa untuk keluar juga.

"Kalau sudah paham, silakan keluar."

"Pak Daniel ...." Calla merengek pada wali kelasnya. Pria itu geleng-geleng dengan tangan membentuk "X" di depan dada. Isyarat bahwa tidak ada pembelaan darinya.

Mereka bertukar pandang, menghela napas lemah. Mau tidak mau mereka keluar dari ruangan itu. Di depan pintu, Meysha menahan Calla dan Raihan.

"Hei! Bilang sama teman kalian, hentikan semua ini." Meysha mendecih. "Menangkap pelakunya? Dia lagi main polisi-polisian?"

Calla dan Raihan hanya bertukar pandang. Meysha berjalan ke tengah-tengah mereka, setengah menubruk. Calla melongo keheranan. Begitu pun Raihan.

"Wah, arogan banget anak itu. Padahal jelas-jelas dia yang ada di TKP pertama kali," ujar Raihan.
Calla mendengkus. Ternyata masalah sudah terlihat di hari pertama sekolah.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020
All Right Reserved
02 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro