14. Keberuntungan di Luar Dugaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raihan menyandarkan kepalanya ke jendela mobil. Berulang kali dia menghela napas panjang. Tidak disangka kehidupan sekolahnya di SMA Wijayamulya akan berakhir seperti ini. Kalau dikelurkan karena masalah pemberontakan, Raihan sudah menyiapkan diri dari jauh-jauh hari. Toh, dia sengaja mengambil risiko itu. Namun sekarang, Raihan malah mau dikeluarkan hanya kerena menonjok anak orang. Padahal, anak-anak lain yang perkelahiannya lebih parah pun bisa berakhir damai.

"Masih ada waktu. Temui Irgy sebelum sidang dimulai." Papa berujar di sampingnya, tetapi Raihan tidak menoleh barang sedikit pun.

Perjalanan menuju sekolah terasa lebih singkat dari biasanya. Tak dimungkiri kalau Raihan ketakutan sekarang. Bukan karena dia akan dikeluarkan, melainkan risiko dari hal itu. Raihan tidak bisa mengungkap kasus yang sudah membuatnya mengambil langkah besar, sementara satu-satunya orang yang dia percaya tidak bisa diandalkan. Entah apa yang ada di kepala Juna. Raihan tidak pernah bisa memahaminya. Ya, bagaimana mau memahami anak itu? Kalau setiap kali bicara dengannya malah berakhir adu mulut. Boro-boro solusi yang ditemui, yang ada masalah makin runyam.

Raihan berjalan tertunduk lesu sepanjang lorong. Terdengar suara Calla berteriak memanggilnya, tetapi Raihan seolah tidak punya tenaga untuk mengangkat kepala. Barulah ketika Calla menahan tangannya, Raihan menoleh.

"Meysha bilang kamu akan dikeluarkan," ujar Calla. Wajahnya tampak cemas.

Mata Raihan sedikit membeliak. "Meysha? Dia tahu dari mana?"

"Katanya dia gak sengaja dengar dari ruang kesehatan."

Raihan tertegun. Bukankah waktu itu Juna keluar dari sana juga?

"Calla, kalau sampai aku dikeluarkan ...." Raihan tidak melanjutkan kata-katanya. Dia mau meminta bantuan agar Calla melanjutkan misinya, tetapi gadis itu pasti terkejut dan kebingungan kalau Raihan tiba-tiba bicara sekarang.

"Kenapa?"

"Enggak. Kita ngobrol nanti saja, ya."

Mereka berjalan bersisian menuju kelas. Raihan hanya menaruh tasnya dan keluar lagi. Calla mengejar dan menahannya.

"Sidangnya digelar sekarang?" tanya Calla.

Raihan hanya menjawab dengan anggukan.

"Apa kamu benar-benar akan berakhir seperti ini?"

Belum sempat menjawab, perhatian Raihan sudah teralihkan oleh kedatangan Meysha. Gadis itu menodongnya dengan pertanyaan serupa.

"Kamu serius mau dikelurkan?" tanya Meysha tanpa basa-basi.

Raihan menggaruk kepalanya.

"Apa gak ada cara supaya kamu bisa bertahan?" Meysha bertanya lagi, Calla mengangguk mengiakan.

Raihan mendesah teringat nasihat Papa agar dirinya meminta maaf pada Irgy. Membayangkannya saja sudah membuat Raihan kesal. Syukur-syukur kalau Irgy benar memaafkannya. Kalau tidak? Harga diri yang sudah susah payah dia turunkan malah berakhir sia-sia.

"Ah, enggak tahulah. Kalau aku benar-benar dikeluarkan, kalian jangan kangen, ya," kata Raihan.

Calla langsung memukul lengan Raihan. "Kamu masih bisa bercanda di saat seperti ini?" Gadis itu bersungut-sungut.

Raihan tertawa kecil, lalu mengacak-acak rambut Calla. "Astaga, kamu benar-benar enggak mau kehilangan aku, ya? Tenang saja. Aku akan sering tengokin kamu, kok."

Raihan memekik ketika Calla menendang tulang keringnya. "Sakit, tahu!" omelnya.

"Ya udah, keluar ajalah sana!" Calla menatapnya sebal.

"Kalau kamu keluar ... kami akan kekurangan personel untuk mengungkap skandal besar itu," ujar Meysha.

Raihan terdiam, kemudian menghela napas. "Kamu gak percaya diri?"

"Y-ya ...." Meysha menggaruk tengkuknya.

"Kemampuan menganalisis kalian cukup bagus. Kalau cuma mengumpulkan bukti tentang kecurangan Irgy dan antek-anteknya, harusnya itu bukan apa-apa."

Meysha dan Calla bertukar pandang. Raihan bingung dengan ekspresi mereka, tetapi tidak punya waktu untuk peduli. Dia harus segera pergi. Raihan melambaikan tangannya dan berlalu meninggalkan mereka.
Sekarang Raihan terlihat seperti terdakwa sungguhan. Dia duduk di sebuah kursi, menghadap jajaran kepala sekolah beserta wakilnya, ditambah guru BK, juga Pak Daniel sebagai wali kelas. Di deretan meja sebelah kiri ada anggota komite. Papa menempati deretan meja sebelah kanan bersama Irgy dan juga ayahnya.

Raihan dicecar berbagai pertanyaan. Sejak awal, jawabannya selalu konsisten. Dia memukul Irgy karena anak itu yang mulai duluan. Irgy pun tidak kalah kekeh dengan pengakuannya. Dia satu-satunya yang terluka. Kesimpulannya, itu merupakan penyerangan sepihak.
Raihan menghela napas dan menatap kesal pada Irgy. Anak itu melengos menghindari tatapannya. Setelah membacakan pertimbangan yang terdengar tidak masuk akal di telinga Raihan, mereka memutuskan untuk mengeluarkannya. Katanya, tidak ada ampun bagi Raihan karena sudah melakukan perbuatan membahayakan nyawa orang lain.

Ketika Raihan sudah pasrah dengan keputusannya, tiba-tiba Irgy membuat pengakuan yang mengejutkan. Raihan sampai memelotot mendengarnya bicara.

"Saya rasa ... Raihan tidak perlu dikeluarkan," kata Irgy. Ayahnya tampak menyikut anak itu.

"Saya sudah memaafkannya. Jadi, tolong berikan hukuman lain saja tanpa mengeluarkannya," kata Irgy lagi, membuat mata Raihan makin memelotot sambil menganga.

"Kalau sudah selesai, saya permisi ke kelas." Irgy berdiri dan pergi dari sana.
Ruang sidang hening beberapa saat. Ayah Irgy tertawa seperti dibuat-buat dan berujar, "Memang seharusnya masalah anak-anak tidak perlu sampai huru-hara seperti ini. Bukan begitu, Pak Ardan?"

Papa mengangguk sambil tersenyum. Raihan mengepalkan tangannya dan membuang napas kasar. Jelas-jelas orang itu yang ngotot ingin mengumpulkan anggota komite dan menendangnya keluar dari sekolah. Sekarang malah berlagak sok bijaksana.

"Dasar manusia kedondong!" maki Raihan dalam hati. Ya, kedondong. Luarnya saja tampak mulus. Dalamnya berduri.

Persidangan akhirnya dibubarkan setelah mereka memberikan hukuman lebih ringan. Raihan hanya perlu membersihkan ruang olahraga selama satu minggu. Seperti hukuman yang biasa diterima oleh siswa bandel lainnya.

Papa memeluk Raihan dan mengusap kepalanya. "Sudah Papa bilang, kamu akan bebas dari masalah kalau minta maaf."

Papa melepas pelukannya dan menepuk pundak Raihan. "Papa bangga sama kamu."

Raihan plonga-plongo. Dia masih tidak paham ucapan papanya tentang meminta maaf. Seingatnya, dia tidak pernah meminta maaf pada Irgy.
Raihan dan papanya keluar dari ruang sidang. Baru di depan pintu, Raihan sudah mendengar Calla dan Meysha teriak-teriak memanggilnya. Dua gadis itu berlari menghampirinya sambil ngos-ngosan.

"Halo, Om." Calla menyalami Papa diikuti Meysha.

"Eh, Calla, ya? Sudah besar, ya, sekarang? Makin cantik."

Calla cengengesan mendengar pujian Papa. Dia buru-buru mengenalkan Meysha padanya.

"Ini Meysha. Teman baru kami. Belum sebulan di sini," ujar Calla.

Papa mengangguk sambil tersenyum, lalu bertanya, "Juna mana?"

Calla tertegun dan menoleh pada Raihan. "Eng ... J-juna ...."

"Dia pasti lagi belajar." Raihan mengambil alih jawaban.
Papa manggut-manggut. Dia menitipkan Raihan pada Calla sebelum pergi.

"Calla, titip Raihan, ya. Kalau dia bikin masalah, jewer saja telinganya."

Calla tergelak dan mengiakan. Raihan menyemburkan napas setelah papanya pergi. Untung saja Papa percaya dengan bualannya. Papa tidak pernah tahu apa yang terjadi di antara Raihan dan Juna di belakangnya.

"Rai, hasil sidangnya bagaimana?" tanya Calla membuat Raihan terkesiap.

"Heh?"

"Kamu benar-benar dikeluarkan?" Meysha bertanya sebelum Raihan sempat menjawab dengan benar.

"Aneh. Kenapa aku gak jadi dikeluarkan?"

Calla dan Meysha bertukar pandang, lalu tangan mereka langsung menghujani tubuh Raihan dengan pukulan.

"Gila, ya! Kok malah bingung kamu gak jadi dikeluarkan? Itu artinya kamu masih beruntung!" maki Meysha.

"Tapi ini benar-benar membingungkan!" teriak Raihan membuat kedua gadis itu berhenti memukulinya.

"Irgy bilang udah maafin. Aneh, kan? Dia bukan orang seperti itu. Apalagi aku gak pernah minta maaf."

Calla dan Meysha bertukar pandang lagi. Raihan menggaruk dagunya dengan kening mengerut. Dia membeliak ketika mengingat sesuatu.

"Juna mana?" katanya tiba-tiba.

"Bukannya tadi kamu bilang dia lagi belajar?" Meysha balik bertanya.

"Kamu pikir aku sungguh-sungguh?"

Raihan celingukan, lalu menemukan Juna sedang bersandar di tembok dan memandang ke arahnya. Jaraknya lumayan jauh, tetapi cukup bagi mereka untuk saling menyadari keberadaan masing-masing. Juna segera pergi setelah Raihan menemukannya. Raihan mendesah melihat anak itu pergi.

"Juna kenapa? Apa dia ada hubungannya?" tanya Calla.

Raihan menoleh. "Heh? Eng ... a-aku enggak yakin."

"Syukurlah kamu gak jadi dikeluarkan. Kita harus cepat mengungkap skandal itu lebih dulu sebelum mereka menangkap pelakunya," ujar Meysha.

Raihan termangu bingung. "Maksud kamu?"

"Kami sudah sepakat." Meysha menoleh pada Calla dan kembali pada Raihan. "Kami tidak akan lagi mengejar pelakunya, tapi fokus mengungkap skandal itu."

Raihan menelan ludah. Entah dia harus merasa lega atau bagaimana. Haruskah dia jujur saja sekarang? Raihan mendadak gelisah.

"O-oh ... begitu, ya? Ya sudah. Aku traktir kalian minum." Raihan sengaja mengalihkan topik dan pergi lebih dulu.

Mereka bertiga pergi ke kantin dan memilih minuman masing-masing. Raihan mengambil satu kaleng minuman bersoda. Calla memilih teh kotak, sementara Meysha asal comot saja.

"Kamu gak traktir Juna juga?" tanya Calla.

Raihan menoleh. "Kenapa aku harus traktir orang yang gak ada di sini?"

Calla membuang napas sambil geleng-geleng. "Kamu, kan, tinggal memanggilnya."

"Memangnya dia akan datang hanya karena aku memanggilnya?" Nada bicara Raihan meninggi.

"Ya ... siapa tahu hubungan kalian membaik secepat itu." Calla menyedot tehnya dengan ekspresi yang tidak dipahami Raihan.

Raihan mengambil uang pecahan seratus ribu dari dompet dan memberikannya pada Calla. "Nih! Terserah sisanya kalian belikan apa."

Raihan mengambil satu kaleng lagi, lalu pergi sambil meneguk minumannya. Dia menjelajahi setiap lorong yang terjangkau kakinya sambil celingukan mencari Juna. Tiba-tiba Raihan ingat dengan perkataannya sendiri. Ini baru istirahat pertama, belum jam makan siang. Gazebo taman sepertinya bukan tempat yang akan didatangi Juna sekarang. Kalau Juna benar-benar sedang belajar, kira-kira di mana? Perpustakaan? Ya, biasanya orang belajar di perpustakaan.
Instingnya membawa Raihan ke tempat itu. Setelah menelisik ruang baca, dia menemukan Juna sedang tertidur di salah satu meja. Sebuah buku tergeletak di hadapannya. Raihan menghampiri Juna dan duduk di depannya.

"Oy!" Raihan mengetuk-ngetuk kaleng minuman ke meja, membuat Juna terbangun karenanya.

"Kamu kurang tidur akhir-akhir ini?" tanya Raihan sembari menyodorkan satu kaleng minuman padanya.

Alih-alih menjawab, Juna menelungkupkan kepalanya lagi.

"Aku gak jadi dikeluarkan," ujar Raihan. Juna mengangkat kepala sedikit, setelah itu kembali ke posisi semula.

"Kamu apakan Irgy?" Raihan bertanya sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Juna agar bisa bicara pelan.

"Berisik." Juna berujar dengan suara parau.

"Apa kamu pakai metode kantong semar?"

Juna mengangkat kepala. Muka bantalnya benar-benar telihat seperti orang kurang tidur.

"Ngomong apa, sih?" Juna bertanya bingung.

"Kamu bilang aku gak akan dikeluarkan, lalu tiba-tiba Irgy bilang udah maafin aku. Kamu yang beri dia pelajaran?"

Juna menghela napas dan kembali tiduran di meja. "Pergi sana!"

"Kamu benar-benar kurang tidur, ya? Udahlah, berhenti aja dari kerja paruh waktu kamu itu."

Juna mengangkat kepala dan memandang Raihan. Sekarang wajahnya berubah serius. Raihan jadi gelagapan sendiri.

"M-maksud aku ... supaya kamu bisa belajar dengan lebih tenang," kata Raihan.

Juna tidak menjawab. Dia mengambil buku dan pergi dari sana. Raihan hanya bisa mendesah.

"Salah ngomong lagi," gumamnya.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

15 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro