34. Something Called Destiny

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SMA Wijayamulya masih berisik dengan skandal yang baru saja terjadi. Setelah polisi, giliran orang-orang dari dinas pendidikan yang datang. Pak Kepala Sekolah diturunkan dari jabatannya secara tidak hormat. Dia juga harus menjalani pemeriksaan di kantor polisi. Raihan, Juna, dan Pak Daniel dijadikan saksi. Calla juga dimintai keterangan. Seperti dugaan Raihan, orang-orang kaya itu membawa pengacara masing-masing. Entah seberat atau seringan apa hukuman yang akan mereka terima. Kalau masalah itu, sudah bukan sesuatu yang bisa diatasi oleh bocah SMA seperti mereka. Mau bagaimana lagi?

Ngomong-ngomong, ada yang aneh dengan Juna. Dia tidak mau bicara lagi pada Raihan. Padahal, akhir-akhir ini anak itu sudah mulai melunak. Sejak Juna menerima pesan dari seseorang, sikapnya berubah. Lebih banyak menyendiri. Bahkan, dia tidak ikut menjemput Calla di rumah sakit.
Hari ini pun dia entah di mana. Padahal, dia dan Raihan berangkat bersama papanya, tetapi Juna langsung menghilang setiba di sekolah. Raihan menjalani sidang yang dipimpin langsung oleh direktur sekolah menggantikan Pak Agus untuk sementara. Teman-temannya yang lain datang memberi dukungan. Hanya Juna yang absen. Raihan sampai bingung sendiri menjawab pertanyaan papanya.

"Kenapa Juna seperti menghindar? Kalian bertengkar?" tanyanya.

"Eh, e-enggak, kok. Beneran."

"Apa ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuan Papa?"

Banyak sekali. Juna hampir tidak pernah melibatkan papanya dalam masalah apa pun. Kecuali yang mendesak dan papanya mengetahui hal itu di luar kendali Juna sendiri. Namun, Raihan tidak berani bilang karena takut Juna kena marah.

"Aku akan coba ngobrol sama Juna. Papa tenang aja," kata Raihan pada akhirnya.

Setelah papanya pamit pulang duluan, Raihan heran melihat ketiga teman ceweknya tampak murung, terutama Calla.

"Kalian kenapa, sih? Gak senang, ya, aku gak jadi dikeluarkan dari sini?" kata Raihan.

"Sebenarnya Juna kenapa lagi, sih? Aku pikir hubungan kalian membaik setelah semua ini." Meysha malah menjawab ke mana-mana.

"Ini bukan masalah antara aku sama Juna. Percaya, deh. Sepertinya ada hal lain."

"Dia benar-benar keterlaluan!" ujar Calla kesal. "Dia gak datang jemput aku. Ditelepon gak dijawab. Di-chat cuma bilang gak apa-apa. Harusnya dia gak bilang sesuatu di rumah sakit kalau mau mengabaikan aku kayak gini."

Raihan mengerjapkan mata beberapa kali. Heran mendengar Calla bicara seperti tidak ada remnya. "Memangnya dia bilang apa?"

"Eng ... itu ... ah! Pasti gara-gara pesan itu, kan? Ayolah, Rai. Kamu pasti lihat pesannya, kan?"

Raihan terdiam. Aneh sekali. Calla seperti sedang mengalihkan pembicaraan. "Aku lihat. Cuma gak kebaca. Udahlah. Aku cari Juna dulu."

Raihan berkeliling sekolah mencari Juna. Anak itu tidak ada di perpustakaan. Di kelas juga tidak ada. Kafetaria apalagi. Tempat itu terlalu ramai di jam istirahat. Bukan tempat yang nyaman bagi Juna.
Kira-kira di mana tempat paling sepi untuk menyendiri? Di halaman belakang? Eh, tapi Raihan seperti mengenali anak cowok yang berjongkok di pinggir kolam ikan koi. Benar saja. Ternyata Juna. Dia sedang mencabuti rumput, lalu melemparnya ke kolam.

Ide jahil tiba-tiba muncul di kepala Raihan. Dia berjalan mengendap-endap di belakang. Pada hitungan ketiga, Raihan mendorong Juna ke kolam. Pura-pura, tentu saja. Raihan masih memegangi lengan Juna di kanan-kiri, tetapi dia berhasil membuat Juna memekik kaget. Juna melepas tangan Raihan dengan kasar. Raihan tertawa dan ikut berjongkok menghadap kolam.

"Aku menghadapi persidangan dan kamu malah ngobrol sama ikan? Dasar kejam!" omel Raihan. Juna tidak merespons. Anak itu malah mencabuti rumput lagi. Sampai rumput di sekitar kakinya sudah gundul.

"Aku gak dikeluarkan. Dapat dispensasi karena udah berani mengungkap kebenaran. Cuma diskors seminggu karena udah bikin kekacauan," kata Raihan tidak menyerah mengajak Juna bicara.

Juna menoleh sedikit, lalu bergumam, "Syukurlah."

Raihan bisa mendengarnya dan tersenyum tipis. Hening beberapa saat. Raihan beberapa kali menoleh pada Juna, menimbang-nimbang apa yang akan dia katakan.

"Kamu mau datang ke resepsinya?" tanya Raihan.

Juna menoleh lagi. Kali ini sambil menatapnya bingung.

"Aku gak sengaja baca," kata Raihan.
Juna menghela napas dan kembali mengalihkan perhatian ke kolam.

"Walaupun gak sama persis, mungkin perasaanku dulu juga mirip," kata Raihan. "Aku gak mau Mama menikah lagi. Bagaimana dengan keluarga barunya? Bagaimana kalau aku gak disukai saudara tiriku? Aku mencemaskan banyak hal."

"Tapi ...." Raihan melanjutkan, " ... ada sesuatu yang gak bisa kita kendalikan meski sudah berusaha menolak. Mungkin itu yang namanya takdir?"

Hening. Juna tampak merenung.
Raihan menepuk-nepuk punggung Juna dan berujar, "Cewek-cewek nungguin. Mereka bingung sama sikap kamu. Apalagi Calla. Dia ngomel-ngomel katanya gak seharusnya kamu bilang sesuatu di rumah sakit kalau mau mengabaikan dia seperti ini."

Juna tertegun. Dia tidak jadi melempar rumputnya ke kolam.

"Emangnya kamu ngomong apa? Kamu menyatakan perasaan ke dia?" tanya Raihan.

Juna menoleh. "Heh? E-enggak."

Raihan tertawa geli. "Jadi iya?"

"Aku bilang enggak!"

"Tapi muka kamu bilang iya. Merah gitu."

Juna meringis dan menyembunyikan mukanya di lutut. Raihan tertawa lagi.

"Kamu masih mau ngobrol sama ikan? Kakiku kesemutan." Raihan berdiri dari posisinya dan menggeliat.

Raihan pergi lebih dulu. Setelah beberapa langkah, Juna menjajarinya. Raihan tersenyum jahil dan merangkulnya.

"Jadi gimana? Kamu diterima?" tanyanya sambil berjalan.

"Apa-apaan, sih?" Juna melepas tangan Raihan.

"Wah, aku harus laporan ke Papa. Anaknya udah punya pacar."

Juna memelotot. Raihan sampai menghentikan langkah nyaris mundur. Tatapan Juna seperti siap melayangkan tinju.

"Oke, oke. Ini rahasia," kata Raihan kemudian tertawa.

Juna kembali berjalan, tetapi berhenti ketika melihat sesuatu. Ternyata ada Calla yang berjalan diseret-seret oleh Meysha dan Rania. Mereka menuju kantin. Raihan merangkul tangan Juna dan ikut menyeretnya ke sana.

"Teman-teman!" seru Raihan membuat ketiga cewek itu menoleh.

Mereka terlihat terkejut. Juna menghindari tatapan Calla. Ide jahil beranak pinak di kepala Raihan. Dia menyeret Juna lebih mendekat pada cewek itu.

"Aku berhasil bawa Juna. Ucapkan terima kasih," kata Raihan yang lebih seperti ditujukan pada Calla.

"Kamu ada masalah apa, sih, Jun? Tiba-tiba ilang-ilangan kayak anak kecil," kata Meysha.

"Enggak, kok."

"Hei! Jangan bilang gak apa-apa tapi sikap kamu apa-apa banget!" ujar Calla sebal.

"Eh, kamu beneran potong poni?"
Calla berjinjit untuk memiting leher Juna. "Jangan mengalihkan topik! Aku akan matahin leher kamu kalau main rahasia-rahasiaan lagi!"

Juna memukuli tangan Calla sambil batuk-batuk. Lehernya yang ditarik ke bawah membuat Juna membungkuk. Dia berjalan dengan posisi itu karena Calla menyeretnya. Untunglah dia berhasil melepaskan diri setelahnya.

"Kamu mau leher aku patah beneran?" omel Juna.

"Iya! Biar kamu gak kayak gitu lagi!" Calla berkacak pinggang menantangnya.

Rania terbahak dan melerai perkelahian mereka, sementara Raihan malah termangu. Dehaman Meysha di sampingnya membuat Raihan terlonjak.

"Astaga! Bikin kaget aja!" gerutu Raihan.

"Aroma cinta segitiga mulai menguar." Meysha mengembangkan kedua tangannya. "Oh, atau sebenarnya udah dimulai sejak lama?"

"Kamu ngomong apa?"

Meysha melipat kedua tangan di dada dan memandang Raihan. "Kamu pasti ngerti aku ngomong apa."

Raihan berdeham dan melengos. "Enggak, tuh."

"Hah! Kelihatan jelas banget."

Raihan kembali menghadap Meysha. "Ngelantur!"

"Iya, iya. Aku paham. Kamu akan lebih memilih menekan perasaan itu demi persahabatan kalian, kan?"

"Cewek ini!" Raihan mengacak-acak rambut Meysha kesal.

Meysha malah cekikikan sambil menata rambutnya dengan jari. "Aku udah nebak sejak kenal kalian. Tapi gak ada yang mau ngaku."

"Itu karena tebakan kamu memang salah paham."

"Apa yang harus disalahpahami dari sesuatu yang jelas kelihatan?"

"Perasaan aku ke Calla bukan yang seperti itu, ya. Aku menyanyanginya karena dia malaikat perdamaian kami. Dia sama berharganya seperti Juna."

"Itulah maksud aku. Mereka sama-sama berharga makanya kamu memilih untuk mengalah aja."

Raihan terdiam. Dia termangu-mangu sendiri seperti baru tersadarkan dari mimpi yang membuatnya bingung. Dia terkesiap ketika Meysha menepuk-nepuk punggungnya, menenangkan.

"Gak semua kisah cinta berakhir berhasil. Tapi tetap aja disebutnya kisah cinta. Iya, kan?" kata Meysha.

"Kamu kayak banyak pengalaman tentang cinta aja." Raihan mendorong Meysha sambil tertawa meledek.

"Aku ngomong gini karena paham perasaan kamu."

Raihan terdiam sejenak, lalu bertanya, "Kamu juga suka seseorang?"

Meysha mengangguk.

"Terus?"

Meysha menggeleng. "Dianya suka sama orang lain."

"Wah, cowok mana yang berani membuat Meysha patah hati?"

"Dia ada di kelas kita, kok."

Raihan membeliak. "Oh, ya? Di kelas kita gak ada yang lebih ganteng dari aku. Siapa yang kamu sukai?"

"Sebenarnya dia gak ganteng-ganteng banget. Dia cuma ngaku-ngaku ganteng."

Raihan manggut manggut.

"Dia juga ngaku-ngaku punya banyak fans," lanjut Meysha. "Dia lumayan jago sepak bola, terus ... punya lesung pipit dua."

Raihan termangu dengan mata mengerjap beberapa kali. "Kok kayak kenal."

"Ya iya. Dia, kan, ada di kelas kita."

"Tapi ngomong-ngomong ... kenapa ciri-cirinya mirip aku?"

Meysha mendengkus. "Dasar gak peka!"

Meysha pergi. Raihan terpaku. Perlu beberapa detik untuk Raihan menyadarinya. Kedua bola matanya membulat kemudian. Raihan menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan.

"Apa? D-dia baru aja nyatain perasaan? Kok bisa ada cewek seberani itu? Aaaa! Dia bikin aku merinding!" Raihan memeluk dirinya sendiri.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

15 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro