25. Promise Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Calla menoleh pada Irgy. Cowok itu sudah masuk mobil dan berlalu. Namun Juna ... bagaimana ini? Calla tiba-tiba merasa takut Juna salah paham. Dia bahkan merasa gugup ketika Juna berjalan menghampirinya.

"Kamu dari mana aja?" tanya Juna membuat Calla menelan ludah. "Aku cari kamu ke mana-mana. Kamu gak jawab teleponku. Aku susulin kamu, tapi kamu keburu pergi sama cowok."

Calla gelagapan. "I-itu ... a-aku ...."

"Kamu semarah ini sama aku?"

Calla menunduk. Dia juga tidak yakin. Apakah dirinya benar-benar marah pada Juna dan teman-teman yang lain atau tidak?

"Kamu marah karena aku nyembunyiin banyak hal? Kamu mau dengar semuanya sekarang?" tanya Juna.

Calla mengangkat kepala. "Jun ...."

"Tapi gak nyaman sambil berdiri."

Calla terkesiap. "O-oh, iya. Kita ngobrol di rumah aja."

Calla berjalan cepat-cepat mendahului Juna. Ketika Calla hampir tiba di teras, Juna menahannya.

"Kita ngobrol di sana aja." Juna menunjuk bangku kayu bercat cokelat yang ada di taman.

Calla mengangguk. "I-iya."

Mereka berdua pergi ke taman dan duduk bersebelahan di bangku. Calla menoleh pada Juna. Cowok itu tampak menghela napas beberapa kali sampai akhirnya benar-benar bicara.

"Calla, sebelum aku cerita, kamu mau janji satu hal?" tanya Juna.

"Janji apa?"

"Kamu gak akan marah."

"Kenapa aku harus marah?"

Juna terdiam sejenak. "Beberapa hari ini aku terus berpikir, gimana kalau aku cerita semuanya ke kamu? Apa semuanya akan baik-baik saja?"

"Maksud kamu?"

"Aku takut kamu membenciku," ujar Juna dengan suara sedikit bergetar.

"Memangnya kenapa? Apa yang kamu sembunyikan?"

"Aku ... akulah yang menyebabkan hubungan kami jadi gak baik."

Calla paham siapa yang disebut Juna sebagai "kami". Calla tidak menyela. Dia hanya mendengarkan Juna baik-baik.

Jeda beberapa saat. Juna meremas jari-jari tangannya sendiri, tampak gelisah.

"Aku gak tahu harus mulai dari mana," kata Juna. "Aku tahu apa yang harus aku katakan, tapi saat mau keluar, rasanya seperti benang kusut."

Calla menghela napas. Mungkin karena itulah kenapa tidak semua hal bisa dikatakan. Bukan karena tidak mau, melainkan terlalu sulit untuk diungkapkan.

"Kamu gak perlu memaksakan diri kalau memang gak bisa," kata Calla pada akhirnya.

Juna menoleh.

Calla tersenyum. "Apa aku terlihat kekanak-kanakan? Maaf."

Juna menggeleng. "Enggak. Aku yang minta maaf."

Mata Calla berkaca-kaca. Dia membuang muka menghindari tatapan Juna. Rasa bersalah menggerayangi hatinya. Calla berdeham sebelum kembali bicara, mengalihkan topik.

"Ngomong-ngomong, kamu gak kerja? Bukannya ini udah telat?" tanya Calla.

"Aku izin gak masuk. Aku gak tenang kalau belum ketemu kamu."

Calla terdiam. Matanya beradu pandang dengan Juna. Dia membuang muka lagi karena tiba-tiba wajahnya menghangat.

"Aku benar-benar takut kamu jadi membenciku," kata Juna.

Calla masih tidak mau menoleh, takut menunjukkan wajahnya yang bersemu merah.

"Selama ini aku gak betah di rumah. Di sekolah pun gak ada tempat yang membuatku tenang. Aku heran, kenapa orang-orang senang sekali mengangguku? Karena cara bicarakulah, karena aku tinggal sama saudara tirilah. Tapi kamu ... kamu berdiri paling depan untuk membelaku. Aku bersyukur dan merasa bersalah sekaligus. Aku—" Suara Juna tersekat.

Ketika Calla menoleh, Juna terlihat sedang mengusap matanya. Tangan Calla terulur untuk menepuk punggungnya, tetapi urung karena teringat apa yang sudah dia lakukan. Calla merasa bersalah karena sudah menekan Juna untuk mengatakan semua padanya.

"Maaf." Pada akhirnya hanya itu yang bisa Calla katakan.

Juna menoleh. "Kenapa kamu terus minta maaf? Aku yang seharusnya minta maaf."

Bibir Calla bergetar. Meski begitu, dia menarik senyuman. "Kamu sendiri? Kenapa terus minta maaf?"

"Aku udah bikin kamu kesal."

"Kamu tahu apa yang aku pikirkan? Apa yang akan terjadi sama Juna dan Raihan? Apa mereka dalam bahaya? Dari dulu, kalian selalu bikin aku kesal. Dan aku makin kesal karena aku gak bisa berhenti mencemaskan kalian."

Juna memandang Calla. Calla tersenyum dan menepuk punggung Juna.

"Kalian memang terlahir buat bikin aku kesal. Jadi, berhentilah minta maaf," ujar Calla.

Juna tertawa kecil. Hati Calla serasa hangat dan melayang. Dia buru-buru membuang muka karena tidak sanggup menatap wajah Juna lebih lama.

"Oh, iya. Tentang Meysha ...." Juna terdiam sejenak. " ... sepertinya dia juga mengalami masa-masa sulit sepertiku," kata Juna.

"Iya. Aku paham, sekarang. Aku gak akan seperti ini lagi."

"Meysha itu mirip aku. Beberapa orang mungkin memang seperti itu. Enggak mau mengganggu kebahagiaan yang udah didapat dengan mengungkit cerita pilu. Cara mereka menemukan kebahagiaan adalah dengan menyembunyikan cerita pilu itu."

"Kamu suka sama Meysha?" Entah kenapa pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Calla.

"Kenapa jadi nanya gitu?"

"Gak kenapa-kenapa."

Calla ingin memukul kepalanya sendiri. Ya terus memangnya kenapa kalau Juna suka sama Meysha? Masalah untuk Calla? Oh, sepertinya ini memang masalah besar. Calla tiba-tiba merasa terganggu dengan cara Juna bercerita tentang Meysha.

"Aku sama Meysha gak sedekat itu, kok," ujar Juna. Calla terkesiap dibuatnya. "Aku cuma gak sengaja tahu sedikit tentang kehidupan dia di luar sekolah."

"O-oh, gitu?" Calla menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ngomong-ngomong ... kenapa kamu bisa pulang sama cowok itu?" Juna mengalihkan pembicaraan.

"Eng ... itu ...." Calla gelagapan. "T-terjadi begitu saja."

Juna memandang Calla, lalu ke depan, setelahnya pada Calla lagi. "Aku ... belum pernah mengantar kamu pulang"

"Y-ya ... karena aku selalu dijemput." Calla tertawa kikuk.

"Hari ini kamu gak dijemput?"

"Heh? O-oh, iya."

"Lain kali kalau gak dijemput, jangan minta cowok lain buat nganterin kamu pulang."

"Aku gak minta dia buat nganterin aku!" Nada bicara Calla tiba-tiba meninggi, seolah ingin menegaskan. Calla sampai heran sendiri.

Juna mengerjap beberapa kali. Raut wajah bingungnya membuat Calla salah tingkah. Pasti Juna mengira Calla ini aneh.

"Maksud aku ...," kata Juna, " ... kalau kamu gak dijemput, biar aku aja yang nganterin kamu pulang."

Wajah Calla menghangat, tetapi dia tetap menatap wajah Juna, hanya untuk memastikan kalau cowok itu tidak salah bicara.

"Kamu, kan, gak dekat sama cowok lain selain aku atau Raihan," kata Juna melanjutkan. "Jangan percaya cowok di luar sana."

Napas Calla menyembur. Ada rasa kecewa yang berusaha dia buang. Bukan itu yang ingin dia dengar.

"Terus kamu percaya sama Raihan?" tanya Calla sedikit sebal.

"Aku percaya dia bisa jagain kamu."

"Terus kalau dia ngapa-ngapain aku?"

"Aku pastikan dia gak bakal hidup dengan tenang."

Calla menggigit bibir menahan senyum. Mengubah posisi duduknya yang serba tidak nyaman. Menyelipkan rambut di telinga, padahal tadinya juga sudah terselip sempurna.

"Udah mau gelap. Aku harus pulang sekarang." Juna beranjak dari tempat duduknya.

Calla buru-buru ikut berdiri. "O-oh, iya. Hati-hati."

Juna tersenyum lembut sembari melambaikan tangan pamitan. Calla memperthatikannya sampai Juna tidak lagi terlihat. Sepeninggal cowok itu, Calla mengipasi wajahnya sendiri dengan tangan. Rasanya seperti terbakar. Calla buru-buru memasuki rumah. Melepas sepatu tanpa disimpan ke tempatnya. Dia bergegas menaiki anak tangga menuju kamarnya.

"Calla, kamu baru pulang?" Suara Bunda menghentikan Calla.

Calla menoleh ke bawah. "Iya."

"Pak Ruslan bilang kamu pergi sama teman-teman. Ke mana?"

"Ke ... toko buku. Iya. Aku ke kamar dulu, ya, Bun."

Calla buru-buru pergi. Masuk kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Dia bergegas menuju cermin rias dan memeriksa wajahnya. Benar-benar merah. Jantungnya juga berdegup kencang. Calla menunjuk dadanya di cermin.

"Hei, jantung! Cukup!" Calla meringis sendiri, tetapi matanya malah tertumbuk pada bunga calla pemberian Juna yang dia simpan di meja rias.

Calla lari ke tempat tidur dan melemparkan dirinya begitu saja. Menutupi wajah dengan bantal, lalu membukanya lagi karena sesak. Alhasil, bantal itu dia pukul-pukul karena sudah membuat dirinya hampir kehabisan napas.

"Aku kenapa, sih?" Calla merutuki dirinya sendiri.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

26 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro