Kenangan Itu Masih Berada di Sini - 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sebenarnya ini tulisan udah lama nongkrong di blog. Cuman berhubung masih satu tema jadi diunggah ulang ke sini. Tautan cerita aslinya ada di bawah tulisan. Ini versi revisinya.

******

"Apa boleh aku meminta sebuah permintaan?"

"Katakan saja. Aku akan melakukannya."

"Berjanjilah padaku jika kau akan terus berada di sisiku. Ingat. Janji jari kelingking."

******

Lama sudah tak jumpa dengannya. Bagaimana kabarnya? Apa yang ia lakukan di kehidupan berikutnya?

Apa tempatnya di sini? Sudah lama sekali aku tak berkunjung ke desa.

Entah apa yang terjadi selama ribuan tahun ini. Keadaan tempat tinggalku dulu sudah banyak berubah. Wilayah desa bukanlah desa lagi. Daerah yang dahulu menjadi ladang penduduk kini bersatu dengan bagian desa. Sebuah kastil tua masih tegak berdiri di pusat dengan kawasan pemukiman centaur di sebelah barat. Mereka sesekali lalu lalang di desa. Kini desa menjadi desa wisata yang penuh sesak oleh para turis. Ornamen-ornamen modern pun seakan mewarnai desa kecil ini tanpa merusak keindahan desa.

Tak ada lagi perang saudara. Semua hidup damai. Baik itu manusia, centaur, para elf, turis-turis yang datang, dan tunggu. Sejak kapan aku melihat satyr di sekitar sini? Setahuku para satyr mengungsi akibat perang saudara dan serangan monster.

"Tuan ingin mengikuti tur di tempat ini?" tanya seorang satyr bertubuh kecil menyodorkan selembar peta padaku dengan senyuman selebar danau di selatan desa.

"Tidak. Satyr muda, bisakah kau tunjukkan padaku di mana letak Kuil Astoria?"

"Kuil Astoria! Aha! Tiga keping perunggu!"

Gajiku dalam sehari bisa habis dalam beberapa jam di tempat ini.

Kuil Astoria masih seperti dulu. Berada di atas bukit dan cukup jauh dari kastil. Kuil ini berada di perbatasan desa sebelah utara. Tak jauh dari markas Petugas Pelindung Desa. Tempat ini menjadi tempat populer kedua setelah monumen perdamaian centaur di tepi barat. Mataku tertuju pada sebuah gua kecil yang tersembunyi di dalam hutan. Kudengar makhluk mistis hidup di dalamnya. Menurut desas-desus di zamanku itu adalah sarang serpent. Ia sering menjelma sebagai sosok wanita cantik untuk menarik mangsanya. Bicara soal makhluk mistis, merepotkan juga hidup seperti ini. Untung saja mereka tidak menyadari aku ini siapa.

Kuil Astoria, benteng pertahanan terakhir di desa. Satyr kecil itu kemudian membawaku beserta turis lain mengunjungi sebuah bangunan kecil di tepi kuil.

"Tempat ini adalah makam seorang pendeta legendaris yang sempat hidup di desa ini. Ia adalah sosok yang berhasil menghentikan perang di desa."

Ketika satyr itu menjelaskan tentang makam pada turis, aku menepi. Berjalan menuju ke luar rombongan. Seketika aku mendengar bunyi lonceng lembut seperti tertiup angin. Tak ada seorang pun yang membawa lonceng di antara para turis. Sejak kapan ada banyak toko suvenir di sini? Tak ada toko bunga di sini.

Ketika rombongan telah pergi, kutaruh seikat bunga dandelion di atas pusara. Dandelion. Hanya itu yang kutemukan di hutan. Sebuah pusara kecil dengan marmer seputih susu berukiran "Cattleya N. Raymist". Perkataan satyr kecil si pemandu wisata mulai samar. Perkataan soal jasadnya dibawa dari hutan lalu dimakamkan di sini itu yang kutangkap. Sekilas, pusara itu seakan tersenyum kembali padaku.

******

Hari pertama aku bertemu pertama kali dengannya. Hari itu aku baru saja datang ke istana sebagai kurir istana. Ada sebuah kawasan tempat tinggal khusus para pegawai istana tinggal. Hari itu pun aku terdiam. Seorang gadis berambut coklat panjang tiba-tiba menghadangku dengan pisau dapurnya.

"Hei! Kau gila menyodorkan pisau dapur pada orang yang baru datang!"

"Siapa kau? Apa kau ini penyusup yang sengaja menyamar sebagai pegawai istana?"

"Gadis aneh."

Ia lalu tertawa terbahak-bahak persis seorang lelaki. Seorang wanita bertubuh gempal dengan celemek belepotan pun datang.

"Cattleya! Jangan kau menodongkan pisau pada orang tak dikenal! Kembali ke dapur!"

Itulah pertemuan pertama dengan gadis aneh itu. Ialah Cattleya kecil yang seperti lelaki di balik penampilan manisnya. Cukup manis untuk ukuran anak pelayan dapur istana. Pipinya bersemu kemerahan dengan percikan bintik menghiasi waja. Senyumannya selebar gerbang istana. Rambut panjangnya sering ia tutupi dengan topi pelayan.

Ia tidak semahir para pelayan lain. Tidak heran ia dipindahkan begitu saja ke dapur istana bersama sang ibunda. Ia sangat mahir memainkan pisau dapur. Tidak heran jika.

Tek! Tek! Tek!

Pisau-pisau itu nyaris mengenai pipiku.

"Hei! Ini kue yang akan dikirim pada utusan kerajaan Galen! Apa kau tidak ingin Yang Mulia marah?!"

"Kupikir kau datang untuk mengerjaiku lagi," balasnya.

Tahun demi tahun berlalu. Rasanya gadis koki itu semakin besar. Ada yang aneh dari diriku. Tiba-tiba saja aku meminta salah seorang kusir istana mengirimkan sepucuk surat padanya. Ia pun membalas.

Dasar bodoh! Merayu seorang gadis pun tak bisa. Lelaki macam apa kau ini?

Dan di balik surat itu ia menjawab.

Temui aku di tepi danau malam ini. Hanya kau sendiri. Awas jika kau meminta bantuan kusir lagi.

Apa jangan-jangan ia akan menjadikanku sasaran lempar pisau? Rupanya tidak. Wajahnya kali ini semerah tomat segar yang kuantar ke dapur istana.

"Apa kau yakin jika kau benar-benar menyukaiku?

Apa kau tahu aku ini tidak secantik dayang istana lain? Apa yang menarik dariku hingga kau bisa menulis hal seperti itu?"

"Aku tidak tahu. Aku suka sosok gadis yang sederhana dan jujur. Aku suka gadis yang apa adanya sepertimu."

Seketika lidahku lancar mengutarakan isi hatiku padanya. Meskipun harus dilempari sayur mayur atau pisau setiap jam makan siang. Meskipun aku harus menjinakkan dia agar tidak bertingkah seenaknya. Meskipun aku harus mengejarnya ketika ia berlari ke hutan seorang diri. Meskipun aku harus mempermalukan diriku dengan surat yang aku sendiri tidak yakin dikirimkan pada seorang gadis.

"Kaulah satu-satunya lelaki di istana yang jauh lebih memahamiku dibandingkan siapapun, Ritter. Aku tahu, kau selalu mengamatiku dari celah dapur setiap selesai bekerja. Aku tahu, kau  menaruh karangan bunga itu di depan pintu kamarku. Aku tahu, kau berusaha meyakinkan Putra Mahkota jika aku itu tidak bersalah. Aku tahu, kau selalu mengawasiku di saat aku ... aku tak yakin.

Kenapa semakin lama rasa ini semakin aneh dan tidak masuk akal? Kenapa aku bisa jatuh cinta pada kurir bodoh seperti dirimu?"

Aku begitu bodoh ketika menulis surat untuk melamarnya tanpa berpikir matang. Kedua orang tuaku sudah membuangku. Kedua orang tua angkat elf yang mengasuhku selama ini tinggal jauh dari desa. Ketika musim dingin tiba, kusempatkan diriku mengunjungi mereka. Mereka tidak tahu jika aku sudah menikah di desa.

"Apa kau yakin dengan menikahi seorang manusia?" tanya ibu angkatku.

"Apakah salah jika aku menikahinya? Bukankah banyak darah campuran yang hidup di desa?"

"Bukan begitu, Ritter. Secara naluriah, kau itu adalah musuh alami para manusia. Bagaimana bisa mereka menerima pernikahan ini? Apakah istrimu dan keluargamu tahu akan hal ini? Apa kau tidak berpikir apa jadinya jika mereka tahu siapa kau?" tanya ayah angkat.

Aku terdiam. Apakah keputusanku salah untuk menikahinya? Terlebih ketika dua bulan kemudian, ia sedang mengandung anakku. Semua perasaan itu bercampur aduk di kepalaku. Kedua orang tua angkatku telah memberi peringatan namun kuabaikan.

Akhir-akhir ini aku tak bisa mengendalikan diri di saat malam menjelang. Aku tak bisa meninggalkan istana sendiri, terlebih saat ia tengah mengandung. Bagaimana jika centaur atau mereka menyerang istana? Bagaimana jika suatu saat nanti aku ... aku yang mengakhiri hidup keduanya? Aku tak ingin hidup seperti ini.

Semua seakan seperti hujaman tombak di dada. Ketika mengetahui jika orang yang sangat kucintai suatu saat nanti akan membunuhku dengan kedua tangannya.

Hidup Cattleya berubah dalam semalam. Ketika kepala pendeta memutuskan untuk memilih seorang dayang istana menjadi seorang kepala pendeta berdasarkan pergerakan bintang, hal itu sangat mengejutkan. Bahkan para biarawati yang akan menjadi calon pendeta pun terperanjat. Termasuk aku.

Apakah ia masih tetap mencintaiku seperti saat ia masih menjadi seorang dayang istana?

Ia bahkan pergi meninggalkan istana dalam kondisi mengandung, suatu hal yang tabu untuk seorang pendeta. Beruntunglah Cattleya bertubuh kurus dan tertutupi oleh gaun pendeta yang longgar. Kami tidak bisa bertemu sesering dulu. Aku sibuk dengan tugas-tugas istana sementara dia sibuk akan rutinitasnya sebagai pendeta. Aku begitu khawatir dengan anakku. Apakah ia bisa bertahan hingga hari itu tiba?

Di sela-sela kesibukannya, Cattleya masih sering mengunjungi istana. Menemui kedua orang tuanya dan diriku. Suatu hari ibu mertuaku bertanya saat aku tidak bertugas.

"Ritter, apa kau yakin akan terus seperti ini? Bagaimana jika suatu saat nanti kuil tahu? Ibu khawatir dengan kalian berdua."

"Aku tak tahu, Bu. Aku dan Cattleya semakin jarang bertemu. Terakhir kali aku bertemu dengannya, ia bilang tidak apa-apa."

"Ritter, bawakan ini," Ibu Mertua memberikanku sebuah bingkisan dalam keranjang. "Berikan ini padanya. Ibu takut hal buruk terjadi padanya dan anakmu."

Pertama kali kakiku menginjak wilayah kuil sebagai seorang kurir. Cattleya kukenal benar-benar berbeda. Ia begitu anggun dan kuat ketika berada di sana. Berbeda dengan dirinya yang usil dan seenaknya di istana dengan pisau dapur dan sayur mayur tersedia setiap saat. Ia sunggingkan senyuman tipis di hadapanku. Persis ketika aku bertemu dengan Permaisuri ketika menghadap Sang Raja. Ia kemudian berbisik pelan.

"Temui aku di tepi danau malam ini."

Malam. Aku sangat membenci malam. Ia kemudian berbicara denganku di bawah naungan pohon poplar di tepi danau. Dengan kepala bersandar pada bahuku.

"Ritter. Aku lelah. Aku lelah jika harus seperti ini. Aku rindu masa-masa di istana dulu."

"Kau adalah seorang pendeta. Tidak baik lari dari kewajibanmu."

"Aku lelah. Bisakah aku bersandar di bahumu sebentar saja. Aku rindu saat itu. Ingatkah kau di sini kau benar-benar melamarku? Apa kau tahu suasana hari itu begitu syahdu?"

Kuberanikan diri untuk jujur di hadapannya. Perasaan itu semakin bercampur aduk. Apakah ia akan tetap mencintaiku apa adanya?

"Cattleya," ia menoleh. Dengan wajah yang sama seperti pertama kali bertemu.

"Menurutmu bagaimana. Jika aku adalah salah seorang di antara mereka, apa kau masih mencintaiku?"

"Dasar bodoh! Mana mungkin ada monster yang sengaja mengakui jati dirinya di hadapan seorang pendeta? Jika ada ia jauh lebih bodoh darimu."

Pantulan rembulan begitu indah ketika menatap dari danau. Pantulannya terlihat seperti butiran-butiran kristal berpadu menjadi satu dengan bintang-bintang selagi mewarnai pekatnya biru malam. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Ia tertidur di bahuku begitu pulas dengan wajah polosnya. Sesekali ia tersenyum dalam tidur.

Andai saja aku bisa memilih. Aku lebih memilih hidup sebagai manusia dibandingkan seperti ini. Cattleya, maafkan aku. Aku memang bodoh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro