~ Berita Bagus ~

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tidak ada yang bisa diinginkan selain tenang.
Tolonglah, segera selesaikan.
Hanya itu harapku, hanya itu inginku.

🍂🍂🍂

Langit-langit berwarna putih, tirai yang berwarna senada menjadi satu-satunya pemandangan yang dilihat Janu. Seingatnya, ia terakhir kali berada di area parkir diskotik. Namun, aroma karbol yang menyengat justru menjadi pengingat bahwa dirinya kolaps setelah asma menyerangnya tanpa ampun.

Suara tirai dibuka membuatnya berusaha mendudukkan tubuhnya. Usahanya sia-sia. Tubuhnya masih belum sanggup untuk duduk. Ia hanya mampu telentang dengan posisi kepala lebih tinggi sambil menikmati udara segar yang memasuki rongga hidungnya.

"Sudah lebih bai? Kan sudah dibilang kalau saya nggak mau tanggung jawab kalau ada apa-apa. Ini malah masnya pingsan di depan saya."

"Berapa lama di sini? Sekarang jam berapa?"

Si perempuan dengan pakaian kurang bahan itu membuka ponselnya, "Hampir satu jam, dan selama itu pula teman Mas belum datang-datang. Mohon maaf tadi saya geledah tasnya buat cari identitas untuk proses administrasi."

"Makasih, Mbak. Lalu, gimana dengan yang saya sampaikan. Mau bantu?"

"Saya rasa Mas sudah tahu jawabannya. Saya bukan orang berada, berurusan sama orang seperti mereka itu .... Sudahlah, sekali saya bilang tidak, tidak."

Janu menghela napasnya. Ia merasa tidak bisa berbuat lebih jauh. Sebab dari sinilah ia harus memulai. Mencari dukungan dan saksi utama. Setidaknya ia tidak mati konyol dengan fitnah yang disandang itu.

"Sebentar, Mbak bilang menghubungi teman saya? Siapa?"

Si perempuan itu mengangkat bahunya. Ia berjalan mendekati ranjang dan mengambil ponsel dalam tas ransel Janu. Ia membuka aplikasi Whatsapp dan membuka salah satu chat di sana.

"Pas saya keluar dari foto yang Mas tujukkan, posisinya masih di chat yang itu, jadi saya hubungi orang yang itu karena dia yang teratas."

Janu menerima ponselnya dan langsung terkaget karena foto profil Faza yang terpampang di sana. Sejak bertemu tempo hari, ia memang meminta nomer Faza dan menyimpannya di ponsel milik Tarendra supaya lebih mudah.

"Dia bilang sesuatu?"

Si perempuan mengangguk, "Langsung OTW katanya, tapi sudah lebih lima belas menit belum juga sampai."

"Mbak, pinjam ponselnya boleh? Ini mau habis baterainya."

Tanpa ragu-ragu, si perempuan menyodorkannya dan diterima oleh Janu. Tangan lincah Janu langsung bekerja mengetik nomer dan menyimpannya dengan nama Tarendra di ponselnya. Setelah itu, ia menelepon ke ponselnya selama beberapa detik sampai dering berbunyi.

"Saya sudah save nomer saya di situ. Kalau Mbak berubah pikiran, saya tunggu. Maaf belum sempat nanya nama. Mbak namanya siapa?"

"Anggita. Bisa dipanggi Anggi atau Gita."

"Makasih atas bantuannya Mbak Gita." Janu lebih memilih memanggil wanita itu dengan nama Gita, sebab nama Anggi adalah panggilan untuk adiknya.

"Sama-sama. Saya permisi dulu."

Setelah berpamitan, perempuan itu langsung menghilang di balik tirai. Janu yang tidak tahu harus berbuat apa akhirnya mencoba untuk menghubungi Faza, mungkin saja ia belum berangkat dan bisa memintanya untuk batal mengunjunginya.

Dari seberang telepon hanya disambut dengan dering saja, tetapi tidak ada jawaban masuk menerima panggilan itu. Ia beralih menghubungi sahabat Tarendra, barangkali ia mau direpotkan untuk membawanya kembali ke hotel dan bermalam di sana.

Namun, belum juga Janu melakukannya, tirai kembali terbuka. Ia melihat teman semasa kecilnya dahulu. Dengan langkah ragu-ragu Faza mendekati ranjang. Ia memindai Janu dengan tubuh Tarendra itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Wajah pucat dengan rona yang sama sekali tidak ada, rambut yang sedikit berantakan, jarum infus tertancap di tangan kanan, dan juga nasal canul di bawah hidung. Mungkin jika dilihat lebih dalam, wajah Janu mirip dengan orang sekarat.

"Sori ngerepotin malem-malem."

"Nggak apa-apa. Lagian kenapa bisa dari diskotik masuk RS? Gabut apa gimana?"

"Asma kambuh di saat nggak tepat, Za. Itu si mbak-mbak yang ngubah kesaksiannya yang ngebantuin."

"Mbak-mbak dengan baju kurang bahan? Whoa, pantesan. Baru keluar lobi RS langsung nyamber rokok. Jadi dia?"

Janu mengangguk. Ia mencoba untuk duduk dan ingin memperdengarkan rekamana selama mereka berbincang tadi. Namun, usahanya untuk duduk sia-sia. Ia tidak memiliki tenaga ekstra untuk melakukannya.

"Minta tolong bisa, loh."

"Tolongin, Za."

Faza meletakkan tangannya di punggung Janu dan membantunya untuk duduk. Janu lantas menunjuk tas ranselnya. Tanpa penjelasanpun Faza paham dan mengambilkan untukknya.

"Dengerin obrolannya. Mungkin bisa dijadikan bukti."

Faza mendengarkan kata demi kata yang diucapkan oleh si perempuan. Ya, Janu sengaja menyimpan sebuah alat perekam suara di tasnya sebagai jaga-jaga. Ternyata idenya juga tidak sia-sia. Sebab ia mendapat apa yang dibutuhkannya.

Beberapa saat setelah menunggu selama setengah jam, infus juga sebenarnya belum habis, Janu sudah merengek dan meminta bantuan Faza untuk segera membayar tagihan rumah sakit dan segera membawanya untuk kembali ke hotel.

Faza membawa mobil dengan kecepatan sedang. Sesekali ia melirik ke kursi penumpang. Beberapa kali Faza melihat lelaki di sebelahnya itu menekan dan mengurut dadanya. Seperti ada yang tersangkut. Bahkan tarik napasnya masih terlihat berat.

"Kenapa maksa balik ke hotel kalau belum sehat betul?"

"Nggak suka sama suasananya. Bisa makin sakit ntar."

"Di hotel nggak ada yang ngawasin, apa mau ikut saya pulang?"

Janu menoleh lalu menggeleng. Ia sadar bahwa keputusannya akan merepotkan sahabat masa kecilnya itu. Jadi, dari pada nanti makin merepotkan, ia memilih untuk menolak.

"Makasih. Nggak mau merepotkan."

Faza akhirnya mengalah. Begitu mobil sudah sampai di pelataran hotel, Faza ikut turun. Rasanya tidak tega jika harus meninggalkan seseorang yang tengah sakit tinggal sendirian. Jadi, tanpa menunggu persetujuan Janu, ia ikut berjalan bersama menuju hotel.

"Saya temani saja kalau begitu."

Ucapan Faza menghentikan langkah Janu, ia menghela napasnya. Sahabatnya itu begitu, semakin ditolak maka semakin gigih usahanya. Sepertinya akan sia-sia untuk menghindar.

Namun, demi kebaikan, demi kesehatannya yang ternyata memang belum baik betul, Janu mengalah.

"Maaf malah merepotkan."

Meski memang biasanya ia selalu merepotkan, tetapi dengan tubuh asing itu, Janu juga merasa asing dan sungkan. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Janu meminta kunci kamar pada resepsionis. Mereka berjalan beriringan menuju kamar tempat Janu tinggal selama beberapa hari ini.

Begitu mereka berdiri di depan pintu, suara dering ponsel Janu menarik perhatian. Ia menatap ponselnya lalu berkedip perlahan seolah tidak percaya dengan matanya sendiri.

Nama Gita tertera di layar ponselnya. Dengan ragu-ragu ia mengangkat dan mengucap salam. Meski tidak mendapat balasan, setidaknya telinga yang terpasang itu tidak salah dengar.

"Mas, saya bersedia untuk membantu. Saya merasa terbebani karena kejadian itu. Saya juga sudah terlalu banyak dosa karena keadaan, semoga setelah ini saya bisa hidup lebih tenang."

Janu sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Ia terlampau bahagia mendengar suara dari seberang. Binar matanya kembali hidup. Rona wajahnya juga sudah mulai kembali. Hanya tersisa napasnya yang belum terasa lega.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 28 November 2022
Na_NarayaAlina


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro