Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sepulang dari dokter, Anyelir tidak dapat menahan perasaan kalutnya. Bagiamana ia bisa tenang saat sedang mengandung anak dari laki-laki yang bukan pasangannya. Kehamilan ini ibarat bencana baginya. Tadinya, ia berharap bisa menjadi pasangan Danial untuk selamanya. Kini, kehadiran sang bayi dan juga Brian, memperkeruh keadaan.

“Kapan kamu berencana mengatakan semua pada Danial?” tanya Verona padanya.

Anyelir menggeleng. “Aku belum tahu.”

“Setidaknya, Brian harus tahu lebih dulu. Anakmu itu anaknya.”

“Iya, yaaa. Sekarang aku belum bisa mikir apa pun. Tolonglah, Verona.” Membaringkan tubuh ke atas ranjang dan menutup mata dengan lengan kanan, Anyelir menahan tangis. Sementara tangan kirinya mengelus perut yang masih rata. Ada kehidupan baru di sana, dan ia sama sekali tidak tahu harus bersikap bagaimana. Terjebak dalam situasi yang di luar kendalinya.

Menatap sahabatnya dengan prihatin, Verona meraba dahi Anyelir. “Aku buatkan teh hangat. Kamu istirahat dulu.”

Anyelir tidak menjawab perkataan sahabatnya. Ia tetap berbaring dengan pikiran tak menentu, sampai Verona datang kembali dengan segelas teh hangat.

“Minum ini, jangan lupa vitamin yang dikasih dokter.”

Dengan kepala yang terasa berat, Anyelir memejam. Berharap tidur dapat menghapus kegalauannya. Ia butuh menenangkan diri saat ini karena esok hari entah apa yang akan terjadi. Namun, harapan tinggal harapan. Sulit baginya untuk memejamkan mata. Pikirannya penuh dan mengembara ke mana-mana. Ia hanya mengangguk tak bersemangat saat para pegawai kedainya berpamitan pulang.

Sendiri di rumah kecilnya, Anyeli berharap ia tidak menangis. Namun apa daya, air mata tidak dapat dibendung. Ia tidak tahu bagaimana kelak mengatasi Danial dan keluarganya. Mereka tentu akan kecewa, marah, dan mencacinya. Tergugu di samping ranjang, pikirannya justru tertuju pada Brian.
**
Pukul sepuluh malam, Danial yang baru pulang dari kantor mendapati sang mama duduk menunggunya di sofa ruang tamu. Ia melepas kaos kaki dan duduk mengenyakkan diri tak jauh dari sang mama. Mengendurkan dasi dan menyapa pelan.

“Ada apa, Ma? Tumben minta aku pulang.”

Haniah menatap anaknya, lalu menyarkan tubuh ke sofa.

“Setiap hari kamu pulang malam, kapan istirahatnya? Bahkan Sabtu dan Minggu juga kamu lembur.”

Danie tersenyum, meraih tangan mamanya dan mengecupnya. “Demi masa depan, Ma. Kerja keras selagi muda.”

“Itu bagus, Danial. Tapi, kamu lupa kalau calon pendamping masa depanmu belum tentu mau menunggumu. Mau sampai kapan Anyelir digantung seperti itu?”

“Digantung bagaimana, Ma? Suatu saat aku akan menikahninya.”

“Kapan, Danial? Pertunangan kalian nyaris berjalan tiga tahun. Sebagai wanita, Anyelir aku lihat cukup sabar. Ia juga penurut dan baik sama keluarga kita. Di mana lagi kamu akan mendapatkan wanita sebaik dia?”

Mendesah dengan tangan mengendurkan dasi, Danial melirik sang mama. Ada semacam ketegasan yang terlihat dari wanita yang telah melahirkannya itu.  Kalau yang bertanya soal pernikahan adalah Anyelr, ia masih bisa berkelit. Tapi, kalau sang mama yang bertanya, sulit baginya untuk menjawab.

“Ma, beri aku waktu.”

Haniah menatap anaknya tak berdaya. “Berapa lama, Danial? Berapa tahun lagi?”

“Entahlah, beberapa bulan mungkin.”

“Kalau tahun ini kalian tidak menikah, putus saja. Biarkan Anyelir mencari kebahagiaan yang lain. Mama curiga, kamu tidak mencintainya.”

“Ma, bukan begitu.”

“Apa kalau begitu, Danial? Mama tidak paham jalan pikiranmu.”

Menatap lurus pada pemandangan malam yang terlihat dari jendela yang terbuka, pikiran Danial kusut masai. Lagi-lagi ia merasa tertekan karena urusan pernikahan. Setelah Anyelir, kini sang mama yang mendesak. Ia merasa, dirinya lama-lama jadi gila karena didesak untuk menikah.

Ponsel di sakunya bergetar, ada nama Brian. Laki-laki itu mengabari jangan sampai lupa acara Minggu nanti. Mengetik cepat, ia menjawab oke dan mengingatkan diri sendiri untuk menelepon Anyelir.

“Ma, aku balik dulu ke apartemen,” pamit Danial.

“Kamu belum jawab pertanyaan mama, Danial.” Haniah berkata keras.

“Iya-iyaa, aku pikirkan nanti.”

Mengabaikan mamanya yang keheranan, Danial ke mobilnya. Ia ingin cepat sampai apartemen dan butuh istirahat serta menjauh dari tekanan setelah seharian bekerja.

**
Musik mengalun lembut dari penyanyi wanita yang diiringi gitar. Nada nada akustik yang mereka mainkan, membius pengunjung kafe. Semua meja hampir terisi penuh, termasuk di bagian depan teras.

Brian meneguk minumannya. Tidak peduli di mana pun, ia selalu memesan es teh manis. Sering kali kebiasaannya ini ,membuatnya menerima ejekan. Entah dari teman-teman atau keluarganya.

“Ini kafe langgananmu?”

Menoleh pada wanita di sampingnya, Brian mengangguk. “Iya, untuk makan. Karena dekat dengan kantor.”

“Oh, bukan karena enak?”

“Kalau nggak enak nggak langganan, dong.”

“Iya, juga.”

Keduanya berpandangan lalu tergelak. Wanita di sampingnya terlihat cantik dalam balutan minidress kuning. Rupanya, Vania cukup terkenal karena terbukti beberapa orang yang melihatnya ingin berfoto bersama.

“Berapa lama kamu menggeluti beauty blogger?”

“Eh, cukup lama. Hampir lima tahunan mungkin.”

“Wow, keren.”

“Masih kalah keren sama kamu, Brian. Dari dulu aku perhatikan kamu seorang yang pekerja keras. Setahuku, bisnis clothing ini sudah dimulai dari kamu kuliah,’kan?”

“Memang, aku desain sendiri, trus dibantu beberapa teman untuk sablon dan penjualan.”

“Lain kali, biar aku promokan di akunku.”

Brian menatap Vania dengan heran. “Hei, aku nggak mampu bayar.”

“Aish, kayak siapa aja.” Dengan manja, Vania mencolek bahu Brian.

Selalu menyenangkan untuknya bicara dengan Brian. Laki-laki muda dengan visi yang jelas. Dari dulu, ia memang sering mendengar rumor tentang Brian yang memang terkenal playboy dan bergonta-ganti pacar. Namun, setahunya tidak satu pun wanita yang pernah dia pacari merasa sakit hati atau menjelek-jelekan Brian. Mereka menghormati keputusan laki-laki itu meski tidak rela.

“Kita keluar bareng gini, aku yakin orang tua kita sudah merencanakan pernikahan.” Vania berucap sambil tersenyum.

“Hahaha. Biarkan saja, mereka orang tua yang berkhayal kalau kita bisa menjalin hubungan.”

Ucapan Brian membuat Vania mengernyit. “Memangnya, menurutmu nggak bisa? Kenapa?”

Brian mengangkat bahu, tidak memberi jawaban. Ia enggan menebak-nebak sesuatu yang belum jelas. Diakui, memang Vania wanita yang cantik, sexy, dan berkelas. Tipe wanita kesukaannya karena menurutnya tidak merepotkan. Namun, sekarang ini ia belum punya pikiran untuk bersama Vania. Dalam hatinya, mengendap satu nama dan sampai sekarang tidak mau pergi, Anyelir.

Tidak ingin memperpanjang masalah, Brian mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Akhirnya, mereka mengobrol tentang reuni yang akan datang hingga waktu pulang.

Benar dugaan Vania, begitu Brian sampai di apartemennya,  sang papa menelepon. Ia mendengarkan dalam diam sementara papanya bicara menggebu-gebu soal Vania dan kemungkinan mereka untuk bersama. Setelah sang papa puas bicara, ia menutup ponsel dengan hati gamang.
**
“Kenapa wajahmu pucat begitu?” tegur Danial pada Anyelir. Ia menjemput sang tunangan di kedainya, dan wanita itu keluar dalam balutan gaun putih dengan wajah yang terlihat pucat.

Anyelir tersenyum. “Mungkin karena kurang enak badan.”

“Masih sakit?”

“Sudah mendingan.”

“Bisa,’kan kamu pakai pemerah pipi? Biar nggak terlalu pucat. Nanti orang-orang kira, aku jalan dengan orang sakit.”

Tersenyum simpul, Anyelir mengangguk. Ia mengikuti Danial ke mobil dan duduk di sebelah laki-laki itu. Selagi mendengarkan Danial bercerita, ia merogoh pemulas pipi dari dalam tas dan memakainya. Sedkit lebih tebal dari biasanya, karena ingin menutupi wajahnya yang pucat.

Sebenarnya, saat ini ia merasa amat gugup. Bisa ditebak pasti nanti  bertemu dengan Brian. Ia masih belum siap mental untuk bertatap muka dengan laki-laki itu. Saat ini, pikirannya sedang kusut, antara memberitahu Brian yang sesungguhnya atau menyimpan rapat-rapat rahasianya sendiri. Namun, sampai kapan ia bisa? Sedangkan Danial pun harus diberitahu. Kandungannya, cepat atau lambat pasti membesar dan itu tidak mungkin disembunyikan.

“Kata Mama kamu jarang ke rumah. Ada apa? Kedaimu sibuk?” Danial bertanya saat mobil berhenti di lampu merah.

Anyelir menggeleng. “Nggak ada, besok aku ke sana.”

Danial melirik Anyelir. Menatap wanita yang biasanya ceria kini terlihat murung. “Kamu ada masalah apa, Anyelir. Sepertinya kamu sedang sedih atau kenapa?”

Lagi-lagi Anyelir menggeleng sambil tersenyum. “Nggak ada apa-apa.”

“Yakin?”

“Seratus persen.”

“Kalau begitu, sering-sering senyum. Jangan sampai orang mengira aku menganiayamu. Jangan membuatku malu!”

Peringatan dari Danial menghentikan senyum Anyelir. Ia menghela napas, berdoa dalam hati agar pertemuan ini berjalan lancar tanpa melibatkannya dalam masalah. Menggenggam tasnya di pangkuan, Anyelir berharap mendapat kekuatan untuk menjalani pertemuan ini.

Kendaraan berhenti di halaman sebuah restoran. Anyelir turun dengan jantung berdetak tak karuan. Danial menyapa beberapa orang yang mereka temui di parkiran dan mereka melangkah bersamaan ke dalam.

Riuh tawa, sapaan riang, terdengar di seantero ruang restoran yang telah dibooking khusus. Mereka menepaki satu meja panjang yang merupakan gabungan beberapa meja didempetkan jadi satu. Anyelir duduk di sebelah Danial dan membalas sapaan beberapa wanita yang sama sepertinya, datang karena mendampingi pasangan.

“Mana Brian, Danial.”

“Masih jalan. Dia bawa seseorang yang istimewa.”

“Siapa?”

“Nanti kalian juga tahu.”

Anyelir menarik napas saat nama Brian disebut. Ia meremas tangan, berusaha mengusir gugup. Bagiamana pun, pertemuan dengan Brian tidak bisa dihindari. Cepat atau lambat, mereka pasti berjumpa.

Makanan dihidangkan, Anyelir menahan mual saat mencium aroma kerang. Ia meraih minyak kayu putih di dalam tas dan menaruhnya ke atas tisu lalu menghirupnya. Setidaknya, itu bisa membantunya mengurangi mual. Ia meminta pelayan untuk memindahkan kerang agak jauh darinya dan mengganti dengan sayuran.

“Brian, datang.”

“Jagoan kita datang juga.”

Teriakan gembira terdengar di seantero meja. Semua mata menatap ke arah pintu masuk termasuk Anyelir. Baru saja memasuki ruangan, Brian berbalut kemeja dan jin biru menggandengn seorang wanita amat cantik.

Keadaan riuh seketika. Anyelir mendongak dan menatap laki-laki itu yang tersenyum pada semua orang yang menyapanya. Sedangkan wanita di sampingnya, berdiri anggun dan menyunggingkan senyum manis. Anyelir merasa mengenali wanita itu, tapi entah di mana.

Pandangan mereka bertemu, Brian yang semula menyapa teman-temannya, kini menatap lurus ke arah Anyelir. Seketika, ia menunduk. Tidak sanggup berpandangan terlalu lama.

Sial bagi Anyelir, Brian memilih duduk di tempat kosong yang ada di sebelahnya. Menarik kursi, laki-laki itu menyapa lembut.

“Apa kabar, Anye?”

Mau tidak mau Anyelir mendongak. “Hai, Kak.” Lalu kembali menunduk.

“Siapa dia?” tanya Vania pada Brian.

“Tunanganku.” Danial yang menjawab riang. “Lama nggak lihat kamu, Vania. Makin cantik.”

Vania tergelak. “Jangan muji sembarangan, Danial. Nanti tunanganmu cemburu.”

“Ah, Anyelir paham kok. Dia nggak sembarangan cemburu.”

Anyelir tersenyum kecil, merasa tersiksa di tempat duduknya.  Jika memungkinkan, ia ingin berpindah tempat atau kalau bisa, pulang sekalian. Selain aroma masakan, kini bahkan parfum orang-orang yang datang pun membuatnya mual.

“Vania, kenalkan ini Anyelir,” ucap Brian.

Vania melambaikan tangan. “Hai, senang mengenalmu Anyelir. Kalau nanti menikah, jangan lupa undang kami.”

“Pasti-pasti,” jawab Danial sambil tertawa. “Aku akan mengundang seluruh orang yang ada di sini.”

Sementara Danial bicara dengan gembira, Anyelir menjawab sapaan Vania dengan senyum yang ia usahakan seramah mungkin. Setelah itu, ia kembali menunduk. Bukan masalah ia tidak mengerti pembicaraan orang-orang di sekitarnya, yang membuatnya enggan terlibat pembicaraan. Bukan pula karena ia merasa tersiksa di sini, karena ia juga mengenali beberapa orang yang datang sebagai teman Danial. Justru yang membuatnya gugup adalah Brian.

Laki-laki itu duduk tepat di sebelahnya. Saat ia bergerak, tanpa sadar lutut mereka bergesekan dan itu cukup menimbulkan gelenyar dala tubuhnya. Terlebih, mata elang Brian seperti menembus jantungnya.

“Kamu nggak makan, Anye?”

Mendongak sambil tersenyum, Anyelir menggeleng. “Udah tadi. Sekarang sudah kenyang.”

Brian mengernyit. “Mana? Piringmu kosong dan nasi dalam mangkokmu masih penuh.”

Danial yang mendengar percakapan mereka, menyela sambil melambaikan tangan. “Biasa itu, Bro. Para wanita selalu bilang ingin diet, padahal mereka sudah langsing.”

Anyelir tidak membantah ucapan tunangannya, berharap Brian tidak lagi menegurnya. Ia mengamati dalam diam, bagaimana Vania memperlakukan Brian. Wanita itu mengambil lauk-pauk untuk laki-laki di sampingnya, membantu menuang teh, dan sesekali menyentuh lengan atau pundak Brian. Apa yang yang dilakukannya, seakan menegaskan kalau hubungan mereka lebih dari pada teman. Mendapati kenyataan di depannya, Anyelir menghela napas. Berusaha mengusir sesak.

Sekitarnya ramai oleh percakapan, tapi Anyelir merasa terasing. Di samping kanan, Danial terus menerus bicara dan tertawa bersama orang-orang di sebelahnya. Sementara di samping kiri, Brian pun sama.Sibuk menjawab pertanyaan orang-orang padanya. Meski begitu, ujung mata laki-laki itu tidak pernah lepas darinya. Anyelir menyadari hanya saja berpura-pura tidak tahu. Sementara orang-orang mengobrol sambil makan, ia hanya minum teh hangat demi menahan mual.

“Kerang ini enak, coba deh!” Danial mengambil kerang yang ada di tengah meja dan menyorongkannya pada Brian. “Masih seger dan cara masaknya oke. Nasimu habis, aku minta tambah lagi.”  Selagi memegang piring, Danial minta pelayan untuk mengantarkan nasi ke tempat Brian.

Brian tidak menerima semuanya. Ia mengambil sendok dan memindahkan kerang beberapa biji ke mangkoknya. “Thanks, enak memang,” ucapnya sambil mencicipi kerang.

Perut Anyelir bergolak, kerang yang berada di piring Brian membuatnya mual. Ia bangkit dari kursi dan hendak menuju toilet saat bersamaan ada pelayan hendak menghidangkan nasi tambahan. Lengannya menyenggol nasi dalam mangkok dan membuatnya terjatuh ke lantai.  Ia berdiri dengan gugup sambil meminta maaf, sementara pandangan orang-orang di sekeliling meja tertuju padanya.

“Anyelir, kamu ceroboh.” Danial menegur dengan tajam.

“Kamu nggak apa-apa, Anye?” tanya Brian. Laki-laki itu mencabut beberapa lembar tisu dan mencoba membersihkan butiran nasi yang menempel di lengan Anyelir.

“Aku nggak apa-apa, maaf.” Anyelir menarik tangannya. Setengah berlari menuju toilet, mengunci dari dalam dan memuntahkan semua isi perutnya. Setelah agak tenang, ia mengguyur toilet lalu ke westafel untuk mencuci tangan.

Mendesah resah, ia mengamati bayangannya yang pucat di cermin. Sementara kepalanya berdentum menyakitkan, dengan perut yang tidak nyaman, ia berharap bisa pulang lebih dulu. Namun, ia tahu kalau berpamitan sekarang maka Danial akan mengamuk. Menarik napas panjang, ia melangkah keluar.

“Anye, kamu baik-baik saja?”

Teguran di dekat pintu toilet menganggetkannya. Ia melihat Brian menatap dengan kuatir padanya. Seketika, langkahnya terhenti. Pandangan mereka terkunci satu sama lain dan Anyelir tidak tahu, apakah sekarang saat yang tepat untuk mengatakan pada laki-laki itu, bahwa dia mengandung anaknya.

**
Tersedia di google playbook, Karyakarsa dan Buku Cetak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro