6 - Kebenaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini seperti biasa, Dewa dan Dira makan siang bersama di bawah pohon Akasia. Saking seringnya mereka mojok di sana, siswa lain bahkan sampai menjuluki pohon itu sebagai pohon keramat buat mojok biar hubungan makin lancar.

Setelah selesai makan, Dewa bersandar di pohon sambil menatap langit yang hari ini sangat cerah tanpa awan. Sinar matahari yang turun melalui celah-celah ranting dan daun membuat matanya menyipit.

Ketika ia melihat Dira membereskan bekas makannya, ia pun membuka mulut untuk menanyakan hal yang membuatnya penasaran selama ini.

"Dir, kenapa kamu selalu ngasih aku apel? Apa kamu emang tahu kalau itu buah kesukaanku?"

Dewa menatap Dira tepat di mata, tapi gadis itu malah diam dengan ekspresi terkejut.

"Apel?" tanyanya masih dengan ekspresi tercengang.

"Iya." Dewa menggangguk, lalu kembali menatap langit seolah memandang seseorang yang ia rindukan. "Apel itu buah kesukaan mama, beliau selalu mengingatkan aku agar mengonsumsi apel setiap hari. Dulu, setelah mama meninggal, aku cukup terpuruk. Enggak ada lagi yang ngingetin buat makan apel setiap setelah makan. Aku juga jadi benci sama apel karena selalu berhasil membuatku rindu sama mama.

Ketika kamu pertama kali ngasih aku apel, aku marah besar. Aku bahkan enggak sengaja ngamuk ke cewek yang ada di deketku waktu itu. Kalau diingat lagi, aku belum minta maaf sama dia. Tapi kayaknya dia takut banget sama aku, dia cuma berani tinggal lima meter dariku, kalau kebetulan mata kami bertemu, dia langsung kabur. Nanti kamu temenin aku buat minta maaf sama dia mau, gak?"

"Eh, i-iya?" Dira menjawab refleks. Ia masih terkejut dengan informasi yang baru dia dapatkan. Otaknya tidak mampu mengolah semua informasi dadakan ini.

Senyum Dewa terkembang. "Makasih. Aku udah pengen bilang kata ini sama kamu dari dulu. Makasih udah tetap ngasih aku apel selama ini, karena kamu, aku jadi bisa menerima kematian mama. Aku juga bisa lebih terbuka sama ibu tiri aku, sekarang hidupku sudah jauh lebih baik. Makasih juga buat pesan di sticky note yang kamu kasih waktu itu, aku jadi benar-benar bisa keluar dari kemuraman berkat itu."

Dewa tersenyum manis yang membuat mata Dira silau. Gadis itu mulai menghubungkan semua informasi yang dikatakan Dewa, dan ia mulai menyadari, gadis yang Dewa suka bukanlah dia, tapi yang saat itu menyimpan apel di kolongnya. Kalau dipikirkan lagi, sepertinya saat Dewa menembaknya, cowok itu mengatakan sesuatu tentang apel, tapi dia terlalu terkejut karena ditembak oleh orang yang dia suka, jadi otaknya lumpuh dan hanya fokus pada pernyataan suka cowok itu.

Tapi sekarang, ia lebih penasaran akan apa yang dilakukan gadis itu sampai membuat Dewa jatuh hati padanya.

"Pesan?"

"Iya." Dewa berpikir Dira mungkin sudah lupa karena pesan itu dari waktu yang cukup lama. "Yah, mungkin bagi sebagian orang itu pesan klise, tapi bagiku itu sangat berharga. Sampai saat ini pesan itu bahkan aku pajang di kamar. Isinya singkat, tapi benar-benar ngena di hati. Sesuai sama kondisiku yang lagi rindu mama dulu. 'Kenangan akan selalu hidup dalam hati dan pikiran.' Entah apa maksud kamu saat itu, apa kamu benar-benar tahu keadaan keluargaku saat itu?"

Alih-alih menjawab, Dira mulai merenung. Ia dilema, haruskah ia menyatakan semua kebenarannya sekarang? Kalau Dewa tahu ia bukan orang yang memberinya apel, tanpa diragukan lagi, hubungan mereka pasti hanya akan sampai di sini. Tapi, jika ia tidak mengatakan hal yang sejujurnya, Dewa pasti akan membencinya bukan?

Akhirnya, setelah mengumpulkan tekad, Dira akan mengungkapkan semua kesalah pahaman di hubungan mereka. Tapi, ketika ia akan membuka mulut, suara bel berbunyi, dan Dewa mengajaknya untuk kembali ke kelas. Ia pun menunda niatnya.

=====🍎🍎🍎=====

Melati bersin, ia pun bertanya pada Nadia yang sedang asyik mengunyah mie ayam di sebelahnya.

"Nad, kalo gak salah, katanya kalo kita bersin itu ada orang yang lagi ngomongin kita, berarti ada yang lagi ngomongin gue dong, ya?"

Nadia menjawab setelah menelan kunyahan mie ayam. "Pasti. Gue yakin mereka lagi ngomongin keburukan lo, Mel."

Melati melempar segumpal tisu bekas mengelap meja ke muka Nadia, membuat gadis itu melotot jijik. "Dasar jorok lo."

"Biarin!" Melati memeletkan lidah.

Nadia hanya memutar bola mata, kemudian kembali menyuap. Setelah mengunyah beberapa kali, ia mulai bertanya dengan penasaran.

"Tumben lo enggak ngintip si Dewa, udah mulai move on, ya?"

Melati menggelengkan kepala, tangan sibuk membelah bakso. "Bukan gitu, gue udah bosen lihat mereka pacaran tiga bulan ini. Kalau dulu kan Dewa biasanya istirahat itu maen bola, enak lihatnya, gue bisa nyorakin dia pas nyetak gol, gue juga bisa lihat dia keringetan, seksi banget, Nad."

"Seksi pala lo." Nadia sungguh tidak mengerti, apa bagusnya pemandangan cowok keringetan? Yang ada malah bau. "Oh iya, mereka udah pacaran tiga bulan, ya. Gue jadi penasaran, apa kabar itu apel yang tiap hari lo kasih ke dia?"

Melati meringis. "Karena kebiasaan, gue kadang lupa dan beli apel ke pasar, pas inget udah gak bisa ngasih apel lagi ke Dewa, ya gue makan aja apelnya."

Nadia menepuk-nepuk puncak kepala Melati dengan perasaan bangga. "Bagus, bagus. Mending lo makan sendiri aja biar sehat. Sayang banget selama ini duit hasil ngelukis lo cuma diabisin buat ngasih makan si Dewa pake apel."

Melati menyingkirkan tangan Nadia dari kepalanya, ia menatap sahabatnya itu kesal. "Gue bukan anak kecil! Jangan diacak-acak!"

Nadia cuma nyengir, kemudian lanjut makan lagi.

Melati yang sudah menghabiskan baksonya menatap kiri dan kanan. Ia kemudian berbicara dengan nada berbisik. Ia sudah lama ingin mengatakan rahasia kecilnya pada Nadia, tapi selalu tidak berani. Ia rasa sekarang sudah saatnya gadis itu tahu semua rahasia kecilnya.

"Nad, sebenernya gue udah kenal Dewa sejak kecil, kami dulu tetanggaan, tapi setelah mamanya meninggal, dia pindah rumah. Gue baru ketemu lagi sama dia pas kelas X, gue mau nyapa dia, tapi malu, gue takut dia gak tahu siapa gue."

Kenyataanya, Melati hanya sudah tidak tahan ingin mengatakan semuanya, ia selalu ingin membahas masalah ini dengan orang lain. Tidak ada lagi orang lain selain Nadia yang dekat dengannya, jadi ia selalu menjadikan gadis itu tempat sampahnya.

"Kenapa lo cerita itu sekarang?" Nadia mengerutkan kening heran.

Melati mengangkat bahu seolah tidak peduli. "Mungkin karena gue udah mulai mengikhlaskan Dewa sama pacarnya?"

"Jadi itu alasan lo gak berani deketin dia lebih dari lima meter?"

Melati menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan bagian itu juga pada Nadia? Setelah berkedip tiga kali, ia pun membeberkan semuanya.

"Ehm, sebenernya, dulu gue pernah mau nyapa dia. Hari itu hari pertama gue ngasih apel ke dia. Gue tahu dia suka apel karena mamanya suka buah itu juga, sampai-sampai pas main aja dia nyemil apel. Niatnya sih, gue ngasih apel itu sebagai kejutan dan bakal bilang hai setelah dia makan. Tapi kenyataannya, dia malah ngamuk ke gue. Jadi gue gak berani deketin dia lagi."

Nadia terperangah. Ia baru tahu ada kisah semacam itu dalam kehidupan Melati. Tapi sejurus kemudian, dia memandang teman sebangkunya itu takjub.

"Terus lo masih ngasih dia apel walaupun udah di amuk begitu? Gila."

"Gue berhenti ngasih selama seminggu, tapi gue pikir, selama dia enggak tahu itu dari gue, dia gak bakal ngamuk lagi."

Nadia hanya bisa berdecak kagum dengan cara berpikir Melati.

"Lo suka sama dia sejak kapan, Mel?"

Melati nyengir. "Sejak TK."

"Buset, lama amat."

"Hm, dulu cuma dia yang bisa ngelawan gue, jadinya gue suka."

"Maksudnya apaan?"

Melati menutup wajah dengan tangan, pipinya berubah jadi merah. "Dulu karena selalu dengerin dongeng, gue suka banget sama yang namanya ratu. Jadi gue nganggap diri gue sendiri ratu, terus merintah temen-temen tetangga gue seenaknya. Waktu itu cuma Dewa yang berperan sebagai penjahat yang bakal ngehancurin kerajaan gue buat nyelamatin anak-anak yang lain. Dia keren, kan?"

Nadia hanya menatap Melati seolah semuanya sudah jelas. Dia memang sudah memalukan sejak kecil.

tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro