N.O P.R.O.B.L.E.M

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Feb! Mau kemana?" Febi menoleh pada pria tua di belakangnya. Ia hanya menatap sekilas dan..

Tanpa menjawab ia melenggang pergi ke luar rumah.

Ada sedikit kekecewaan yang terpancar di wajah itu. Tapi yang ia lakukan hanya bisa mengehela nafas jengah dengan sikap putrinya.

"Sudahlah Erik. Lambat laun putrimu itu pasti akan melunak. Tak ada es yang tak cair. Aku yakin nanti dia akan sadar dengan sendirinya" mendengar ucapan istrinya Erik hanya tersenyum penuh arti. Ia mengangguk kemudian kembali ke dalam rumahnya.

"Tunggu saja. " ujar wanita itu sendiri. Kemudian menyusul Erik pria paruh baya yang berstatus menjadi suaminya.

Ada rasa tidak enak sebenarnya jika bersikap seacuh itu pada orang tua . Tapi mau bagaimana lagi? Febi sudah terlanjur benci pada laki-laki walaupun itu Ayahnya sekalipun.
Febi tidak peduli!
Yang ada di hatinya setiap bertemu seorang pria hanyalah rasa benci dan kecewa.
Menurutnya pria-pria itu hanya sebatas mulut yang penuh janji dan menyakitkan.
Tidak!
Ia tidak sedang mengingat masa lalu. Karena memori masa lalunya sudah terhapus oleh tidur panjangnya di ranjang pesakitannya dulu.

Entak kenapa hatinya terasa perih setiap kali mengingat kata 'pria' . Ia juga tidak tau kenapa. Tapi ingatannya tidak bisa di ajak kompromi.

Febi terus berlalu mengitari kota metropolitan dengan pemikirannya yang kacau.
Kenapa hidup ini harus di kelilingi pria.
Kalau begini bisa gila dia.
Ataukah Febi fobia dengan pria sehingga rasanya ingin melenyapkan satu satu mereka yang berjenis pria.
Tapi febi masih waras. Ia juga membenarkan perkataan teman temannya waktu itu

'Untuk apa kau hidup kalau kau membenci lawan jenismu. Apa selamanya kau akan begitu? Apa alasanmu untuk membenci semua laki laki? Lagipula laki laki itu tidak semuanya sama febi! Apa jangan jangan kau itu pencinta sesama jenis?'

Yahhh. Laki-laki itu tidak semuanya sama . Tapi tetap saja. Di hatinya hanya akan ada rasa benci pada pria.

Oke. Baiklah. Mungkin setelah berjalan berjam jam dengan pemikiran kacaunya ia jadi tersesat.

Tapi tak apa. Mungkin ia bisa sedikit menikmati akhir pekan di minggu yang sibuk ini.

Jujur. Febi tak pernah tau jalan kemari. Bahkan untuk keluar kota saja ia tak akan pernah mampu. Karena ada seseorang yang akan menahannya untuk keluar dari rumah yang Febi sebut sebagai penjara kegabutan itu. Takut tersesat katanya. Cihh bullshit! Febi itu tidak bodoh bodoh amat. Sekarang teknologi sudah canggih.

Febi melangkah tak tentu arah. Di daerah sini masih begitu asri. Banyak pohon-pohon besar yang mengelilingi pandangannya.
Ia menghirup udara segar disana.

Dan akhirnya langkahnya terhenti saat melihat sekerumunan anak yang tengah bermain di sebuah taman yang terbilang cukup luas.

Febi memperhatikan beberapa anak dari sebrang jalan yang terpantau cukup sepi.

"Aduhh. Sakitt" jerit seorang anak perempuan berambut sebahu itu sembari memegangi lutunya yang terluka karena jatuh dari perosotan yang cukup rendah.

"Mana? Lututmu berdarah. Apa kau mau pulang saja. Biar aku obati" ucap anak laki laki dengan postur lebih tinggi. Cukup tampan.

Anak perempuan itu menggeleng. "Aku hanya terluka kak. Aku akan menunggumu di sana selagi kau bermain dengan kak dika dan kak alif."

"Apa kau yakin?"

Anak perempuan itu menggeleng lucu. Kemudian anak laki laki itu menuntunnya pergi ke sebuah bangku yang ditujuk oleh anak perempuan itu.

"Tunggu disini ya. Kalau kau perlu sesuatu panggil saja. Aku pasti akan kemari."

"Siap bos" anak perempuan itu mengangkat tangannya hormat pada anak laki laki yang tengah menatapnya gemas yang kemudian ia mendapat acakan rambut dari anak laki laki itu.

Ada rasa iri terlintas di hati Febi.
Rasanya dia ingin memiliki seseorang yang khawatir begitu padanya. Dia juga ingin mengingat masa kecilnya seperti apa. Tapi ia tau itu mustahil.

Febi berjalan mendekat ke arah anak perempuan tadi.
Ia mengeluarkan permen yang ia bawa selalu dalam tas nya.

"Haii. Kau mau?" Tanyanya.

Anak perempuan tersebut menggeleng.
Febi mengernyit bingung. Kemudian memiringkan kepalanya seolah bertanya 'kenapa?'

Seolah-olah mengerti dengan raut wajah Febi yang nampak kebingungan gadis itu berkata sembari tersenyum imut pada Febi.

"Kata mama Cho. Hyera tidak boleh menerima sesuatu dari orang yang tidak hyera kenal" ucapnya lugu. Begitu polos. Batin Febi

"Jadi nama mu hyera ya? Namamu sangat cantik sama seperti wajahmu"

"Gamsahamnida kakak" ucapnya riang. Febi sedikit terkejut dengan ucapan hyera.

"Dari mana kau tau kata kata itu sayang?"

"Kata yang mana?" Tanyanya balik. Pipi gadis kecil itu memerah saat terpapar sinar matahari karena kulit putihnya. Tentu saja Febi jadi gemas sendiri.

"Ah lupakan. Tadi kau bilang padaku kan kalau tidak boleh menerima apapun dari orang yang tidak kau kenal?"

Gadis itu mengangguk

"Bagaimana kalau sekarang kita kenalan?"

Ia kembali mengangguk ragu. Dan tanpa babibu Febi kemudian mwnjabat tangan mungil gadis berponi itu. Dilihatnya Febi yang tengah memperkenalkan dirinya

"Kenalkan. Namaku Febi Analisha Santih. Hyera bisa memanggilku kak Febi. "

Gadis mungil itu mengangguk imut. Semakin imut saat ia sangat antusias mengenalkan dirinya pada Febi

"Namaku Kim na hyera. Kakak bisa memanggilku hyera" gadis mungil itu memperlihatkan sederet gigi putih nya. Ada sedikit lubang di pipinya yang membuatnya semakin manis saat tersenyum

"Nah sekarang kan kita sudah saling kenal. Apa sekarang kau mau menerima permenku ini?" Gadis lugu itu menagngguk antusias. Ia mengulurkan tangannya untuk menerima permen pemberian Febi.

Dan saat itu sesuatu melintas di otak Febi hingga membuatnya sontak memegang kepalanya

"Apa kak Febi baik?" Tanya Hyera

Febi hanya mengangguk. Ia sedikit memperhatikan luka milik Hyera. Perlahan ia mengeluarkan perban kecil bermotif dan menempelkannya dengan sigap pada lutut Hyera. Gadis itu nampak mengaduh kesakitan.

"Hyeraaaa....!"

Hyera bangkit dari posisi duduknya . Berlari ke arah sang pemanggil.

"Kakak!"

"Hyera. Apa kau tidak apa apa?" Hyera menggeleng. Entah kenapa Febi seperti mengingat sesuatu . Begitu ganjal dalam otaknya.

"Kak Febi yang sudah mengobati lukaku kak! Dia juga memberiku permen lohh!" Hyera nampak sangat antusias membuat sang kakak hanya menggeleng maklum.

"Yasudah kalau begitu kita susul yang lain untuk pulang. Emm kak terima kasi telah mengobati hyera" ucap anak laki laki itu.

Febi sempat tersentak mendengarnya. Tapi kemudian ia tersnyum kikuk

"Memangnya rumah kalian dimana? Apa mau kakak antar saja untuk pulang?"

Anak laki-laki itu menggeleng. "Tidak. Rumah kami dekat sini. Itu dia" ucapnya menunjuk sebuah gedung besar sederhana bertuliskan 'rainbow home' dan Febi tau itu adalah tempat apa.

"Kalian tinggal di panti?" Mereka mengangguk antusias. Febi hanya bisa tersenyum miring melihat kepergian kedua anak itu. Yaahh ada rasa tak rela saat berpisah dengan Hyema. Tapi mau bagaimana lagi? matahari juga sudah mulai menghilang di balik cakrawala.

Tanpa sadar ia tersenyum saat melihat anak laki laki tadi yang nampak begitu posesive pada adiknya. Sungguh febi iri. Walaupun ia membenci laki-laki. Tapi hatinya tak bisa dipaksakan melihat anak kecil seperti kakak Hyema tadi












"Coba saja mereka ada di sampingmu. Pasti kau tidak akan kesepian. Ayah tau ayah salah. Dan ayah menyesal berbuat ini padamu. Tapi ayah tidak mau kehilanganmu. Bagaimana pun kau adalah putri kecil ayah. Walau bencimu terhadap ayah berpengaruh pada masa depanmu. Tapi ayah yakin, suatu saat mereka akan kembali lagi padamu. Dan semua akan terwujud ....."



Tbc

↪↪🌟

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro