Bab 16a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haniah menatap anak laki-lakinya dengan kuatir. Dua hari ini Danial sakit. Tidak nafsu makan dan sepertinya tertekan. Ia menduga, ada hubungannya dengan pekerjaan atau mungkin Anyelir.

Danial yang biasanya lebih suka berada di apartemen, kali ini tidak. Mendiami kamar masa kecilnya, Danial menolak untuk bicara dan mengurung diri. Tidak peduli, ia mencoba mengajak bicara, Danial tidak menyahut.

Devira yang melihat mamanya kuatir, mencoba menghibur dengan mengatakan bisa jadi Danial sedang ingin sendiri.

“Ma, setahuku perusahaan Kakak sedang ada masalah. Ia butuh tenangkan diri, jangan terlalu kuatir.”

“Semoga saja, karena tidak biasanya kakakmu seperti ini. Dulu-dulu, dia biasa ngobrol dan curhat sama mama kalau ada masalah.” Haniah menghela napas dan menatap sedih ke arah pintu kamar Danial yang tertutup.

“Beri dia waktu, Ma. Nanti kalau sudah membaik pasti mau bilang.”

Haniah mengalihkan pandangan ke arah anak perempuannya.  “Memangnya Danial ada mengatakan sesuatu padamu? Tentang perusahaannya?”

Devira mengangguk. “Iya, Minggu lalu saat kami makan siang bersama. Dia curhat lumayan banyak dan kuatir kalau posisinya akan tergeser.”

“Ternyata seserius itu. Kenapa dia sama sekali nggak bilang apa-apa sama mama?”

“Karena nggak mau bikin Mama kuatir. Dan, juga--,”
Devira tidak melanjutkan ucapannya. Ia menimbang-nimbang apakah mamanya harus diberitahu semuanya atau tidak. Ia ingat pesan Danial untuk tidak banyak membuat mama mereka kuatir, karena kondisi kesehatannya yang menurun. Namun, ia melihat sang mama bersedih, ia ikut merasa bersalah.

“Kenapa diam? Ayo, lanjutkan omonganmu. Dan juga apa?” desak Haniah pada anak perempuannya.

Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Devira memutuskan untuk berterus terang. “Kakak kangen sama Anyelir. Dia ingin menjalin hubungan kembali tapi selalu ditolak. Tidak peduli bagaimana pun dia berusaha, Anyelir sudah menutup pintu hatinya.”

Haniah memejam, merasakan perih untuk anak sulungnya. Ia sudah menduga kalau Danial tidak bisa melupakan Anyelir. Ia pun sudah berusaha, membujuk Anyelir agar menerima cinta Danial kembali tapi wanita itu menolak.

Terkadang ia tak habis pikir, bagaimana seorang wanita selembut Anyelir bisa punya pendapat yang tak tergoyahkan tentang sebuah hubungan. Anyelir yang sekarang, jauh berbeda dengan wanita yang ia kenal dulu.

Kelebatan masa lalu tergambar di otaknya. Tentang masa muda Anyelir yang begitu periang dan baik hati. Anyelir yang mengejar cinta Danial dengan gigih. Pantang mundur meski sempat ditolak karena Danial pacaran dengan gadis lain. Hingga akhirnya, anak laki-lakinya berubah pikiran dan bersedia menerima cinta Anyelir. Rasa bahagia mereka saat itu bahkan menular hingga ke semua orang.

“Kalau nanti kami sudah menikah, aku ingin berbulan madu ke Sumba.” Anyelir berucap riang, saat membaca majalah yang menampilkan gaun-gaun pengantin dan kebaya.

“Kenapa Sumba? Kenapa bukan Bali?” tanya Haniah.

“Bali sudah biasa, Ma. Terlalu rame. Kalau Sumba, ada banyak tempat terpencil yang bisa dikunjungi.”

Kini, rencana tinggal rencana. Sikap Danial yang tak kunjung memberikan kepastian dalam menikah, akhirnya membuat Anyelir hilang sabar dan memutuskan hubungan. Haniah tidak tahu, ia harus marah dengan siapa. Pada anaknya yang lamban mengambil keputusan atau pada Anyelir yang terlalu teguh dengan hatinya.

Haniah dan Devira serentak mendongak, saat pintu kamar Danial membuka.

“Ma, aku ingin bicara.” Muncul dengan wajah pucat dan rambut acak-acakan, suara Danial terdengar parau.

“Di sini saja, Kak. Biar aku ikut dengar!” Devira berucap antusias.

Danial menatap adiknya dan menggeleng. “Nggak, ini rahasia.”

Ia melangkah ke arah kamar sang mama dan Haniah bangkit dari kursi, mengikuti langkah anaknya. Saat Devira juga beranjak, Haniah memberi tanda padanya.

“Jangan ikut!”

Berdecak tidak puas, Devira memasang wajah mencebik dan hanya bisa menatap kamar mamanya yang menutup. Ia menduga-duga apa yang dibicarakan antara mamanya dan Danial.

Di dalam kamar, Danial menatap jendela yang tertutup. Penerangan kamar mengandalkan lampu yang menyala terang. Memijat pelipis, Danial sadar sekarang saatnya bicara dengan sang mama. Ia tahu, mamanya kuatir melihat keadaanya yang murung. Tidak peduli, seberapa rapat ia berusaha menutup masalahnya, tetap saja orang tuanya akan tahu. Dari pada membiarkan mamanya menduga-duga, lebih baik kalau ia mengatakan yang sejujurnya.

“Ada apa, Danial? Apa kemurunganmu karena pekerjaan di kantor?”

Danial membalikkan tubuh, menatap mamanya sendu dan mengangguk. “Iya, Ma. Memang urusan kantor.”

“Seserius itu?” tanya Haniah kuatir.

“Memang, tapi ada satu masalah lagi yang lebih serius.”

“Tentang apa?”

“Anyelir.”

“Ada apa sama dia?”

Menghela napas panjang, Danial duduk di pinggir ranjang dan meminta mamanya duduk juga. Memilih kata-kata yang tepat, ia mulai bercerita. Hingga satu jam kemudian, ia bicara tanpa disela, dan akhirnya terhenti saat Haniah mengeluh sakit kepala dan ingin berbaring.

Danial meratap sedih, melihat keadaan mamanya yang shock. Ia mengutuk Brian, memaki Anyelir dalam hati dan menganggap karena mereka berdua, mamanya  seperti sekarang.

**

Pukul tujuh pagi, kedai masih belum buka. Brian sengaja datang pagi-pagi untuk menemui Anyelir, setelah beberapa hari tidak bisa bertemu karena terkendala pekerjaan. Ia mengelus pipi Anyelir yang lembut berulang kali menggunakan punggung jari.

“Bagaimana keadaanmu? Danial datang lagi?”

Anyelir menggeleng, menggenggam satu tangan Brian. “Nggak, aku juga takut dia akan datang begitu kamu bicara sama dia. Ternyata, tidak. Entah aku merasa lega atau kuatir.”

Brian mengangguk, memahami perasaan Anyelir. Perasaanya pun sama, sedang bertanya-tanya apa yang dipikirkan oleh Danial dan apa yang akan dilakukan sahabatnya nanti.

“Anye, mulai hari ini hubungan kita akan banyak masalah. Jalan ke depan tidak akan mudah. Selain Danial, kini orang tuaku juga sudah tahu tentang kehamilanmu. Mereka juga shock dan banyak pertanyaan, tapi aku yakin mereka akan bisa bersikap bijaksana.”

“Bagaimana kalau mereka marah dan menyalahkanku?” tanya Anyelir kuatir. Ia belum pernah bertemua orang tua Brian. Tidak ada bayangan sama sekali tentang bagaimana sikap mereka padanya.

Brian mendekat dan mengecup bibir Anyelir. “Kalau merekan ingin menyalahkan kamu, berarti harus menyalahkan aku juga. Karena bayi dalam kandunganmu adalah darah dagingku.”

Anyelir tersenyum senang mendengar ucapan Brian yang ia anggap sangat manis. Duduk berdua, bersama laki-laki itu dan membicarakan pernikahan, ia merasa seperti pasangan normal pada umumnya. Yang membedakan hanya satu. Sampai sekarang ia masih punya anggapan kalau Brian bisa menerima kehadirannya karena terpaksa. Jika bukan karena bayi dalam kandungannya, belum tentu mereka bersama.

“Bayi ini pasti senang, punya papa yang menyayanginya.” Anyelir mengelus perutnya yang membuncit.

“Tentu saja, aku akan membuatnya menjadi salah satu bayi paling bahagia di dunia.”

Kali ini, perkataan Brian membuat Anyelir tertawa bahagia. Brian menatapnya tak berkedip, lalu berucap pelan.

“Anye, kalau kita bisa melewati semua ini. Maukah kamu menikah denganku?”

Anyelir terdiam., menelengkan kepala. Ia mengusap-usap wajah Brian dengan perasaan sayang yang menguar dari dalam hati.

“Kamu mau menikah denganku?”

Brian mengangguk dan menjawab tegas. “Iya, mau.”

“Karena apa? Bayi ini?”

“Awalnya mungkin begitu, tapi sekarang berbeda. Aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu. Menjalani hari-hari kita dan mengasuh anak-anak kita nanti. Bisa jadi, kita punya anak lima atau enam nanti.”

“Bagaimana kalau orang tuamu tidak setuju?"

“Kita berdua akan berusaha melunakkan mereka. Tunggu waktu longgar, aku akan membawamu menemui mereka. Kamu mau?”

Anyelir tersenyum dan mengangguk. Ia sudah membuat keputusan untuk bersama Brian kelak. Jadi, mulai sekarang ia harus mempersiapkan diri menghadapi apa pun nanti yang akan terjadi. Ia tahu jalan mereka tidak akan mudah. Selain Danial, ada banyak hal yang mengganjal. Namun, kalau mereka berdua bersama, ia yakin bisa mengatasinya. Kalau Brian punya keyakinan begitu, ia pun harus sama. Menyimpan  dan harapan, semoga langkah mereka untuk bersama, bisa menjadi kenyataan.

Satu per satu pegawai kedai datang, termasuk Ares. Brian pamit ke kantor setelah sebelumnya meminta Anyelir melonggarkan waktu. Malam minggu, Brian ingin menonton film dan kencan berdua. Anyelir mengiyakan tanpa ragu.

Sepeninggal Brian, Anyelir memulai kesibukan dengan berbelanja ke pasar. Ia memilih cumi-cumi, ikan, daging, dan sayuran yang segar. Setelah memastikan kalau semua daftar bahan makanan yang diminta Ares terpenuhi, ia bergegas pulang menggunakan ojek online.

Ia tertegun di pintu masuk saat melihat sosok Haniah menunggunya di dekat meja kasir. Seketika, perasaan tidak enak merasuki hatinya.

Mengembuskan napas panjang untuk melonggarkan paru-paru, ia menyerahkan kantong belanjaan pada Ares dan melangkah pelan mendekati Haniah.

“Ma, apa kabar? Tumben datang?”

Haniah mengedip, menatap Anyelir tajam. “Aku mau bicara!”

Anyelir tersenyum manis. “Kita ke teras belakang, Ma. Di sini rame.”

Haniah mengangguk, melangkah ke teras belakang mendahului Anyelir.

“Mau minum apa, Ma?” Anyelir mencoba bersikap ramah, meski ia tahu kalau Haniah sedang marah. Dilihat dari cara wanita itu memandangnya, ia tahu ada sesuatu yang terjadi dengan Haniah. Ia pun sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan mereka berdua.

“Nggak usah. Aku datang kemari bukan untuk minum!” jawan Haniah ketus.

Tiba di teras, keduanya berdiri berdampingan dalam diam. Haniah menatap tanaman-tanaman dalam pot. Ada satu rumpun bunga yang menarik perhatiannya.

“Kamu menanam bunga anyelir putih?”

Anyelir mengangguk. “Iya, Ma. Cantik bukan?”

“Kenapa memilih warna itu?”

“Entahlah, bagus saja warnanya.”

Haniah menatap Anyelir tak berkedip. “Tahu filosofi anyelir putih?”

“Iya, melambangkan cinta, ketulusan, dan juga--,”

“Kesetiaan! Lalu, apa menurutmu kamu pantas menyandang nama dari bunga seindah itu?”

“Maa ….”

“Wanita murahan!” Tanpa diduga Haniah melayangkan pukulan dan mendarat di pipi Anyelir dan membuat wanita itu menunduk kesakitan. “Apa pantas kamu melambangkan kesetiaan setelah apa yang kamu lakukan. Hah! Dasar murahan! Terlalu tinggi aku memandangmu selama ini, Anyelir!”

Anyelir memegang pipinya yang perih, menahan air mata yang hendak jatuh. Ia mencoba tetap tegak, meski sekarang perutnya bergolak dan rasa mual menyergapnya.  Pukulan Haniah yang tidak terduga, bukan hanya melukai pipinya tapi juga harga dirinya.

“Ayo, jawab aku! Apa kamu layak disebut anyelir putih lambang kesetiaan?”

Pada akhirnya, jebol juga pertahanan Anyelir. Meski ia coba untuk tidak menangis tapi berhadapan dengan Haniah yang marah, membuat rasa bersalahnya menyeruak. Ia bisa saja tegar menghadapi orang lain, bahkan Danial sekalipun. Tapi, ia tidak pernah tega menyakiti hati Haniah, wanita yang selama ini sudah ia anggap ibu sendiri.
Mengusap air mata di ujung pelupuk, dan mengabaikan perih di pipi, Anyelir berucap parau. “Maaf, Ma.”

Pada akhirnya, kata maaf menjadi tidak berarti saat berhadapan dengan seorang ibu yang sedang terluka. Anyelir menyadari itu dan berdiri pasrah, siap menerima muntahan caci maki dari mulut Haniah.

Ia merasa, layak mendapatkan kemurkaan Haniah dan menganggap dirinya bersalah.

**
Bab ini bikin saya sedih pas nulisnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro