Bab 12a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Verona sibuk, membuatnya jarang datang ke kedai. Kehadirannya diganti oleh Brian yang justru sering mampir. Kadang saat makan siang, di lain waktu saat kedai sudah tutup. Secara perlahan, laki-laki itu seakan ingin menunjukkan itikad baik untuk bertanggung jawab.

“Aku sekarang tinggal di apartemen tapi kalau kamu mau tinggal bersamaku, kita bisa beli rumah.”

Suatu hari, Brian mengatakan itu saat mereka sedang duduk berdua setelah menutup kedai. Anyeli tidak langsung menanggapi. Ia masih tidak yakin dengan arah hubungannya bersama laki-laki yang menjadi ayah biologis anaknya. Dari awal ia punya prinsip, tidak ingin membuat orang lain menderita hanya karena dirinya. Soal kehamilannya, itu bukan perbuatan yang disengaja oleh Brian. Tidak adil kalau laki-laki itu terjebak dalam permasalahan ini, meski sebagai bentuk tanggung jawab, Brian menginginkan dilibatkan. 

“Anye, kenapa diam? Nggak suka dengan saranku?”

Anyelir berdiri, menghadap laki-laki yang duduk di kursi. Mengamati wajah tampan dengan helai rambut jatuh di dahi. Tangannya gatal ingin merapikan helain itu, dan juga perasaan ingin membeli dagu yang ditumbuhi bulu halus. Berbeda dengan Danial yang wajahnya bersih dan tampan, Brian cenderung lebih casual. Membiarkan janggung atau jambang tumbuh bukan masalah untuknya.

“Bagaimana Vania?”

Perkataannya membuat Brian kaget. “Maksudnya?”

“Jangan pura-pura bodoh, Kak. Aku tahu kalian makin dekat. Setiap hari berita di TV tentang kalian. Soal betapa serasinya kalian berdua, tentang Vania yang begitu menggebu-gebu saat bercerita kedekatan kalian. Lalu, kamu duduk di sini dengan tenang dan mengajakku tinggal bersama? Sebagai apa? Gundikmu?”

“Anye, kasar sekali itu.”

“Memang begitu kenyataannya.”

Brian meraih tangan Anyelir, mendekatkan tubuh wanita itu ke tubuhnya dan mendekap erat. Merasakan kelembutan di sekelilinya. Pinggang Anyelir yang kecil, sama sekali tidak menunjukkan kalau wanita itu sedang hamil. Mungkin akan terlihat dalam dua bulan ke depan.

Ia meletakkan kepala di perut Anyelir, mencoba menyelami kenyataan kalau ada satu kehidupan kecil di sana. Anaknya, darah dagingnya, dan ia mengutuk dirinya yang selama ini berada dalam kebimbangan.

“Aku akan bicara dengan orang tuaku, tentang kita.”

Anyelir mengerjap lalu tersenyum kecil. “Jangan membuat masalah, Kak. Kamu pasti nggak mau mereka kaget lalu sakit’kan?”

“Mereka pasti kaget tapi aku yakin mereka kuat.”

“Bagaimana dengan Vania? Setahuku, orang tuamu setuju kamu menikahinya?”

Brian tidak menjawab, perihal Vania memang membuatnya bingung. Wanita yang sekarang pindah ke sebelah rumahnya memang baik dan cantik. Vania adalah sosok ideal untuk dijadikan pasangan hidup, ia pun mengakui itu. Hanya saja, hatinya justru di ujung bimbang. Antara Vania dan Anyelir.

“Bolehkah aku jujur?” Ia berkata dengan wajah masih berada di perut Anyelir.

“Ya?” Anyelir yang tidak tahan menyentuh, akhirnya meletakkan tangan di rambut Brian dan membelai perlahan. Merasakan tusukan halus di sela jari jemarinya.

“Aku tidak bisa memilih sekarang, antara kamu dan Vania. Aku juga tidak ingin memiliki kalian berdua, sangat egois rasanya dan aku bukan tipe laki-laki seperti itu. Dulu, kamu milik Danial. Aku terbiasa melihatmu berdua dengannya. Aku selalu beranggapan kamu adalah istri Danial. Sampai kehadiran bayi ini mengubah segalanya.” Tanpa diduga, Brian mengecup perut Anyelir dan membelai lembut. “Aku tidak menyesali, ada anak ini tumbuh. Aku juga berharap bisa melihatnya, sebagai seorang Papa tentu saja. Jadi, bisakah kamu memberiku waktu untuk memantapkan pilihanku?”

“Maaf, aku bukan pilihan,” jawab Anyelir getir. “Bukan hanya kamu yang ingin memilih, aku pun sama.”

“Nggak, kamu jangan salah paham. Memang tidak ada yang mau memilih antara kamu dan Vania. Aku hanya ingin memantapkan hati. Anggap saja aku pengecut, tapi melepaskan bayang-bayang Danial dari hubungan kita, itu lumayan sulit.”

Brian mendongak, bertatapan dengan mata sendu Anyelir. Ia menarik wanita itu hingga terjatuh di pangkuannya dan tangannya membelai pipi Anyelir.
“Kamu terlihat cantik dan rapuh, tapi justru sangat keras kepala. Kamu terlihat lemah tapi berpendirian kuat. Aku suka itu.”

Anyelir tersenyum kecil, merasa kalau ungkapan Brian tentangnya tidak sepenuhnya benar. Karena, setelah percintaan mereka di apartemen itu, hatinya goyah. Setelah ada bayi tumbuh di perutnya, ia tidak lagi keras kepala. Ia selalu mengingat cumbuan dan belaian Brian, dan secara perlahan sosok Danial memudar dari dalam hatinya.

“Aku tidak ingin menjadi pilihan, aku punya jalanku sendiri. Nikmati hidupmu, Kak. Kalau memang mantap dengan Vania, kamu dilarang datang kemari.”

Brian terbelalak. “Kenapa bisa begitu, Anye. Ada anakku.”

Anyelir tersenyum. “Kalau begitu, kita lihat saja nanti.”

Mendesah resah, Brian mendekatkan wajahnya pada wajah Anyelir. Berbagia kehangatan melalui napas mereka. Tidak tahan untuk tidak mengecup, ia mendaratkan ciuman di bibir Anyelir.

“Aku masih ingat malam itu,” ucap Brian serak. “Jujur saja nggak bisa lupa.”

Anyelir tidak menjawab, ia pun merasakan hal yang sama dengan laki-laki yang sekarang mengecup bibirnya. Ia tidak pernah lupa cumbuan mereka, dan bagaimana panas keduanya melebur jadi satu. Jika saja di antara mereka tidak banyak orang sebagai penghalang, bisa jadi ia akan menerima Brian tanpa syarat.

Saat bibir Brian menggigit bagian bawah bibirnya, ia membuka mulut. Sebuah lumatan panas menyerbunya. Bibir Brian bergerak leluasa di mulutnya dan membuatnya tanpa sadar mendesah. Ke mana perginya harga diri sebagai wanita? Saat Brian mendesakkan lidahnya untuk membelai bagian dalam mulutnya, ia merasa tergugah. Ke mana perginya keangkuhan? Saat tangan Brian meremas lembut dadanya, ia melenguh.
Anyelir terkesiap saat Brian mengangkatnya ke atas meja. Laki-laki itu membuka kakinya dan memosisikan di tengah tubuhnya. Tanpa kata, melumat bibir dengan tangan bergerilya di tubuhnya. Ia terlena, dengan kecupan Brian di sepanjang lehernya dan turun terus hingga mencapai dada.

Bertelekan dengan siku, Anyelir membiarkan resleting gaunnya diturunkan dan ia mendesah saat Brian mencium tulang selangka, lalu belahan dada. Tanpa kata membuka kaitan Bra dan menunjukkan dadanya yang membusung tegang.

“Kamu indah,” bisik Brian parau dan menurunkan mulutnya untuk mengulum puting Anyelir dan membuatnya tersengal. Sementara jemari laki-laki itu kini bergerak ke area intimnya. Anyelir ingin menolak tapi tubuhnya mendamba. Ia mengutuk diri sendiri saat membuka diri dengan sentuhan Brian. Ia memaki diri sendiri, saat mendesah penuh gairah dengan Brian mencumbunya.

Brian meraih tangannya dan memasukkan ke dalam celana panjang laki-laki itu yang sudah dilonggarkan. Anyelir terkesiap, saat tangannya menyentuh lembut kelelakian Brian yang menegang. Sementara tangan Brian berada di area intimnya.

Tanpa kata, keduanya saling menyentuh dengan bibir bertautan. Napas tersengal, gairah membumbung tinggi di udara dan membuat Anyelir terlena. Tidak lebih dari sentuhan, keduanya membiarkan hasrat memabukkan hingga di ujung kepala dengan tubuh bersimbah keringat. Anyelir merasa dirinya kotor, tidak ada harga diri karena terjatuh pada gairah. Sementara ia mengutuk diri tiada henti, jauh dalam hati ia mengerti, ada rasa untuk Brian yang tidak bisa ia tepis pergi.

**

“Apa kabar Bu Mil?” Verona muncul, dengan wajah semringah dan tawa menggelegar. Seminggu tidak ada kabar, mendadak datang dan mengagetkan Anyelir.

“Wah, dari mana saja kamu?” tanya Anyelir heran.

“Sibuk, banyak keluarga datang dan salah satunya ini.”

Verona meraih lengan seorang pemuda berkulit putih dengan mata bulat dan rambut keriting. Pemuda itu tingginya beda dikit dengan Verona. Bertubuh kurus dan tersenyum sopan ke arahnya.

“Sepupuku dari Lombok, namanya Ares. Aku sengaja mengajaknya kemari biar dia melihat bagaimana mengelola kedai. Oh, Ares punya restoran di Lombok. Warisan dari orang tuanya.”

Anyelir tersenyum, mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Ares. “Hai, Ares. Apa kabar?”

Ares mengangguk dan menjabat tangan Anyelir dengan sopan. “Apa kabar Kakak.”

Anyelir tergelak. “Umur kita pasti nggak beda jauh. Jangan panggil aku kakak, panggil nama saja.”

“Ih, Ares memang menggemaskan. Oh ya, bisakah kamu memasak menu andalanmu? Biar Ares mencobanya?” tanya Verona.

Anyelir mengangguk tanpa ragu. “Tentu saja. Kalian duduk dan tunggu. Aku ada minuman baru juga, es timun selasih.”

Anyelir bergegas ke belakang, sementara Verona membawa Ares duduk di sudut. Tak lama, dua buah minuman dalam gelas tinggi diantarakan, lalu menyusul Anyelir membawa dua buah piring berisi pasta.

“Silakan dicicipi.”

Verona makan tanpa ragu. Ares terlihat ragu-ragu sejenak, menatap pasta di piringnya, menciup aroma bawang putih yang khas dan mulai mencoba. Pemuda itu tidak dapat menahan cengirannya saat ujung lidahnya merasakan gurih pasta yang unik.

“Gimana? Enak’kan?” tanya Verona.

Ares mengangguk tanpa kata. “Sangat enak,” pujinya tulus,

“Nah, kamu’kan masih agak lama di sini. Kalau mau cari kesibukan, bisa bantu Anyelir di kedai.”

Anyelir menggeleng. “Jangan begitu, Verona. Biarkan dia menikmati hidup di kota.”

“Dih, orang dia yang mau kerja. Pegel katanya kalau sehari nggak masak, dan memasak di rumahku aja nggak cukup untuknya. Jadi, biarkan dia magang di sini.”

“Baik, aku mau. Besok aku datang untuk memasak!” Ares menyela keras.

Anyelir menatap tak berdaya pada pemuda di depannya. Ia sungguh tak enak hati karena dibantu dan terus terang tidak ada uang untuk menggaji lebih. Namun, Verona meyakinkannya kalau Ares tidak mengharapkan gaji.

“Dia hanya ingin belajar memasak pasta. Anggap saja, dia magang tanpa digaji. Yang penting kasih dia makan. Jangan sampai kelaparan."

“Mana bisa begitu?” tukas Anyelir tidak enak hati.

“Bisa, Ares kerja untuk belajar, bukan untuk gaji.”

Akhirnya, kesepakatan dicapai, Ares akan magang selama tiga minggu ke depan, hingga waktunya pulang tiba. Selama itu pula, tidak ada gaji kecuali ongkos kendaraan pulang pergi dan makan sehari tiga kali. Anyelir pun senang ada pegawai baru yang diharap menambah semarak menu. Karena ia tahu, Ares juga seorang koki yang andal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro