empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku melewati minggu pertamaku bekerja dengan cukup baik. Banyak hal yang harus kuingat, tapi dengan bantuan Pak Cakra dan karyawan kepercayaan Papi, aku akan baik-baik saja.

Jangan lupakan Terry yang baik hati itu yang selalu berusaha membantuku memahami dunia yang kugeluti sekarang ini.

Tak terasa, hari sabtu pun tiba. Terry berjanji akan menjemputku pukul empat sore, karena siang digunakan untuk acara keluarga dari pihak laki-laki, dilanjutkan dengan acara untuk anak-anak, lalu malamnya acara untuk sahabat-sahabat orangtuanya.

Aku mengenakan celana kulot berwarna coklat, dengan atasan blouse berwarna hitam. Aku tidak mau mengenakan warna terang, karena ini belum ada seratus hari sejak kematian Papi.

Aku mengambil tas kecilku, dan menemui Terry yang sudah menungguku di ruang tamu. Terry tampak tampan dengan pakaian kasualnya, jeans dan polo shirt warna biru muda.

Apa barusan aku bilang tampan??

Terry bangun dan mendekatiku, lalu menyelipkan anak rambutku ke balik telinga. Gestur kecil yang membuat jantungku berdegup kencang.

Ini aku beneran mau nikah karena perjanjian bisnis?? Bisa-bisa aku keburu naksir duluan.

Sialan. Ini sih, sesuai rencana Terry. Nyebelin banget.

Aku musti gimana supaya dia juga naksir aku?? Hais.

Tipenya Terry kayak apa sih? Ci Flo?

Mati aku, kalau gitu mah. Sampai dunia kiamat juga Terry nggak bakalan naksir aku.

Pernikahan macam apa yang bakal kujalani nanti?

Pusing pusing.

***

Aku duduk dengan manis di sebelah Terry di dalam mobil, dan hanya bunyi radio di antara kami. Aku diam, dia juga diam.

Lalu akhirnya aku memutuskan untuk membuka pembicaraan.

"Jadi kamu sudah cerita ke Ci Nina?"

"Sudah, thanks to your sister. Anyway, aku lebih tua dari Nina, jadi mustinya kamu berhenti panggil dia cici."

"Heh?"

Lalu Terry tersenyum, dan menepuk puncak kepalaku lembut.

"Kamu siap ketemu teman-temanku?"

Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

"Siap sih, mustinya. Kan aku kenal semua. Aman," kataku sambil menunjukkan jempol ke depannya Terry, dan dia terkekeh pelan.

Tak lama kemudian kami tiba di rumahnya Ci Nina, dan Terry membukakan pintu untukku, lalu menggandengku turun.

"Perlu banget gandengan, Ko?"

Terry langsung berbalik dan menatapku tajam.

Ups, aku keceplosan.

"Kamu minta kuhukum?"

Mau!!

Aish, kemesumanku kayaknya sudah naik ke tingkat sepuluh. Pengen banget dicium sumpah. Kacau, kacau.

Aku menanti dengan harap-harap cemas, berpikir kalau Terry akan menciumku di sini, apalagi kepalanya mendekati wajahku. Aku buru-buru memejamkan mata.

"Nanti," bisik Terry.

Aku membuka mata kaget, dan melihatnya tersenyum geli melihatku.

Sial. Mukaku pasti merah sekali sekarang. Menyebalkan.

Terry membawaku masuk ke dalam rumah yang sudah mulai ramai dengan suara anak-anak itu, dan kami langsung menemui sang nyonya rumah dan putra-putrinya yang berulang tahun.

"Om Terry!!!"

Terry melepaskan tanganku karena tubuh Terry langsung ditabrak dua anak kecil yang memeluknya erat.

"Mana kadonya??" tanya mereka serentak.

"Hei, kapan Mami pernah ngajarin kalian nodong begitu?"

Aku mendongak dan melihat Ci Nina menatap kedua anaknya sambil berkacak pinggang. Kedua anak itu langsung menunduk.

"Sorry, Mami.."

"Yang ulang tahun masih aja kena omel, ya," ledek Terry, dan mereka berdua kembali memeluk Terry.

"Happy birthday, kesayangannya Om."

Terry memberi kecupan ringan di kedua pipi anak-anak itu, lalu mendongak kepadaku.

"Jack, Jill, panggil tante Lili."

Kedua anak kecil itu mendongak, dan menatapku dengan senyum dan wajah yang ceria. Akupun jadi ikut tersenyum. Mereka berdua sangat imut. Yang laki-laki mengulurkan tangan padaku, dan aku menyambutnya sambil menundukkan tubuhku, supaya sejajar dengan mereka.

"Hai, Tante Lili."

"Hai juga, Jack dan Jill. Happy birthday.."

"Makasih," jawab yang perempuan sambil tersenyum malu.

"Ini kado buat kalian, dari Om Terry dan tante Lili," kataku sambil menyodorkan bungkus kado. Beberapa hari yang lalu, saat menjemputku, Terry mengajakku memilih kado untuk kedua ponakannya ini.

"Kok barengan?" tanya Jill bingung. Lalu mereka berdua menatapku dengan mata berbinar.

"Tante Lili pacaran dengan Om Terry???"

"Iya, betul sekali. Jadi habis ini kalian kalau mau dedek bayi, mintanya sama Om Terry ya. Jangan minta sama Mami lagi," sahut Ci Nina. Kedua anak itu lalu menatap Terry dengan mata berbinar.

"Om Terry udah mau punya dedek bayi??"

"Belum. Astaga, Nyet. Anak lo jangan dikasih tau yang nggak-nggak deh." Ci Nina melotot kaget, dengan cepat langsung menarik kedua anaknya menjauh, dan kembali untuk memukul Terry.

"Heh! Udah gue bilang lo dilarang manggil gue begitu depan anak gue, dasar kampret."

Lalu Ci Nina menoleh padaku.

"Hai, Lili. Yuk, makan dulu. Ter, bawa Lili makan dulu gih. Kita ngobrol-ngobrolnya ntar aja. Gue musti ngurusin acara game anak-anak dulu. Felix sama Hendra juga belum nongol."

"Flo?"

"Tuh, lagi jagain anaknya, udah pinter lari-larian kan, pusing dia," kata Ci Nina sambil terkekeh pelan. Lalu dia menepuk bahuku.

"Nanti kita ngobrol-ngobrol ya."

"Bilang aja lo mau gosipan sama Flo," sahut Terry, dan ci Nina tertawa.

"Ya dong. Setelah lo jomblo menahun, akhirnya ada yang bisa kita gosipin dari lo. Gantian, Sap." Lalu Ci Nina pergi meninggalkan aku dan Terry.

Terry kembali menggandeng tanganku dan menuntunku menuju arah yang berbeda.

"Kita makan dulu ya. Kamu perlu makan sebelum menghadapi teman-temanku."

Aku tersenyum, dan membiarkan Terry membawaku menuju ruang makan.

***

Setelah makan, Terry membawaku menuju ruang keluarga. Di sana sudah ada Bang Leon suaminya Ci Nina, Ko Hendra, Ko Felix, dan Ko Theo.

"Cie, yang jadi topik hot tahun ini," ledek Ko Felix saat melihat kami, dan aku mendengar Terry tertawa.

Terry itu jarang tertawa lepas. Biasanya aku cuma bisa mendengarnya tertawa lepas saat dia bersama teman-temannya. Jadi aku sekarang sedang beruntung.

Terry membawaku duduk di sebelah Ko Felix, lalu menatap Bang Leon dengan bingung.

"Kok lo di sini?"

"Gue pusing di sana. Jadi Nina nyuruh gue ke sini."

"Oh.. Eh, Lix, titip Lili bentar ya," kata Terry kepada Ko Felix.

Aku mengernyit, dan sebelum Terry berdiri, aku menahan tangannya.

"Mau ke mana?"

"Halah, paling mau gini," sahut Ko Felix, dan dia mengecup dua jarinya. Terry terkekeh pelan, lalu berjalan menjauh, meninggalkanku bersama empat pria yang lain.

Begitu Terry menghilang dari pandangan, Ko Hendra langsung pindah ke sebelahku.

"Katanya mau nanya sesuatu. Ditungguin lho, chat dari kamu. Kok nggak nanya-nanya?" tanya Ko Hendra dan aku meringis.

"Sorry, Ko. Sibuk banget."

"Jadi kamu mau nanya apa, Kacang Polong?"

Aku menggigit bibirku, dan melirik Ko Felix yang jelas-jelas penasaran, dan Ko Theo yang pura-pura cuek tapi pasti nguping juga. Bang Leon sih nggak ketebak ekspresinya.

Udahlah, bodo amat. Nanya aja.

"Ko Hen, Ci Flo sama Terry pernah ada-" sesuatu nggak? Tapi aku nggak sanggup melanjutkan kata-kataku. Di situ ada suaminya Ci Flo ikutan dengerin kan? Aku kan nggak enak.

Ko Hendra menelengkan kepalanya, lalu menoleh kepada Ko Theo dan Ko Felix sambil tersenyum lebar.

"Nah, ini dia nih satu lagi yang suka salah paham," kata Ko Felix dengan keras, membuatku kaget dan langsung menoleh ke arahnya.

Ko Felix langsung merangkulku akrab, dan berkata, "jadi gini, karena Ko Felix adalah yang paling baik diantara semua, Koko bakal kasih tau Lili, kalau diantara Flo dan Terry itu nggak ada apa-apa. Ciyusan."

Aku mengernyit mendengar pilihan kata Ko Felix. Aku tahu dia berbeda, tapi seriusan, dia pakai bahasa alay? Dia kira aku masih abege?

"Dari dulu, Flo nggak pernah punya perasaan lebih sama Terry. Apalagi Terry. Beuh, kalau kamu tahu, ya. Dari dulu sampai sekarang, dia cuma suka satu perempuan, dan itu bukan Flo. Tapi-"

Tiba-tiba Ko Felix dibekap oleh Ko Hendra dan Ko Theo yang panik. Bang Leon saja sampai bangkit dari bangkunya karena panik.

"Anjir, Dut! Lo bener-bener kayak keran bocor, ya!" omel Ko Hendra.

Aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan, karena aku telanjur kaget.

Terry suka satu perempuan dari dulu sampai sekarang? Siapa perempuan itu? Kenapa dia nggak nikah sama perempuan itu saja?

Lalu aku merasa dadaku nyeri.

Sialan.

***

Saat acara untuk anak-anak selesai, Ci Nina, Ci Flo, dan isterinya Ko Hendra datang menghampiri kami bersama putra-putri mereka.

"Lho? Terry mana?" tanya Ci Nina sambil melihat sekeliling. Ko Hendra memeragakan gaya orang merokok, dan Ci Nina mengangguk paham. Lalu tiba-tiba dia menoleh kepadaku.

"Li, tolong panggilin Terry, dong. Dia di lantai dua, kamar kedua di sebelah kanan."

Aku mengangkat alisku, namun tampaknya tak ada satupun yang menganggap permintaan ini aneh, jadi aku mengangguk.

Aku berdiri dan berjalan menuju arah yang diberitahukan Ci Nina barusan. Untung saja rumah ini tidak terlalu membingungkan, jadi dengan segera aku menemukan kamar yang dimaksud.

Pintunya sedikit terbuka, namun demi kesopanan aku mengetuknya sekali. Tidak ada jawaban.

Ah ya sudahlah. Toh, yang di dalam ini kan 'ceritanya' pacarku.

Aku mendorong pintu itu dan melangkah masuk ke dalam kamar itu.

Aku tinggal dengan tiga saudara laki-laki, jadi aku tidak merasa aneh berada dalam kamar pria, tapi saat masuk ke kamar ini entah kenapa rasanya berbeda.

Belum sempat aku melihat sekeliling, satu suara memanggilku.

"Lili, ngapain kamu di sini?"

Aku menoleh, dan Terry melihatku dari arah balkon. Aku segera mendekatinya, dan mengernyit saat bau rokok menghinggapiku.

"Bau..."

Terry berdecak pelan, namun dia mematikan rokoknya di atas asbak, lalu mengeluarkan bungkusan permen.

"Mau?" Aku menggeleng, dan Terry memasukkan satu butir ke dalam mulutnya.

"Ci Nina menyuruhku ke sini."

"Oh..."

Lalu Terry malah menyodorkan tangan padaku. Dengan bingung, aku menyambutnya.

"Kamu nggak takut tinggi kan?" Aku menggeleng, lalu Terry menuntunku untuk berdiri di balkon. Setelah aku berpegangan di balkon, dia malah mengambil tempat di belakangku, seakan-akan dia memelukku dari belakang.

"Ini kamarmu?" tanyaku penasaran, dan dia bergumam mengiyakan.

"Aku tidak suka sendirian di rumah. Jadi Nina membuatkan kamar khusus untukku di rumahnya."

"Oh..."

Aku bisa merasakan tangannya merangkulku, dan kepalanya menempel di sisi kepalaku. Jantungku langsung berdegup kencang.

Terry jahat. Suka sama perempuan lain tapi malah mau membuatku jatuh cinta.

Kayaknya dia menganggapku seperti mainan.

"Kamu wangi..." kata Terry lagi, dan aku bisa merasakan hidungnya menempel padaku, bergerak dari sisi kepalaku menuju leher, dan aku meremang.

Time out! Time out!

"Ko Terry bau. Bau rokok," kataku, berusaha mengelak saat aku merasakan bibirnya menempel di leherku.

Akal sehat, tolong jangan pergi!!

Lalu Terry tertawa, nafasnya terasa di leherku, dan aku merasakan tubuhku meremang seketika.

Lalu tiba-tiba saja tubuhku dibalik, dan matanya menatapku tajam.

"Kamu panggil aku apa?"

Aku keceplosan lagi ya?

Aku buru-buru menutup mata, dan aku merasakan bibir Terry menempel di bibirku. Aroma tembakau dan mint - perpaduan yang nggak banget! tapi entah kenapa malah terasa oke saat ini - menerpaku, membuatku semakin menginginkan lebih. Tanpa sadar aku mencengkeram sisi kaos Terry, dan Terry mengeratkan pelukannya di pinggangku.

Tadinya kupikir dia tidak akan melakukan lebih, karena ini hukuman, ingat? Tapi dia memiringkan kepalanya dan memperdalam ciuman kami. Lidahnya menggodaku, dan aku dengan sukarela membuka mulutku, membiarkan Terry masuk dan menari bersama lidahku.

Tunggu dulu.

Bukannya tadi aku disuruh memanggil Terry turun?

Aku menepuk pinggangnya, berusaha melepaskan diri, tapi Terry memindahkan salah satu tangannya ke tengkukku, dan aku tidak bisa kabur.

Dia baru melepaskanku saat nafasku sudah mulai habis, dan dia mengusap bibirku dengan lembut.

Aku mendongak dan menatap matanya, mata hazel yang hangat dan memandangku dengan lembut, dan aku tahu, aku mulai jatuh.

Sialan.

"Kita harus turun. Yang lain menunggu," bisikku dengan nafas yang belum juga kembali normal.

"Nggak perlu buru-buru. Mereka akan mengerti, kok."

"Ngerti sih ngerti ya, cuma lain kali pintu tolong ditutup dong."

Aku dan Terry langsung menoleh kaget, dan melihat Ko Hendra menyender di kusen pintu menghadap kami sambil tersenyum geli. Aku langsung bersembunyi di balik Terry. Aku malu sekali.

"Untung gue doang yang liat. Coba kalau Felix, Flo, atau Nina? Abis lo, Ter."

"I love you, Hen," kata Terry datar, dan dibalas dengan kedipan mata oleh Ko Hendra.

"I love you, too, Darling. Jangan kelamaan, tar dikirain kalian berbuat mesum di sini."

Aku melotot kaget. Baru kali ini aku melihat interaksi aneh mereka berdua, dan itu cukup membuatku shock.

"Lo tau gue nggak mungkin gitu."

"Siapa yang tahu? Kali aja lo kalah dengan empat belas tahun."

Aku mengernyit bingung. Apa itu empat belas tahun?

Aku mendengar Terry mengumpat pelan, dan Ko Hendra tertawa.

"Ya udah, gue turun dulu. Kalian beres-beres dulu aja, muka Lili keliatan banget tuh, abis diapa-apain," ledek Ko Hendra lagi, lalu dia keluar dan menutup pintu, sehingga kami kembali tinggal berdua.

Aku menunduk saat aku menyadari Terry kembali menatapku. Dia mendongakkan kepalaku, dan mengusap pipiku lembut.

Dia kembali mendaratkan satu kecupan ringan di bibirku, lalu menarikku masuk.

"Masuk ya. Udara malam nggak bagus buat kesehatan."

Terry mendudukkanku di tepi ranjang lalu mengunci pintu akses ke balkon, setelah itu dia duduk di sebelahku.

Kami berdua duduk dalam diam, membiarkan keheningan yang menyenangkan menyelimuti kami berdua. Sesekali tangannya mengusap tanganku dengan lembut, dan memainkan jariku.

Aku benar-benar dibuat bingung olehnya.

Kenapa dia bersikap manis padaku sekarang? Justru di saat aku tahu kalau dia menyimpan rasa untuk orang lain??

Apa pernikahan yang akan kami jalani nanti akan berjalan senormal itu?

Aku jadi semakin tidak yakin.

Tbc

Berasa deja-vu :p

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro