6. Apakah Sekolah Ini Bersih?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorak-sorai memenuhi pinggir lapangan sepak bola. Kelas XI IPA 1 sedang bertanding melawan XI IPA 3, setelah sebelumnya mereka melakukan peregangan bersama-sama sebagai bagian dari pelajaran olahraga. Meysha mendudukkan dirinya di samping Calla yang juga ikut berteriak heboh. Tidak jelas siapa yang dia dukung. Sesekali menyebut nama Juna. Sesekali juga nama Raihan.
Meysha ikut mengalihkan pandangan ke arah lapangan. Matanya bisa menangkap Juna dan Raihan sedang bersaing sengit memperebutkan bola. Anehnya, mereka masih terlihat saling dorong bahkan setelah bolanya pindah ke orang lain.

"Ah, dasar anak-anak itu!" gerutu Calla.

Meysha menoleh padanya. "Mereka kelihatan enggak akur."

Calla pun menoleh pada Meysha sejenak, lalu beralih lagi ke lapangan dan menjawab, "Ya, begitulah."

Telinga Meysha berdengung mendengar cewek-cewek dari kelasnya menyanyikan nama Raihan dengan suara keras dan kompak. Sepertinya cowok itu bintang lapangan mereka. Apalagi ketika Raihan berhasil mencetak gol. Mereka teriak sambil melompat-lompat. Rasanya kotoran telinga Meysha mendadak berlarian keluar.

"Dia lumayan juga," kata Meysha yang suaranya nyaris teredam teriakan.

"Maksud kamu Raihan? Iya. Tapi ditawari jadi kapten enggak mau."

"Kenapa?"

Calla menunjuk cewek-cewek di belakang. "Katanya terbebani dengan mereka kalau enggak bisa ngasih yang terbaik."

Suara peluit terdengar, tanda bahwa pertandingan telah selesai. Kelas XI IPA 3 memenangkan pertandingan, berkat Raihan yang terus membobol gawang lawan. Raihan berlari ke arah Meysha dan Calla dengan senyum lebar terkembang. Lesung pipit menghiasi kedua pipinya. Sebelah kanan ukurannya lebih besar, tetapi tidak lebih dalam daripada yang kiri. Mata Meysha dan Raihan saling bertemu. Tiba-tiba Meysha merasa wajah Raihan sedekat kemarin. Sedetik kemudian wajah Meysha memanas, sama seperti kemarin. Buru-buru Meysha membuang muka ketika Raihan duduk berselonjor di hadapannya.
Cewek-cewek yang tadi berteriak heboh kini berkerumun, sama-sama menawarkan minum pada Raihan. Akan tetapi, cowok itu sudah telanjur meneguk minuman yang dibawa Calla. Mereka merengek dan pergi setelahnya. Meysha heran karena Calla terlihat membawa dua botol. Gadis itu meraih botol yang satunya dan melambaikan tangan pada seseorang.

"Jun!" Calla berteriak sambil mengacungkan botol minumnya.

Juna tampak enggan menghampirinya. Calla yang akhirnya bangun menghampiri Juna dan menyerahkan minuman itu. Meysha menghela napas melihatnya.

"Dia berteman dengan dua cowok yang enggak akur," gumam Meysha.

"Heh? Kamu ngomong apa?" kata Raihan.

Meysha terkesiap, lalu memandang Raihan yang sedang mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Meysha buru-buru menggeleng. "Enggak," katanya.

Meysha kemudian memandang Calla dan Juna lagi. Calla terlihat menarik-narik kaus Juna, membawa cowok itu untuk bergabung bersama mereka. Namun, Juna malah pergi ke arah berlawanan setelah melepas tangan Calla dari kausnya. Calla akhirnya kembali dengan kepala tertunduk lesu. Dia kembali duduk di samping Meysha.

"Kalian apa-apaan, sih, berantem di tengah lapangan segala?" gerutu Calla menatap sebal pada Raihan.

"Siapa yang berantem? Orang lagi bertanding." Raihan meneguk minumnya lagi.

"Ah, ya. Kamu seperti lagi ngomong sama orang buta. Aku juga bisa lihat, tahu!"

Raihan mengusap bibirnya lagi dan menyerahkan botol minum pada Calla. "Aku duluan," katanya sambil beranjak pergi.

Calla mengacak-acak rambutnya yang dikucir kuda sambil membuang napas kasar. "Kapan, sih, mereka bisa akur?" erang Calla.

Meysha hanya bisa memandang Calla. Sepertinya dia bisa menebak apa yang sedang terjadi. Apa lagi? Dua orang cowok tidak akur, dan di antara mereka ada seorang gadis. Meysha menghela napas sambil geleng-geleng.

"Mungkin kalau salah satu di antara mereka mau mengalah," kata Meysha asal menebak.

Calla menoleh pada Meysha dengan wajah bingung, tetapi mengangguk juga setelahnya. "Ah, iya. Mereka harus belajar berdamai dengan egonya masing-masing."

"Tapi kamu juga harus tegas dengan pilihan kamu."

Calla mengerjapkan matanya beberapa kali. "Aku? Tegas? Pilihan?"

Kini giliran Meysha yang ikutan bingung. Dia baru sadar sepertinya obrolan mereka tidak nyambung. Meysha tertawa kikuk.

"Ah, sudahlah." Meysha mengibas tangan di depan wajah. "Aku duluan, ya?"

Meysha bangkit dari duduknya dan pergi. Dia kembali ke kelas dan mengambil seragam dari dalam lokernya. Dia tertegun ketika melihat Raihan sedang memandangi loker Calla, lalu pandangannya beralih ke depan. Meysha mengikuti arah pandangan Raihan yang sedikit tengadah. Sepertinya dia sedang melihat posisi kamera CCTV.
Pelan-pelan Meysha menghampiri cowok itu, lalu berujar tepat di sebelahnya, "Kamu sedang memperkirakan apa kamu akan tertangkap kamera CCTV?"

Raihan terlonjak di tempatnya. Dia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab. Terlihat tenang, tapi terdengar gelagapan. "M-maksud kamu apa? Siapa yang tertangkap?"

Meysha berdecak sambil geleng-geleng. "Kamu gak mau dicurigai tapi terus bertingkah mencurigakan."

"Hei! Memangnya aku melakukan apa? Aku memang sedang memperkirakan dia tertangkap kamera atau tidak, tapi bukan berarti itu aku!"

Raihan mendengkus, lalu pergi sambil mengomel. "Kenapa, sih, semua orang mencurigaiku terus?"

Meysha menghela napas, lalu keluar dari kelas. Dia pergi ke toilet untuk mengganti pakaian olahraganya dengan seragam formal. Kemeja putih lengan pendek dibalut rompi rajut berwarna krem dengan dua garis hitam pada V neck-nya. Dasi dan roknya berwarna hitam, sementara jas abu-abunya tidak dipakai. Dia tinggalkan di kelas.

Dari dalam bilik, terdengar anak-anak perempuan sedang mengobrol di luar. Saat keluar dari bilik toilet, Meysha tertegun ketika mendengar anak-anak perempuan di depan cermin wastafel sedang membicarakan Juna. Meysha tidak paham arah pembicaraan mereka ke mana. Apalagi dia tidak mendengar semuanya dari awal. Akan tetapi, satu pernyataan sukses membuat Meysha membulatkan kedua bola matanya.

"Aku gak yakin kalau sekolah ini bersih. Aku akan dukung kalau pemberontak itu benar Juna. Dia sudah melakukan hal yang benar," kata salah satu di antara mereka.

Meysha menoleh ke arah gadis-gadis itu. Ada tiga orang di sana. Dia hanya sempat membaca papan nama salah seorang gadis. Rania Julia. Entah gadis itu atau bukan yang baru saja berujar. Meysha keburu mendapat tatapan dari anak-anak perempuan itu. Dia buru-buru pergi sambil menenteng baju olahraganya.

Sepanjang lorong, Meysha menautkan kedua alisnya. Apa maksud mereka tentang sekolah yang tidak bersih? Lalu, mengapa mereka menebak kalau pemberontak itu adalah Juna? Meysha menggaruk pelipisnya buru-buru, memaksa otaknya menemukan jawaban. Langkahnya kemudian terhenti saat dia menyadari sesuatu.

"Juna, kan, kehilangan beasiswanya," gumam Meysha. "Kalau dihubungkan dengan sekolah yang tidak bersih ...."

Meysha termenung sendiri, lalu menganga dan terbelalak. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dari arah depan, tampak Juna sedang berjalan ke arahnya. Meysha buru-buru menurunkan tangan dan bersikap biasa saja. Juna hanya menoleh padanya sebentar dan lewat begitu saja. Meysha berbalik dan mengekor punggung Juna yang menjauh.

"Kamu kenapa lihatin Juna kayak gitu?" tanya seseorang.

Meysha tersentak dan refleks berbalik. Calla sedang menatapnya serius.

"O-oh, itu ...." Meysha gelagapan. Bingung apa yang harus dia katakan. Sekarang posisinya serba salah. Dia akan disangka naksir Juna kalau memperhatikan Juna sampai sebegitunya. Namun kalau Meysha langsung bilang tentang apa yang dia dengar di toilet, Calla juga tidak mungkin percaya.

"A-aku ... enggak lihatin Juna. Aku cuma lihat lorongnya. Iya. Ah, lorong ini jalan buat ke mana?" kata Meysha mengada-ngada, tetapi semoga saja Calla percaya.

"Lorong ini buat ke kelas lain. Oh, di depan sana juga ada tangga yang langsung bisa turun ke perpustakaan di lantai dasar."

"Oh, begitu?" Meysha tertawa. "Ya, sudah. Aku pergi dulu."

Meysha berjalan cepat-cepat menghindari Calla. Dia kembali ke kelas dan memasukkan kaus olahraganya ke dalam tas. Kemudian, termenung lagi.

"Sudah kuduga, pasti ada yang gak beres dengan sekolah ini," gumamnya seraya memandang ke luar jendela.

"Apanya yang gak beres?" Seseorang berujar membuat Meysha lagi-lagi kena jantungan. Dia sampai terduduk di kursi karena kakinya terbentur saat mundur.

"Kamu ngagetin aja!" omel Meysha.

"Kamu barusan bilang apa? Enggak beres? Sekolah ini?"

Meysha menghela napas. "Aku enggak bilang apa-apa. Kamu salah dengar."

Raihan menatap Meysha sebentar, lalu melengos tak peduli. Dia kemudian pergi menaruh ponselnya di kusen jendela. Posisinya di belakang tempat duduk Meysha. Gadis itu menatap heran pada Raihan yang terlihat memasang gaya sok ganteng. Memamerkan senyum yang membuat kedua lesung pipitnya terukir. Meysha kemudian melongok pada ponsel Raihan. Ternyata cowok itu sedang berpose di depan kamera menggunakan timer. Meysha menganga, kemudian tertawa.

"Hei! Ternyata kamu alay juga, ya?" kata Meysha.

Raihan seketika menoleh. "Apa?"

"Geli lihat cowok main foto-foto kayak gitu." Meysha bergidik.

"Kamu belum tahu aja aku ini banyak fans-nya." Raihan mengambil ponselnya dan berjalan menghampiri Meysha. "Ini buat fan service. Aku baik, kan?"

Tawa Meysha menyembur lagi. "Fans kamu bilang?"

"Kamu gak akan percaya, sih. Aku aja gak percaya. Tapi mereka beneran tergila-gila dengan lesung pipitku." Raihan nyengir sambil menunjuk bolong di pipinya.

Meysha berdecih sambil membuang muka. Menyesal sempat merona gara-gara lesung pipit itu.

"Lesung pipit enggak simetris aja bangga," cibir Meysha.

Raihan melongok ke depan wajah Meysha. "Wah, kamu bahkan tahu kalau lesung pipitku gak simetris. Kamu diam-diam memperhatikan aku, ya?" Raihan berujar sambil senyum-senyum menggoda.

Wajah Meysha memanas lagi, tetapi dia berusaha tampak biasa saja. "S-siapa yang memperhatikan? Enggak diperhatikan juga kelihatan kalau kamu cengar-cengir terus."

Raihan berdecak sambil menegakkan tubuhnya kembali. Meysha menyemburkan napas ke arah jendela. Dia menoleh dengan ujung matanya. Raihan terlihat masih berdiri di samping tempat duduknya sambil mengotak-atik ponsel. Meysha berdeham.

"Ngomong-ngomong ... kamu kenal Rania?" tanya Meysha.

Raihan menoleh. "Rania siapa?"

"Rania ... Julia. Iya, Rania Julia."

"Kayak pernah dengar, tapi enggak tahu juga. Memangnya dia kenapa?"

Meysha menggeleng sambil tersenyum meringis. "Gak kenapa-kenapa. Aku cuma mau tahu dia di kelas mana."

Raihan menaruh tangannya di meja, satu lagi berkacak pinggang. Kepalanya menunduk menatap lurus ke mata Meysha.

"Kenapa kamu tiba-tiba tanya-tanya anak sini? Kamu punya masalah pribadi, ya, sampai ngejar dia ke sini?" kata Raihan.

Meysha mendengkus. "Kamu ngelindur, ya? Gila aja jauh-jauh dari Garut ke Bandung cuma buat ngejar dia."

"Kalau kamu tanya anak cowok, aku bisa langsung paham. Tapi kalau cewek ...." Raihan menggantung perkataannya, " ... dia selingkuhan pacar kamu, ya? Kamu pindah ke sini buat labrak dia?"

Hening. Mereka saling pandang dalam diam. Meysha kemudian manggut-manggut.

"Sepertinya kamu bukan ngelindur, tapi sakit. Sakit jiwa!" ujar Meysha kesal. Raihan hanya berdecih.

"Sudahlah. Aku cari tahu sendiri saja." Meysha bangkit dari duduk dan pergi, tetapi bunyi bel masuk menghentikan langkahnya di ambang pintu. Meysha membuang napas, lalu kembali ke tempat duduknya malas-malasan.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020
All Right Reserved
07 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro