Shadow #23 - Menjadi rumit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pemakamam umum, kota New York.


"Wajahmu terlihat sama redupnya dengan langit sore ini."

Suara itu datang ketika Alicia tengah berdiri di depan pemakaman seseorang. Marble Cemetery, sebuah pemakaman umum di lingkungan East Village, Manhattan, New York yang dipilih sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi wanita bernama Karenina Portman.

Wanita itu, tak hanya berhasil menjadi dosen kesayangan Alicia. Tapi jauh dari itu, wanita yang lebih akrab dipanggil Mrs. Portman oleh para mahasiswanya itu sudah memberi kesan mendalam bagi Alicia. Seperti kehilangan saudari, Alicia juga tak mampu mengendalikan perasaan atas kehilangan sekarang.

Alicia lalu mengembuskan napas berat sebelum ia menyilang kedua tangannya di dada. "Seandainya saja saat itu aku langsung sadar ada sesuatu yang tak beres dengannya, mungkin dia tak akan berakhir di sini sekarang," ucapnya penuh rasa bersalah.

Namun Ace segera merangkulnya. Membiarkan gadis berambut hitam itu menelusup masuk ke bawah lengannya yang berotot. "Kau tetap tidak akan merubah takdir meskipun kau menyusulnya."

Lagi-lagi Alicia hanya bisa menghela napas.

"Mari kita pergi! Bagaimana jika makan es krim di kedai Paman Chuck untuk menghibur hatimu?" Ia tersenyum pada Alicia yang sama sekali tak berpaling dari makam Mrs. Portman. "Aku akan memesankanmu dua cup es karamel, sayang."

Alicia hanya menganggukan kepalanya pasrah. Lagipula, tak ada yang bisa membuat perasaannya lebih baik selain es karamel itu sekarang.

Waktu akan terus berputar dan satu-satunya cara untuk mengobati luka itu hanya dengan menangkap pelaku itu sendiri. Tidak ada obsesi lain yang lebih menguasai dirinya selain itu. Ia akan menemukan pelakunya;ia harus menemukannya.

"Kedengarannya es karamel boleh juga."

Keduanya kemudian pergi meninggalkan area pemakaman dan segera menuju kedai susu dan es milik Paman Chuck. Karena karamel adalah satu-satunya harapan Alicia, agar ia dapat menenangkan perasaannya sendiri meski sejenak.

Dan begitu dua cup es karamel itu mendarat di hadapan Alicia, ia-pun seketika tercenung melihatnya. "Kau sungguh memesankanku dua cup hari ini, Ace?"

Pria berambut hitam kecokelatan itu hanya mengangguk dan memamerkan senyum penuh percaya diri. "Mari obati perasaanmu dengan karamel-karamel ini, Sayang."

Mendadak dada Alicia menghangat, hingga tanpa sadar senyumnya kembali mengembang dan duka itu perlahan memudar. Ia sungguh bersyukur memiliki Ace di dalam hidupnya. Seseorang yang rela menempuh bahaya, hanya untuk seorang gadis asing seperti Alicia.

Gadis bermata biru itu menarik kembali ingatan-ingatannya tentang Ace. Betapa Ace menyombongkan dirinya di depan Alicia di hari pertama; pria menyebalkan. Tapi kemudian pada akhirnya, Ace-lah yang rela masuk ke dalam sebuah hall asrama yang penuh dengan kobaran api hanya untuk memastikan dirinya selamat.

Jika mengingat lagi semuanya, perasaannya mendadak kembali membaik.

Sampai Alicia ingat, bahwa ia baru-baru ini membohongi kekasihnya itu dan kembali berjalan menuju bahaya.

"Hey?" Ace menyentuh tangan Alicia dan membuatnya tersadar dari lamunan. "Apa yang sedang kau pikirkan, Alicia?" tanyanya khawatir.

Namun buru-buru Alicia berdalih, "Oh, tidak. Tidak ada." lalu ia kembali menyiuk es krim yang ada di hadapannya dengan canggung. Jangan sampai Ace tahu soal itu.

Setelahnya, Ace hanya diam beberapa detik. Sebelum akhirnya ia mendorong cup es kopi miliknya menjauh dan berdeham dalam. Matanya memandang Alicia lurus-lurus, sehingga gadis itu langsung merasa terintimidasi. "Alicia,"

Alicia-pun balik menatapnya sekarang.

"Aku ingin kau berhenti memikirkan wanita itu mulai sekarang," kata Ace sarat memerintah. Ia lalu melanjutkan, "Aku tidak ingin kau berpikir untuk kembali berjalan menuju bahaya hanya untuk menangkap pelakunya."

Seperti melihat petir di siang bolong, Alicia-pun terkejut dengan perkataan Ace barusan. Apakah ia sungguh tahu soal ini?

"Aku tahu kau peduli padanya," sambung Ace prihatin. "Tapi aku tak akan membiarkanmu terluka untuk yang kesekian kalinya."

"Aku hanya---" Berterus terang adalah sesuatu yang terus mendesak di dalam benaknya. Tapi pandangan Ace yang begitu tulus itu, membuat ia gagal mengatakan yang sebenarnya. "Sangat merindukannya," bohongnya.

Ace kemudian meraih satu tangan Alicia dan menggenggamnya erat. "Semua akan baik-baik saja, Sayang," katanya menenangkan. Ia lalu tersenyum dan meluluhkan gadis di hadapannya itu. "Sekarang, mari habiskan es krimmu dan aku akan mengantarmu pulang."


***


"Jadi, kau menuduhku sebagai seorang pembunuh?" Ace lalu terkekeh mencemooh. Ia bahkan mengangkat kakinya angkuh di hadapan Nicholas.

"Kau masuk ke dalam daftar tamu VVIP di gedung teater dan juga tercatat hadir pada pertemuan di Sunshine Cafe," kata Nicholas menjelaskan. "Kau ada di lokasi kejadian saat kedua korban dibunuh."

Ace mengangkat satu alisnya dan menggeleng. "Tapi itu tidak membuktikan apapun, detektif." Ia melipat kedua tangannya di dada dan menunjukkan raut yang dingin. "Kau menuduhku karena kau membenciku, bukan?"

"Apa maksudmu?!"

Namun pria muda yang kini duduk di ruang kerja ayahnya dengan status menggantikannya sebagai CEO itu melihat Nicholas dengan tatapan menantang. "Kau masih menyukai Alicia, bukan?"

"Hey! Urusan ini tidak ada hubungannya dengan gadis itu!" Nicholas-pun berseru karena merasa tak terima. "Jangan alihkan topik pembicaraan kita, Tuan Blake."

"Baiklah kalau begitu," kata Ace sarkas. "Bisakah kau menunjukkan bukti bahwa aku memang bersalah?"

Nicholas menahan amarah. Rasa sabarnya tengah diuji oleh seorang pria yang lebih muda darinya sekarang. "Kau. Ada. Di lokasi kejadian. Saat. Mereka. Berdua. Mati!" ejanya dengan tegas.

"Pertama, aku memang sengaja menonton drama hari itu, karena mereka mengundangku." Ace mengangkat dua jarinya ke udara dan membentuk huruf V sekarang. "Kedua, aku hadir pada pertemuan itu karena mereka adalah kolega kerjaku." Ia mendengus pendek. "Tuduhanmu benar-benar terdengar tak beralasan sekarang. Bukankah aku benar?"

Mencoba menahan diri agar tak terprovokasi, Nicholas kembali bertanya, "Dimana kau sebelum pertemuan kerja itu dimulai?" Ia menyeringai. "Kau pergi ke suatu tempat untuk mengkambinghitamkan seseorang, bukan?"

Namun Ace malah tertawa. "Haha, kau bergurau? Aku baru saja menikmati hari dengan Alicia sebelum pergi ke Town Square." Ia kemudian menurunkan kakinya dan bangkit dari sofa. "Jika kau mau, kau bisa memeriksanya sendiri. Tanyakan langsung alibiku barusan pada Alicia."

Ucapan itu bukan hanya bermaksud menyindirnya, tapi lebih kepada menantang detektif muda itu. Ia tahu Alicia tak akan terima saat Nicholas menjadikan Ace sebagai orang yang paling dicurigai dalam kasus pembunuhan ini.

Alicia akan menganggap Nicholas melakukan itu karena urusan pribadi. Ia tak bisa melakukannya dan membuat hal itu terjadi.

"Kenapa kau diam?" tanya Ace. Ia lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berjalan menuju kursi kebesarannya di ruangan itu. "Kau sangat menyukai kekasihku, sehingga tak berani melakukannya, bukan?"

"Jaga bicaramu, Ace."

"Kau yang harus menjaga sikapmu, detektif Nicholas," timpal Ace sinis. "Buka matamu dan sadarilah, bahwa Alicia adalah kekasihku!"

Merasa terus disudutkan, Nicholas-pun memilih bangkit dari sofa. Ia menunjuk wajah Ace dengan tangannya sendiri. "Aku akan membawa bukti itu padamu dan kupastikan Alicia akan membencimu selamanya!" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro