dua puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yang tau lagu ini, berarti kita sepantaran 😂😂

Sorry for typos

Kalau ada kata-kata yang rancu atau grammar yang ngawur boleh dikomen, tapi jangan jutek-jutek, aku sensitif 🙈

Budayakan vote setelah membaca ya, kalau kalian suka dengan ceritanya... karena itu salah satu cara aku tahu cerita aku sebenarnya cukup bagus atau tidak.

Jangan vote sebelum baca. Jangan, pokoknya jangan.

Selamat membaca...

-----------------------

It's gonna be another day with the sunshine, the suns rays shine brightly outside of my window, when my half-opened eyes are finally opened, I invision your face and it welcomes me...

your lips slightly brush against my cheeks, as you whisper that you love me
inside my head is the morning coffee, am i dreaming?

When we can get together I feel paradise, there's nothing that can make me happier than this.
yes, that has to be right, because right now you are by my side

My name, because it was so common, even i didn't like it, but when you call me, i only think of it prettily

It's gonna be another day with the sunshine, you make me feel beautiful, will you please hold me, will you tell me that you love me...

When we can get together I feel paradise, because finally, i feel like the main character in the movies, receiving love

I was reborn in your heart

(Sweet Dream - Jang Na Ra)

❤️❤️❤️

Aku terbangun di pagi hari saat merasakan pipiku dikecup lembut, dan dengan perlahan membuka mata. Terry menatapku balik dengan senyum lembut dan tatapan mata yang tak pernah berhenti membuat jantungku berdebar kencang.

Aku mendekatkan diriku dan mengecup bibirnya.

"Pagi.."

"Pagi, Lili..." gumamnya pelan, sambil tersenyum. Aku kembali mencium bibirnya, lalu beringsut menjauh.

Terry menahan pinggangku, dan menatapku sambil mengernyit.

"Mau ke mana?"

"Mandi."

"Nanti aja," katanya sambil menarikku mendekat. Bibirnya ditempelkan di sisi kepalaku, sementara tangannya melingkari pinggangku dengan erat, dan mulai mengusap punggungku dengan gerakan pelan namun menggoda.

"Nggak mau. Aku lengket, dan bau. Kamu nggak ngizinin aku mandi semalam. Masa sekarang juga nggak boleh?"

"Aku masih ngantuk," bisiknya lembut, namun tangannya sudah turun mengusap pinggulku.

"Haha, ngantuk ya?" aku tidak bisa menghilangkan sarkasme dalam nada suaraku. "Jadi tadi siapa ya, yang bangunin aku pake cium-cium segala?"

Terry terkekeh geli, lalu kembali mengecup sisi kepalaku.

"Ya udah, kalau kamu mau mandi. Ayo mandi."

Dia melepasku dan bangun dari ranjang. Aku mengikuti gerakannya dengan bingung.

"Kamu mau ke mana?"

"Mau mandi kan?"

Wajahku memerah saat dia berjalan memutari ranjang, menuju sisiku dan berdiri di depanku.

Aku sudah mulai terbiasa tampil telanjang di depannya, tapi aku masih malu kalau melihatnya telanjang seperti ini, apalagi saat kami sedang tidak bercinta.

"Kamu mandi juga?" tanyaku, berusaha keras mendongak untuk menatap matanya, dan bukan menatap perutnya yang terpampang persis di depan wajahku - ya ampun, padahal kami sudah menikah delapan bulan lebih, tapi tetap saja.

"Iya dong. Yuk."

Tiba-tiba Terry menggendongku, mengabaikan jeritanku yang kaget, lalu membawaku masuk ke dalam kamar mandi.

Aku tahu apa yang akan terjadi begitu Terry menurunkanku dan mulai mengisi bathtub dengan air hangat. Apalagi aku bisa melihat itu-nya sudah mulai- oh, tidak, tidak, tidak. Melihat itu saat tidak sedang make out benar-benar membuatku malu. Padahal punya suami sendiri.

Kalau seperti ini, bisa-bisa aku yang akan mulai duluan, tanpa perlu dia menggodaku.

Duh, panas banget ya di sini. Hawa AC kok nggak nyampe kamar mandi sih?

***

Aku memukul Terry dengan kencang saat  melihat cermin. Aku baru akan berpakaian, setelah mandi pagi kami yang kedua kalinya, karena setelah 'kejadian' di bathtub, dia malah menggendongku kembali ke ranjang dan membuat kami berdua kembali keringatan.

"Kenapa?"

Aku menunjuk leher dan tulang selangkaku dengan geram. Terry melihat leherku, dan memberikan tatapan bingung.

"Kamu kenapa ngasih tanda sebanyak ini????"

"Lho? Kenapa?"

"Aku nggak bisa pake baju terbuka!! Kamu mau nyuruh aku pakai turtleneck di hari yang panas begini???"

Terry tersenyum geli, menyadari apa yang kupermasalahkan.

"Aku nggak keberatan kamu mau pamer tanda dariku. Biar semua tau, kamu milikku."

Aku kembali meninju perutnya dengan kesal, lalu berusaha mencari pakaian yang bisa menutupi ini semua.

Tiba-tiba tangan Terry melingkari pinggangku, dan dia menjatuhkan wajahnya di bahuku, lalu mulai menciumi leherku. Aku langsung meremang.

Gila, ya, aku sekarang jadi maniak.

"Kamu marah?" tanyanya lembut.

"Marah. Kamu nyebelin."

"Jangan cemberut. Nanti jelek."

Aku melepaskan tangannya, dan berbalik menantangnya.

"Nggak usah dekat-dekat! Aku mau pakai baju!"

"Siap, Isteriku," katanya sambil terkekeh geli, lalu menjauh dariku.

Setelah menikah, Terry justru hampir tidak pernah menanggapi kekesalanku dengan serius. Mungkin karena dia tahu, aku tidak benar-benar marah.

Setidaknya, saat aku benar-benar emosi, dia selalu tahu cara meredam kemarahanku. Untungnya ya itu, selama ini kami belum pernah spaneng bareng. Aku jarang marah, dia juga. Kami belajar untuk berkomunikasi lebih baik, terutama saat tiga bulan awal pernikahan kami, saat aku sudah pulih dan kami belajar menyesuaikan diri untuk tinggal bersama, berdua.

Akhirnya aku memilih mengenakan crew neck crop tee lengan pendek polos warna abu, dan melilit leherku dengan syal tipis untuk menutupi tanda yang tidak berhasil ditutup kaus yang kukenakan. Aku mengenakan satu-satunya celana jeans panjang yang kubawa karena sialnya, saat aku akan mengenakan celana dalam, aku baru sadar kalau manusia itu juga meninggalkan tanda di pahaku.

Mau marah, tapi sayang. Ampun deh.

Aku mendelik padanya, dan dia malah balik menatapku dengan tatapan innocent.

"Pakai baju dulu sana," kataku pada Terry, yang masih tidak berniat beranjak dari tempatnya, hanya berbalut boxer.

"Ntar aja."

Aku berdecak, tapi tidak membantah. Setidaknya dia sudah pakai boxer, jadi aku tidak terlalu malu.

Terry menunggu sambil memperhatikanku saat aku mulai memulas wajahku.

"Nggak usah tebal-tebal."

"Iya, siapa juga yang pake tebal-tebal?"

Aku hanya menggunakan sunscreen, menggambar alis, eyeliner, contour sedikit di hidungku yang pesek ini, lalu bedakan. Aku merapikan rambutku, lalu mengenakan wig berwarna hitam dengan potongan rambut bob, dan poni.

Aku bangun dari meja rias, dan menoleh saat Terry baru saja mengenakan kaus berwarna abu juga, sama sepertiku.

Ck. Laki-laki benar-benar simpel. Mau keluar, tinggal pakai baju, beres. Dan ganteng.

Aku meraih ponselku, dan membiarkan Terry menggandengku keluar dari kamar, menuju restoran untuk sarapan.

***

Setibanya di restoran, kami berdua langsung mendekati Ci Nina yang duduk sendirian sambil mengunyah sereal.

"Nyet, yang lain mana?" tanya Terry sambil menarikkan kursi untukku tepat di depan Ci Nina.

"Keliling, ngambil makanan," kata Ci Nina sambil menunjuk buffet. "Kalian berdua lama bener. Mentang-mentang terpisah tiga hari ya?"

Aku menunduk, sementara Terry terkekeh.

"Tau aja. Lho, Flo Theo mana?"

"Nggak keluar. Flo nggak enak badan. Feeling gue sih hamil ya, dia."

"Hah?"

Ci Nina mendengus geli.

"Nenek itu kelupaan kalau dia udah copot spiral dua bulan lalu. Ya wajar-wajar aja sih kalau sekarang udah ketahuan. Tapi cepet banget dia. Padahal katanya, kalau habis copot KB, biasanya nggak bisa langsung jadi."

Aku ikut mendengus, cukup nyambung dengan pembicaraan ini.

Ci Flo-ku yang manis itu, kalau kata Mami yang pernah menemaninya ke obgyn, adalah tipe perempuan yang sekali senggol bisa langsung tekdung. Suburnya bukan main. Sekali nggak pakai pengaman, bisa langsung hamil. Jadi kalau belum mau hamil, ya harus KB. Sudah harga mati. Nggak bisa cuma mengandalkan tanggal menstruasi. Tapi itupun tidak mencegah seratus persen.

Sementara aku, aku hanya bisa tersenyum getir saat tahu kondisiku.

"Dia udah siap hamil lagi?" tanya Terry, dan aku sedikit bingung saat melihat wajah mereka berdua muram.

"Ya, sepertinya begitu. Udah dua tahun kan, dan sepertinya dia baik-baik saja."

"Ya. Ada Theo. Kita nggak perlu khawatir."

Mereka ngomongin apa sih? Aku udah lost connection di sini.

Password wifi-nya apa sih???

***

Enam bulan yang lalu, Terry membawaku - lebih tepatnya menyeretku ke dokter kandungan, karena aku nyaris pingsan saat tamu bulananku datang.

Padahal biasanya aku hanya perlu minum obat, tapi ini entah kenapa sakit bukan main.

Dia membawaku ke Dokter Kendra, obgyn langganan Ci Nina dan Ci Flo. Atau perlu kuingatkan kalau dia adalah teman Terry yang sangat cantik? Sudahlah, lupakan.

Akhirnya aku tahu apa yang terjadi padaku. Aku mengalami endometriosis. Secara simpelnya begini. Saat masa subur, jaringan dinding rahim atau endometrium akan menebal untuk mempersiapkan diri sebagai tempat melekatnya calon janin jika terjadi pembuahan. Namun jika tidak, endometrium ini akan luruh dan itu yang disebut sebagai menstruasi. Endometriosis adalah kondisi abnormal ketika endometrium justru menebal di luar rahim.

Dalam kasusku, si endometriosis ini membentuk kista dan menyumbat salah satu saluran telur-ku.

Ini dia penyebab aku selalu kesakitan setiap kali datang bulan. Kukira itu normal, hanya masalah hormon. Ternyata karena ini.

Dokter Kendra mengatakan kalau ini tidak berbahaya, dan aku masih punya satu saluran telur yang sehat. Tapi kemungkinan aku hamil tentu saja menipis.

Wanita normal punya dua saluran telur dan dua sel telur yang siap dibuahi. Punyaku hanya satu.  Jadi ngerti kenapa peluangku menipis kan?

Aku down, jujur saja. Perempuan, dengan hati sebaja apapun, saat diberitahu kalau sulit untuk hamil, pasti akan merasa sedih.

Aku perempuan normal. Aku tentu ingin merasakan hamil dan memiliki anakku sendiri. Merasakan dia tumbuh di rahimku, lalu menggendongnya, merawatnya. Anak dari pria yang aku cintai.

Tapi Terry begitu baik. Amat baik.

Dia memelukku yang menangis sambil memeluk Little Terry di atas ranjang, saat aku diserang kesedihan mendalam dan air mataku tidak mau berhenti.

"Kamu tahu aku bukan orang yang religius," kata Terry saat itu, sambil membelai puncak kepalaku. "tapi yang aku tahu, sang Pencipta sudah begitu baik pada kita. Dia memberi aku dan kamu hari yang lain untuk kita jalani bersama, dengan sehat. Kalau dia belum memberi kita tanggungjawab sebagai orangtua, mungkin memang belum waktu-Nya. Kamu harus tetap kuat, Lili. Jangan menangisi keadaan kamu sekarang. Bersyukur saja."

"Tapi... Aku belum tentu bisa ngasih keturunan buat kamu..."

"Aku nggak menuntut, Lili. You are more than enough. Child is just a bonus. Ada atau tidak ada anak, aku tetap mencintai kamu."

Terry menangkup wajahku, mendorongku lembut supaya aku mendongak untuk melihatnya, dan mengusap air mataku sambil tersenyum lembut.

"I loved you for fourteen years, Lili, and I will love you as long as I live. Everyday I thank God, cause He still giving me another day to live with you. And I always ask for another day, everyday." Lalu dia terkekeh. "Padahal kamu tahu aku sudah lama berhenti berdoa. Sejak sama kamu, aku jadi rajin berdoa."

Aku tergelak, dengan air mata membanjiri wajahku.

"Jadi aku memberikan pengaruh baik buat kamu dong?"

"Tentu saja. Kamu hal terbaik yang ada dalam hidup aku. Love of my life."

Aku kembali tertawa, sambil menangis, dan memeluknya erat.

***

Aku bertepuk tangan bersama yang lain, saat sumpah pernikahan selesai diucapkan, dan Benji mencium Ko Felix.

Geli sih, karena melihat mereka berdua laki-laki, dan berciuman. Tapi ya sudahlah, mereka bahagia, dan aku ikut bahagia bersama mereka.

Benji dan Ko Felix tersenyum begitu lebar, dan aku bisa melihat cinta di mata mereka.

Aku menoleh kepada Terry, tiba-tiba aku didorong rasa ingin menciumnya. Jadi aku mendekatkan diriku dan mengecup pipinya.

"I love you, Terry Hanafi," bisikku pelan.

Terry menoleh, tampak terkejut, namun senyumnya mengembang. Dia mendekatkan wajahnya padaku dan mengecup bibirku lembut.

"I love you more, Lilian Detama-Hanafi."

Aku bersyukur masih diberikan kesempatan untuk hidup, untuk menjalani hidup, dan menikmatinya. Merasakan cinta, memberi dan menerimanya, melewati hari-hariku bersama orang-orang yang kusayangi, terutama bersama pria pilihan hatiku. Suamiku.

Aku tidak tahu berapa panjang masa hidupku. Berapa banyak tambahan hari yang diberikan untukku. Tapi satu hal yang aku tahu, bahwa aku tidak akan menyia-nyiakannya.

I've just been given another day to live, to learn, to love, and be loved. And I'll never waste it.

The End

So this is the end ya. Say bye-bye to Lilian-Kilian couple 😆 dan tentu saja Benji-Felix couple 😎

Mereka akan muncul lagi, tentu saja, di lapak saudara laki-lakinya yang sekarang masih hidup nyantai itu, yang bakal aku mulai publish setelah Sigit-Ayu tamat.

Mungkin.

Kalau aku nggak kesambet terus malah publish ceritanya Oliv duluan. Siapa yang tahu Oliv itu siapa? 🙋

Oh yaa... Jadi udah kejawab ya, kenapa judulnya Another Day. Jadi ya, gitu 🙄

Sebelum pada bertanya, kenapa aku cut ceritanya di sini, karena seperti yang disebutkan di atas, mereka nggak akan secepat itu punya anak. Tadinya masalah anak ini bakal jadi konflik baru yang pastinya lebih bikin emosi daripada yang pertama, tapi karena pada nggak tega, ya sudah, nggak jadi deh. Hehehe

Tadinya - TADINYA LHO YA - aku mau membubarkan pasangan ini, dan menjodohkan Terry dengan yang lain. Tapi kembali lagi, pada pilih opsi satu, jadi ya sudahlah.

Ketebak kan kira-kira apa yang bakal kulakukan kalau kalian pada pilih opsi dua? 🙈🙈

Oke, aku benar-benar ember sih. Maaf ya kalau too much information 🙈🙈 tolong kalian pura-pura nggak baca aja.

(Terus kenapa ditulis kalau nggak mau dibaca? 🙄)

Thank you buat kalian yang setia nemenin aku dari awal cerita sampai akhir.

Sorry kalau ada hal-hal yang kurang berkenan, misalnya aku nggak balas komen, atau balas komennya nyebelin, suka nggak nyambung, apapun itu, maafkan.

Tapi aku tidak minta maaf untuk jalan cerita ini, kalau jalan cerita kan suka suka aku lah yaa 😂😂

Sampai jumpa di cerita aku yang lain.

Publish : 29mar'19

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro