30. Anonim Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Calla mematung memandangi papan informasi. Kehebohan terjadi lagi di sekolahnya. Anonim telah kembali, membawa beberapa lembar kertas berisi nilai rapor Juna beserta yang asli—dari daftar nilai guru. Ini bukan satu-satunya tempat. Setiap kelas setidaknya punya satu informasi yang ditempel pada kaca. Sekolah lebih gaduh dari sebelum-sebelumnya.

Kembali ke satu hari yang lalu. Hari kedua diskors, Juna melancarkan teror beruntun pada Pak Hari. Dia kesal karena ternyata Pak Hari malah menggunakan Gilang untuk mengawasinya. Masih untung Juna bisa mengetahuinya lebih cepat. Akan tetapi, teror Juna tidak membuahkan hasil apa-apa. Pak Hari tidak menanggapi sama sekali. Dia tidak menjawab telepon atau membalas pesan Juna. Boro-boro mau mengaku secara sukarela.

Naik pitam karena diabaikan, Juna akhirnya mengambil langkah besar dan berisiko. Dia bekerja sama dengan Raihan menyebar kertas-kertas itu. Cewek-cewek tidak diizinkan ikut. Sulit bagi mereka untuk menyelinap ke dalam sekolah dengan melompati pagar. Mereka hanya diberitahu tentang semuanya agar tidak terlalu cemas.

Semua orang sudah tahu Anonim adalah Juna. Sekarang mereka menyebut nama Juna secara terang-terangan. Hari pertama masuk setelah diskors, Juna menjadi trending topic. Meski semua orang kini mendukungnya, tetap saja Calla yang ketar-ketir. Apa yang akan terjadi setelah ini? Syukur-syukur Juna tidak benar-benar ditendang dari sekolah.

"Dari mana Juna mendapatkan semua ini?" Celetuk seorang guru di balakang Calla. Dia dan teman-temannya menoleh.

"Dia punya fotokopi daftar nilai semua guru. Tunggu dulu. Kalau enggak salah, Pak Daniel pernah meminjam daftar nilai saya," tambahnya.

"Loh, dia juga pinjam daftar nilai saya. Dia pakai buat kipas sambil keluar. Ternyata dia fotokopi, toh?" timpal yang lain.

"Hmm ... jadi waktu itu mereka bisik-bisik karena ini?" Pak Sambas ikut menimbrung, lalu dia geleng-geleng sambil pergi, diikuti guru-guru yang lain.

Pengeras suara terdengar berbunyi. Bahu Calla merosot mendengar nama Rafka Arjuna dipanggil. Seperti de javu saja. Meysha yang berdiri di sebelah tiba-tiba menggenggam tangannya erat.

"Gimana ini?" Meysha kelihatan cemas sekali. Rania mengusap-usap punggungnya, menenangkan.

Calla hanya bisa membuang napas. Dia tidak bisa menjawab, karena itu pulalah yang dirinya pikirkan.
Raihan menghampiri mereka, ikut memandangi papan informasi. Calla menarik lengan jas Raihan sehingga cowok itu menoleh.

"Juna bakal diapain?" tanya Calla.

"Percaya aja sama dia."

Juna memang sudah punya rencana. Dia menggunakan rekaman CCTV ruang kepala sekolah sebagai senjata terakhir. Kepala sekolah pasti tidak mau dibawa-bawa. Juna menggunakan video itu untuk menekannya. Dengan begitu, kepala sekolah akan balik menekan Pak Hari untuk mengaku. Tentu saja Pak Hari tidak akan mau menanggung semua kesalahan sendirian. Dia akan balik menyeret semua orang yang terlibat. Setelah itu, boom! Sekali tepuk tiga lalat berjatuhan. Atau, mungkin lebih dari tiga kalau orang tua Bayu dan Gilang masuk hitungan. Ide yang lumayan brilian, tetapi Juna sendiri tidak menjamin keberhasilannya. Bisa saja itu malah membentuk solidaritas di antara mereka untuk menyingkirkan Juna, bersama Raihan pula. Itulah yang menjadi ketakutan terbesar Calla saat ini.

Kedatangan seseorang mengalihkan perhatian mereka. Cowok bernama Gilang kini berdiri di hadapan mereka, memblokir penglihatan pada papan informasi. Dia kelihatan gelisah. Kepalanya tidak berhenti menoleh ke kanan-kiri.

"Ada yang mau aku bilang ke kalian," kata Gilang pada akhirnya.

Calla dan teman-temannya bertukar pandang. Raihan yang menanggapi perkataannya.

"Ada apa? Kamu disuruh Pak Hari?"

Gilang terlihat terkejut. "A-ku gak bisa bicara di sini," katanya.

Mereka bertukar pandang lagi. Gilang pergi lebih dulu. Calla mengangguk pada Raihan, isyarat untuk mengikuti ke mana Gilang pergi.

Gilang membuka pintu ruang kesehatan. Dia melongokkan kepala ke dalam sebelum berbalik pada Calla dan teman-temannya.

"Di sini aman," katanya.

Mereka akhirnya masuk ke ruang kesehatan. Punya firasat aneh, Calla mengunci pintunya sebelum dia berlari kecil untuk ikut bergabung. Ruang kesehatan sedang kosong. Semua bilik tirai terbuka dan tidak ada perawat di sana. Gilang kini berdiri dikelilingi Calla dan teman-temannya. Masih saja dia terlihat gelisah.

"Begini ... eng ...." Gilang membetulkan kacamata yang sebenarnya belum melorot. "Apa Juna ... akan mengakhiri semuanya sekarang?"

Calla mengerutkan dahi. Dia menoleh pada teman-temannya. Mereka juga tampak kebingungan.

"Apa maksud kamu?" tanya Calla.

"Aku mau minta tolong." Gilang menghela napas sejenak. "Tolong segera akhiri semua ini."

"Maksud kamu apa? Bicara yang jelas!" Raihan maju satu langkah sehingga Gilang mundur merasa terintimidasi. Calla menarik Raihan agar mundur lagi.

Gilang merogoh sesuatu dari saku celana, lalu menyerahkannya pada Raihan dengan tangan gemetar. Sebuah kertas dilipat-lipat. Raihan buru-buru mengambilnya. Calla ikut memeriksa, begitu pula dua temannya yang lain. Mereka bertukar pandang lagi.

"Kunci jawaban?" tanya Calla.

Gilang mengangguk. "Kunci jawaban ujian semester kemarin."

"APA?!" Calla dan teman-temannya berujar kompak, nyaris berteriak.

"Aku udah mau bilang soal ini sama Juna sejak lama, tapi ...." Gilang membuang napas, menenangkan dirinya sendiri. " ... aku benar-benar takut. Ditambah lagi belakangan ini Pak Hari juga mengawasiku. Maaf. Harusnya aku lebih berani sejak awal."

"Jadi karena itu kamu datang ke kafe sama Pak Hari juga?" tanya Raihan.

Gilang tampak terkejut. "Kamu tahu?"
"Kami melihatnya."

Gilang membuang napas dan menunduk. "Dia tahu dari mamaku. Mamaku dengar saat aku teleponan sama Juna pagi itu."

"T-tunggu dulu ...." Rania menyela. "Selain nilai Juna yang dikurangi, kalian juga dapat kunci jawaban?"

"Irgy sama Bayu dapat juga?" Meysha ikut menginterogasi.

Gilang menggeleng. "Kalau mereka, aku kurang tahu."

"Pak Hari kerasukan apa, sih?" Raihan mengacak-acak rambutnya, terlihat frustrasi. "Apa kamu tahu sesuatu tentang dia?"

"Aku gak tahu apa-apa. Tahu-tahu mamaku ngasih kunci jawaban itu. Katanya dia udah bayar mahal. Aku cuma disuruh menghafal kunci jawaban aja, Mama bilang semuanya aman. Mamaku takut kalau nilaiku segitu-segitu aja, aku gak bisa lolos SNMPTN nantinya."

"Gilang, kamu tahu risiko dari tindakan kamu sekarang?" tanya Calla.

Gilang mengangguk meski terlihat ragu. "Aku tahu."

"Kamu sama orang tua kamu mungkin akan habis."

"Aku akan hadapi semuanya. Kalau perlu saksi, aku akan bersaksi." Gilang mendorong kacamatanya lagi. "Aku gak bisa tidur nyenyak setiap malam. Seandainya aku selesaikan lebih awal ...."

"Aku ngerti. Kamu pasti sangat takut."

"Tapi ... melihat kejadian pagi ini ... aku punya keberanian lebih. Toh, pada akhirnya semua ini akan terungkap. Selama ini aku cuma mengulur waktu."

Raihan menepuk-nepuk pundak Gilang. "Terima kasih udah mau jujur. Maaf aku sempat mengira kamu mata-matanya Pak Hari."

Gilang mengangguk. "Aku harap semua ini akan segera selesai."

"Tapi maaf. Sepertinya kami gak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi kamu."

"Gak masalah. Kalaupun aku dikeluarkan dari sekolah, aku sudah merencanakan masa depanku sendiri."

Raihan mengangguk dan menepuk pundak Gilang sekali lagi. Gilang pamitan pergi lebih dulu dari ruang kesehatan. Kini hanya tinggal Calla dan teman-temannya yang masih terkesima.

"Apa ini?" Suara Raihan tiba-tiba mengalihkan perhatian semua orang. Mereka mengerumuni Raihan yang sedang membolak-balik kertas. "Ada namanya."

"Memang kenapa kalau ada namanya?" tanya Calla.

"Aneh," jawab Meysha. "Kayak udah dijatah."

"Maksud kamu?"

"Kalau gak dijatah, jumlah kunci jawabannya akan sama semua. Dan kalau sama semua, gak perlu dikasih nama segala. Toh, gak masalah kalau tertukar."

"Jadi, pemegang ranking yang sekarang udah ditentukan sejak awal?" Rania memastikan, dan Meysha mengangguk.

"Wah, aku benar-benar gak percaya ini terjadi di sekolah kita." Raihan geleng-geleng.

"Apa yang harus kita lakukan dengan ini?" tanya Calla. "Kita harus segera selamatkan Juna."

"Kita tunggu aja dulu sampai Juna keluar," jawab Raihan.

Mereka akhirnya keluar dari ruang kesehatan. Semuanya terkejut ketika Raihan membuka pintu, dan seseorang dari luar membukanya juga. Mereka saling pandang dengan seorang anak cowok di depan pintu beberapa saat. Anak itu kemudian menganggukkan kepala dan berjalan melewati mereka, masuk ke ruang kesehatan. Tangannya memegang susu kotak di depan dada. Calla dan teman-temannya mengikuti ke mana anak itu pergi.

"Anak mana? Kenapa seragamnya beda?" tanya Calla pelan-pelan.

"Anak baru. Namanya Bintang," jawab Rania. "Kayaknya dia belum punya seragam?"

"Wah, kamu update banget sama kedatangan anak baru," ujar Raihan sambil keluar diikuti Calla dan teman-temannya.

"Tadi dia tanya ruang kepala sekolah. Tapi karena keburu ada insiden, sepertinya dia gak jadi ke sana. Apa dia ke ruang kesehatan buat menyepi?"

"Kasihan. Hari pertama udah harus lihat kejadian heboh kayak gini. Pasti dia syok," ujar Calla.

Meysha sambil geleng-geleng. "Sekolah ini gak ramah sama anak baru."

"Tapi ngomong-ngomong, anak baru itu cute banget minum susu kayak gitu," kata Rania.

"Apa-apaan? Kamu kelihatan tertarik sama dia." Meysha tertawa.

"Tapi dia emang cute, kan?"

"Ya, gimana, ya?" Meysha menggaruk kepalanya.

"Kamu berpaling semudah itu? Bukannya kamu suka sama Juna? Wah, aku harus hati-hati memilih cewek buat adikku," ujar Raihan.

Seperti ada sesuatu yang menghantam dada Calla hingga kakinya berhenti melangkah. Dia hanya memandang teman-teman yang terus berjalan, tidak sadar dirinya di belakang.

"Aku suka sama Juna? Kata siapa?" Rania terdengar keheranan.

"Aku tahu, kok."

"Juna emang populer di kelasku, tapi aku bukan salah satu cewek yang naksir dia."

Napas Calla menyembur. Beban berat yang baru saja menimpa hatinya tiba-tiba memudar begitu saja. Dia kembali melanjutkan langkah menyusul teman-temannya.

"Jadi kamu gak suka Juna? Ah, dasar kuman itu! Dia cuma memancingku, ya, ternyata," omel Raihan.

"Kuman siapa?" Rania bingung.

"Bukan siapa-siapa." Raihan berjalan cepat-cepat lebih dulu.

Mereka semua menuju ruang kepala sekolah di mana Juna berada. Ketika mereka tiba di sana, Juna baru saja keluar. Seolah sudah tahu apa yang akan mereka tanyakan, Juna langsung mengajak mereka menjauh dan berhenti di lorong sepi.

"Sesuai rencana pertama. Pak Agus akan mengatasi Pak Hari sendiri." Juna membuka pembicaraan langsung ke intinya.

Calla menghela napas lega, lalu berujar, "Kita juga dapat bukti baru."
Juna terlihat bingung sebelum Raihan menyerahkan kertas padanya.

"Ini apa?" tanyanya.

"Kunci jawaban ujian semester kemarin. Dari Gilang," jawab Raihan.
"Gilang?"

"Ternyata benar dia mau bilang sesuatu sama kamu, tapi gak berani. Dia malah keburu diawasi sama Pak Hari."

Juna membuang napas. "Jadi begitu?"

"Sekarang gimana? Apa kamu kena hukuman lagi?" tanya Calla.

"Kalau mereka menghukumku sekarang, malah lebih kelihatan bobroknya."

"Ah, syukurlah. Masa baru masuk udah kena hukum lagi."

Juna tertawa kecil, Calla melengos karena wajahnya tiba-tiba menghangat. "Ah, kita udah telat banget masuk kelas," katanya sambil pergi.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

15 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro