36. Forgiveness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raihan berkali-kali menoleh pada Juna yang duduk di sampingnya, seperti sedang memastikan apakah dirinya baik-baik saja. Melewati sebuah toko bunga, perhatian Raihan baru teralihkan.

"Eh, itu Meysha. Mang Mang, berhenti dulu, Mang!" katanya heboh.
Mang Dadang menepikan mobil ke pinggir jalan. Raihan menurunkan kaca mobil dan berseru memanggil Meysha sambil melambaikan tangan. Gadis itu tampak terkejut. Raihan akhirnya turun menghampiri Meysha. Juna mengikutinya.

Perhatian Meysha teralihkan oleh Juna. Dia memelotot sambil melongo. "Wah, ini Juna? Kamu habis dari mana dengan penampilan kayak gini?"

"Eng ...." Juna menggaruk tengkuk.

"Enggak nyangka kamu punya pesona seorang pangeran beneran." Meysha geleng-geleng sambil berdecak.

"Hei! Harus banget, ya, muji-muji cowok lain di saat kamu udah suka sama satu cowok?" protes Raihan.

"Emangnya kenapa? Toh, cowok itu juga gak peduli sama aku!" Meysha mendongak menantang Raihan.

"Kalau dia peduli, apa kamu bakal berhenti muji-muji cowok lain?!"

Meysha terdiam. Matanya mengerjap-ngerjap. Juna memandangi dua orang yang ribut di hadapannya bergantian. Aneh.

Seorang gadis keluar dari toko bunga. Calla. Jantung Juna tersentak. Dia membuang muka sebelum akhirnya gadis itu mendekat.

"Eh, Calla? Lagi apa di sini?" tanya Raihan.

"Aku mengantar ayam sama Meysha." Gadis itu menjawab riang.

Juna menoleh karena penasaran. "Ayam?"

"Akhir pekan jadwalnya aku delivery," sahut Meysha. "Calla mau main ke rumah, tapi karena aku harus kerja, dia malah mau ikut juga."

"Kalian sepedaan panas-panas begini?" Raihan meringis melihat dua sepeda yang terparkir dekat Meysha.

"Seru, kok." Calla menjawab seolah tidak ada rasa lelah sama sekali.

"Tempatnya enggak jauh-jauh, kok. Cuma di sekitaran kedai doang," timpal Meysha.

"Jadi kedainya di sekitar sini?" tanya Raihan.

Meysha mengangguk. Raihan menoleh pada Juna dengan wajah berseri-seri. "Jun, mampir ke sana dulu, yuk!"

Juna termangu. Yakin pasti ada sesuatu di balik sikap antusias saudara tirinya ini. Meski keheranan, Juna mengangguk mengiakan. Dan, Raihan terlihat bahagia sekali.

Mobil mereka mengikuti Meysha dan Calla yang mengayuh sepeda masing-masing. Totebag yang mereka bawa sudah kosong, melambai-lambai di setang karena tertiup angin. Perjalanannya lumayan lama karena gadis-gadis itu berjalan lambat dengan sepedanya. Juna serasa menaiki siput karena mobilnya harus berjalan mengimbangi kecepatan sepeda.
Mereka akhirnya tiba di sebuah kedai ayam goreng. Mang Dadang menepikan mobilnya di parkiran toko sebelah, karena di depan kedai ayam sudah penuh. Lahan parkirnya memang sempit karena kedainya juga kecil, kontras sekali dengan toko-toko besar di sebelahnya. Hanya ada satu etalase di depan, sementara di belakang dipakai tempat menggoreng ayam-ayamnya.

Meysha membawakan kursi ke teras depan etasale. "Di sini aja, ya. Di dalam sempit. Panas," katanya. 

Juna melepas jas dan menyampirkannya di pundak. Melonggarkan dasi, kemudian duduk di salah satu kursi plastik tanpa sandaran.

"Maaf, ya, tempatnya sempit. Baru sekali main sudah kepanasan," ujar ibu Meysha. Sempat-sempatnya. Padahal, dia sedang sibuk menggoreng.

"Enggak apa-apa, Tante." Raihan tersenyum lebar.

Meysha membelikan minuman dari toko sebelah. Gadis itu menyodorkan sekaleng minuman bersoda pada Calla. Calla menerimanya saja, tetapi Juna merebutnya.

"Calla gak suka minuman soda," kata Juna.

"Eh, iyakah? Biar aku ganti." Meysha beranjak dari duduknya.

"Enggak usah, Mey. Ini aja," kata Calla buru-buru. Dia mengambil minumannya dari tangan Juna.

"Serius?" Meysha bertanya tidak yakin.

"Bukannya kamu gak suka soda?" Juna keheranan.

"Enggak suka bukan berarti alergi. Aku gak akan mati, kok." Calla membuka kalengnya, tetapi kesulitan. Juna mengambil alih. Lalu, gadis itu bergidik sendiri setelah meneguk minumannya.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Juna ngeri sendiri melihatnya. Takut Calla muntah atau apa.

"Kayak nelen duri." Calla terbahak.

Juna tersenyum sambil geleng-geleng. Dia mengalihkan pandangan ke jalan yang padat merayap. Jantungnya berdebar lagi. Bisa-bisanya. Kapan dia akan terbiasa dengan perasaannya ini?

"Sebenarnya kalian dari mana, sih, rapi begini?" tanya Meysha membuat Juna menoleh.

"Eng ...." Raihan menoleh pada Juna.

"Ibuku nikah hari ini," jawab Juna.

Meysha dan Calla manggut-manggut. "Selamat buat ibu kamu," kata mereka nyaris bersamaan. Juna mengangguk tersenyum.

"Oh, iya. Aku mau bilang sesuatu sama kalian," ujar Calla. "Soal biaya pengobatan anaknya Pak Hari, aku berencana mau bikin galang dana di platform donasi."

"Bukannya kalau galang dana di sana harus ada dokumen resmi dari rumah sakit?" kata Raihan.

"Sebenarnya aku udah nemuin istrinya sebelum pulang dari rumah sakit. Aku menawarkan bantuan. Awalnya dia menolak. Enggak enak karena suaminya udah bikin masalah. Tapi aku juga merasa bersalah kalau membiarkan mereka yang gak tahu apa-apa kena batunya. Aku mohon-mohon sampai dia mau."

"Ya ampun, Calla. Kamu ini beneran malaikat, ya? Mana sayap kamu?" Meysha berujar sambil memeriksa punggung Calla. Calla cekikikan menyingkirkan tangan Meysha.

"Tapi daripada galang dana di platform, mending aku minta bantuan Papa. Dia pasti mau bantu, kok," kata Raihan.

"Kalau gitu yang berbuat baik cuma kamu aja, dong. Masa jadi orang baik gak ngajak-ngajak."

"Apaan, sih? Maksud kamu biar lebih banyak orang yang berbuat baik, gitu?"

"Yup!" Calla mengangguk mantap. "Kamu, kan, punya banyak followers di medsos. Bantu aku sebar kampanyenya, ya. Tapi jangan bilang-bilang kalau itu keluarga Pak Hari. Itu permohonan istrinya. Dia gak mau netizen yang tahu malah bully dia, sama anaknya terutama."

"Oke. Kalau masalah mengajak followers, percaya aja sama kekuatan Raihan." Raihan menepuk-nepuk dadanya. Meysha berdecih sambil melengos.  

"Oh iya, Mey. Aku pesan sepuluh kotak, ya. Buat orang rumah," kata Raihan.
Meysha menoleh. "Sepuluh? Apa gak kebanyakan?" Gadis itu malah heran sendiri.

"Sekotak isinya cuma lima. Berarti cuma lima puluh."

"Emangnya di rumah kalian ada berapa orang?"

"Emm ... berapa, ya, Jun?" Raihan menoleh pada Juna. Juna menggedikkan bahu. Malas menghitung. "Enggak pentinglah. Pokoknya buat dibagi-bagikan ke Mang Dadang dan kawan-kawan. Mama sama Papa mah sekotak berdua juga cukup."

Meysha mengangguk, lalu begegas ke dalam untuk mengemasi ayam-ayamnya. Calla menyusul untuk membantu.

Juna dan Raihan pamitan pulang setelah mendapatkan ayam. Mereka langsung membagikan ayam-ayam itu sesampainya di rumah. Mang Dadang dan teman-temannya berterima kasih antusias. Pekerja di rumah mereka memang lumayan banyak. Mulai dari sopir, security, tukang kebun, asisten rumah tangga, yang masing-masing dua orang. Sepuluh kotak ayam cuma pas-pasan. Satu sisanya dimakan Raihan di kamar.

"Kamu gak makan?" tanya Raihan.

"Enggak." Juna menjawab sambil mengambil pakaian yang dia tinggalkan tadi pagi. "Aku kembalikan baju kamu setelah dicuci."

Raihan mengangguk. Juna melangkah pergi, tetapi berbalik lagi.

"Han, makasih," kata Juna.

Bola mata Raihan berputar-putar. "Buat apa?"

"Udah nemenin aku ke sana."

"Ah, itu doang." Raihan mengibaskan tangan di depan wajah.

Juna menghela napas dan kembali pergi, tetapi perkataan Raihan menahannya.

"Kamu mau ke paviliun?" Juna menoleh. "Padahal kamar kamu di sebelah," tambahnya.

Juna menelan ludah. Dia keluar dari kamar Raihan tanpa menjawab. Melewati kamarnya, Juna tertegun. Ragu-ragu dia membuka pintu kamar. Ternyata tidak dikunci. Kamarnya bersih dan rapi. Sepertinya selalu dibersihkan meski tidak dipakai. Tidak banyak yang berubah sejak sepeninggalnya saat kelas tujuh. Hanya seprei yang diganti. Dulu gambar kartun Naruto. Sekarang seprei motif biasa saja.

Juna merebahkan tubuhnya di kasur. Dahulu, langit-langit kamar ini selalu membuatnya sedih. Kasurnya tidak nyaman. Setiap kali mau tidur, Juna berpikir bagaimana keadaan ibunya di sana? Di rumah kontrakan sederhana yang banyak kecoaknya. Siapa yang akan menghajar kecoak itu kalau ibunya tinggal sendirian? Ibunya takut dengan kecoak. Andai ibunya ikut ke sini, tetapi papanya bilang tidak bisa.
Juna memejamkan mata. Air rembes dari sudut matanya. Entah hari ini dia harus lega atau bagaimana. Ibunya tidak akan sendirian lagi mengatasi kesepian dan kecoak-kecoak itu. Semoga saja, dia bahagia seperti harapannya.

Juna tersentak ketika mendengar kumandang azan. Berapa lama dia berbaring sampai tak sadarkan diri? Juna bergegas bangun dan mengganti pakaiannya. Sekalian saja dia salat Asar di sini. Selesai salat, dia pergi ke balkon.

"Juna!"

Juna terlonjak mendengar seruan itu. Menoleh ke kiri, dia melihat Raihan di balkon sebelah.

"Aku kira kamu ke paviliun," katanya.
Raihan naik ke birai dan berpegangan pada kusen jendela. Kakinya berusaha meraih birai balkon Juna.

"Hei, hei! Cari mati, ya? Muter ke sana, kan, bisa." Juna memutarkan tangannya seolah mengitari kamar mereka.

Raihan nyengir. Dia turun, kemudian berlari masuk ke kamar. Tak lama kemudian, dia sudah muncul di balkon Juna. Raihan ikut menaruh tangannya bersandar pada birai, melihat pemandangan rumah tetangga dan jalan yang memisahkannya.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Raihan.
Akhirnya pertanyaan itu keluar juga. Sepertinya Raihan sudah menahan-nahan sejak tadi.

"Mmm," jawab Juna seraya mengangguk.

"Dulu aku sempat mau memisahkan orang tua kita. Tapi Mama terlihat sangat bahagia bersama Papa. Aku gak tega."

Juna menoleh. Raihan menunduk. Bibirnya terlihat bergetar. "Dan aku malah mengorbankan perasaan kamu. Aku benar-benar minta maaf."

Hati Juna tersayat. Dia ikut menunduk. "Seperti yang kamu bilang, semua ini di luar kendali kita. Kalau punya pilihan, kita ingin keluarga yang harmonis dan tetap utuh. Tapi kehidupan orang dewasa gak sesederhana permintaan kita."

Hening beberapa saat. Juna menoleh dan berujar lagi. "Harusnya aku yang minta maaf."

Raihan juga ikut menoleh. Air matanya jatuh begitu saja.

"Kamu nangis? Aku gak nyangka kamu cengeng begini." Suara Juna melirih di akhir.

"Kamu yang bikin aku cengeng akhir-akhir ini!"

Juna terkejut. Raihan terdengar menyolot.

"Kamu gak berhenti marah-marah, tapi kamu juga diam-diam perhatian dan bikin tersentuh. Kamu yang bikin aku gak jadi dikeluarkan setelah mukul Irgy. Iya, kan? Kamu juga mengakui kesalahanku karena gak mau Papa marah lagi sama aku. Kamu ngasih aku minuman diam-diam. Kamu bahkan bikini aku nasi goreng. Aku, kan, jadi bingung kamu ini sebenarnya benci aku atau enggak?" Raihan kemudian tersedu dan menutupi matanya dengan punggung tangan.

Juna menyemburkan napas yang dia tahan selama Raihan mencerocos. Astaga. Jadi karena itu Raihan menangis saat makan nasi gorengnya? Juna membuang napas sekali lagi dan berujar, "Entahlah. Aku sendiri gak yakin apa aku benar-benar benci sama kamu atau cuma butuh seseorang untuk disalahkan."

"Aku minta maaf karena udah melampiaskan kemarahanku ke kamu," tambah Juna.

"Kenapa kamu terus minta maaf? Semua ini aku yang mulai." Raihan tidak berhenti menangis.

"Kamu sendiri? Kenapa terus nyalahin diri kamu sendiri?" Mata Juna malah ikut tergenang, tidak tega melihat Raihan. "Berhentilah merasa bersalah padaku." Suara Juna bergetar.

Raihan tertawa sambil berurai air mata. Dia memeluk Juna dan menepuk-nepuk punggungnya. Juna menggigit bibir menahan tangis, tetapi air matanya tidak tertahan.

"Mulai sekarang kita bisa melanjutkan hidup seperti ini, kan?" kata Raihan.
Juna mengangguk.

"Mulai sekarang kita bisa jadi saudara kayak orang-orang di luar sana, kan?"

Lagi, Juna mengangguk.

"Mulai sekarang kamu mau panggil aku kakak, kan?"

Juna melepas pelukannya. "Kenapa pula aku harus panggil kakak kalau kita seumuran?"

"Aku lebih tua dua bulan."

"Kalau begitu aturannya, aku harus panggil Calla kakak juga."

"Calla mah beda. Dia cuma tua satu hari."

Mereka berdua tergelak. Hening beberapa saat selagi mereka menenangkan diri.

"Ngomong-ngomong, kapan tanggal lahir Meysha?" tanya Raihan.

Juna menoleh. "Bulan Mei."

"Kamu tahu?"

"Namanya Meysha. Bukannya kelihatan jelas?"

Raihan manggut-manggut. "Kira-kira tanggalnya berapa, ya?"

"Mau aku tanyakan?"

"Eh?"

Juna bergegas pergi ke kamar mengambil ponselnya. Raihan menyusul.

"Hei, hei! Kamu mau apa?" kata Raihan.

Juna segera menelepon Meysha dan mengaktifkan loud speaker-nya.

"Halo, Jun!" Suara Meysha terdengar setelah beberapa saat telepon tersambung.

"Mey, tanggal lahir kamu berapa?"

"Apa? Kenapa tiba-tiba?"

"Ada yang penasaran. Mungkin mau nyiapin kado dari sekarang." Juna memandang Raihan dan tersenyum jahil. Raihan memelotot sambil komat-kamit. Siapa yang penasaran?

"Ada yang penasaran tanggal lahirku?" Meysha tertawa. "15 Mei."

"Terima kasih, ya. Raihan pasti senang."

Seketika Raihan menyambar ponsel Juna dan mematikan sambungan telepon. Ponselnya dia lempar ke kasur dan beralih memiting leher Juna. Kepala Juna diulek sampai dia memekik keras. Raihan tertawa puas karenanya.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

15 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro