8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bukan hal yang sulit dilakukan untuk mengikuti raja dan ratu bagi Carmelize, mengingat bahwa mereka tidak bisa melihat keberadaan Carmelize. Sambil mengikuti raja dan ratu yang berjalan sambil berbincang, Carmelize mengikuti di antara mereka sambil menyimak.

Langkah mereka tidak terkesan terlalu lebar, sehingga Carmelize masih bisa menyamakan kecepatan langkah mereka. Padahal, saat dalam perjalanan dari kamar Carmelize menuju tempat ini, Carmelize tidak bisa menyamakan langkah Pangeran Vire dan Pangeran Alax. Pada akhirnya, Putri River yang memperlambat langkahnya dan membuat kedua kakaknya harus menunggunya di depan.

Sambil menyimak, Carmelize memperhatikan kiri dan kanan agar dia tidak tersesat saat hendak mendatangi Putri River. Sebenarnya Putri River sudah beberapa kali mengajaknya keliling istana, tapi sejauh ini, Carmelize hanya mampu menghafal jalan dari gerbang masuk ke ruang makan dan kamar Putri River. Kerajaan ini 10 kali lebih besar dibandingkan rumahnya yang sering disebut rumah raksasa di area kompleks perumahannya.

"Kalau sampai hasil ramalan hari ini juga sama seperti hasil yang kemarin..." Ratu menjeda singkat, "bagaimana?"

Raja terdiam selama beberapa saat, "Kita harus menerimanya."

Ratu menatap raja dengan pandangan lesu, "Lalu kapan kita akan memberitahu mereka?"

"Itu ..."

Raja dan ratu sama-sama berhenti melangkah di depan sebuah pintu berlapis perak. Saat membuka pintu itu, beberapa rambut ratu yang panjang bergerak seolah angin yang lewat barusan sangatlah menyejukkan. Carmelize yakin, suhu di sana pasti setara dengan dingin kamarnya saat air conditioner mencapai suhu 16 derajat celcius.

Bersama-sama, mereka masuk. Ruangan itu tidak memiliki kipas angin. Hanya ada sebuah jendela dan itu pun dalam keadaan tertutup rapat. Tidak ada yang tahu darimana angin tadi barusan, raja dan ratu juga tampaknya lebih sibuk memikirkan hal lain daripada memikirkan hal aneh yang terjadi barusan, begitu pikir Carmelize.

"Kita akan memberitahu mereka, jika mereka sudah agak lebih dewasa," ucap raja yang terdengar sedikit sedih, membuat Carmelize makin merasa bersalah karena berniat menguping pembicaraan mereka.

Pintu di belakang tertutup. Carmelize bisa melihat secara langsung bagaimana tembok dominasi putih itu tiba-tiba berubah menjadi jingga. Carmelize tidak tahu apakah raja dan ratu bisa bersikap sebiasa itu karena terlalu sering melihat fenomena itu atau malah karena mereka tidak melihatnya. Namun satu pertanyaan dari raja, langsung membuat gadis kecil itu mengerti.

"Ratu, apakah sihir pelindungnya sudah selesai?"

Ratu mengangguk, "Sudah."

Carmelize akhirnya menyimpulkan bahwa hanya dialah yang bisa melihat kalau tembok berubah menjadi jingga. Dia mencoba menembusi tembok tersebut, namun usahanya gagal. Kini, dia bisa menyentuh tembok itu layaknya dia menyentuh tembok di dunianya. Walaupun tidak bisa merasakan panas atau dingin, hal itu membuat Carmelize takjub, karena merasa bahwa tempat ini benar-benar ada, bukan hanya sekedar mimpi belaka.

Tembok kembali menjadi putih, membuat Carmelize langsung menatap ke arah pintu masuk yang ada di seberang tempat raja dan ratu berdiri saat ini. Ada dua pintu, pintu yang dimasuki raja dan ratu tadi dan satu lagi pintu yang ada di depan mereka. Sepertinya pintu itu memang didedikasikan untuk para peramal yang akan masuk.

Pintu di depan raja dan ratu--serta Carmelize--terbuka secara otomatis, sama seperti pintu elektrik yang biasa Carmelize jumpai pada department store dan mall, tapi rasanya tidak mungkin, jika itu benar-benar dari daya listrik, mengingat tidak ada satu pun kipas angin, lampu pijar atau apapun yang bisa digunakan dengan listrik.

Barisan peramal itu mulai dimasuki satu persatu. Carmelize hanya bisa memperhatikan, sambil diam-diam menghitung jumlah peramal yang datang. Ada lima belas.

"Selamat siang, Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu ..."

Semuanya membungkuk hormat di depan raja dan ratu--tidak lupa pula dengan Carmelize yang keberadaannya tidak terlihat sama sekali. Walau begitu, rasanya tidak secanggung yang dia pikir. Mungkin karena Carmelize memang sudah terlalu sering diperlakukan seperti itu oleh pekerja-pekerja di rumahnya.

"Selamat siang," sapa raja dan ratu bersamaan.

Saat mereka sedang berbasa-basi, Carmelize mencoba berpikir tentang hal yang harus disimaknya dan hal yang tidak boleh didengarkannya. Semoga saja pikirannya bisa mencerna semua itu dengan baik.

Mereka semua duduk di kursi yang telah disediakan. Ada tiga lembar kertas di atasnya, mereka mulai diminta untuk menggoreskan apa yang dibacanya tentang ketiga pewaris kerajaan dan mengumpulkannya kepada raja.

Dimulailah pembacaan satu persatu oleh raja. Dimulai dari anak tertua, Pangeran Vire.

"Pangeran Vire akan menjadi raja Kerajaan Bayang  yang kuat."

"Pangeran Vire akan menjadi raja dari Kerajaan Bayangan."

"Pangeran Vire ..." Ucapan raja terhenti. Dia berhenti membaca dan mulai memperhatikan satu persatu peramal yang sedang menyimak. "Semua ramalannya sama. Kalau begitu langsung ke ramalan Pangeran Alax saja."

Mereka kembali menggoreskan kata-kata di atas kertas. Raja mengobservasi satu persatu, sebenarnya dalam hati mulai mencurigai bahwa mereka telah menyocokkan jawaban saat perjalanan mereka kemari.

Kertas-kertas kembali terkumpul. Raja kembali membacakan satu persatu ramalan.

"Pangeran Alax akan menjadi penasihat Kerajaan Bayang."

"Pangeran Alax akan menjadi tokoh penting dalam perdamaian negri ini."

"Pangeran Alax akan menjadi ahli sihir kuat yang nantinya akan mendukung berkembangnya Kerajaan Bayangan."

Raja menggeleng-geleng saat membaca itu. Dia tahu tentang putra keduanya yang amat pendiam dan sedikit misterius itu. Pangeran Alax mungkin memang memiliki keinginan untuk melakukan banyak hal dalam satu waktu, tidak ada yang bisa membaca pikirannya.

Lalu, karena ramalan tentang Pangeran Vire dan Pangeran Alax sebenarnya akurat dari peramal sebelumnya, Sang raja dan ratu mulai waswas untuk ramalan terakhir untuk putri mereka, Putri River.

Ramalan yang kemarin, mengatakan bahwa ...

"Baiklah, sekarang tuliskan ramalan Putri River di kertas terakhir," pinta ratu dengan berat hati.

Hal inilah yang ditunggu-tunggu oleh Carmelize sedariawal dia memasuki ruangan ini. Dia mulai bersorak dalam hati karena dia tidak perlu mendengar basa-basi lain tentang politik seperti di televisi di rumahnya, karena selain membosankan, Carmelize juga tidak mengerti apapun soal itu.

Pelan-pelan, mereka mulai mencelupkan pena bulu dari bulu angsa ke dalam tinta hitam, lalu menggoreskan apa yang telah mereka baca di atas kertas.

Waktu yang sangat tidak tepat. Karena saat mereka sedang mengumpulkan kertas itu kepada raja, dinding jingga di sekitarnya berubah menjadi putih. Carmelize kira memang sudah waktunya dia keluar dari sana, tetapi dia belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan Putri River tentang apa yang akan terjadi pada gadis itu.

Carmelize memutuskan untuk tetap diam di tempatnya, sampai akhirnya dinding putih kembali berwarna jingga, memberikan tanda bahwa pelindung kembali diaktifkan.

Dengan perasaan deg-degan, Carmelize bersandar pada tembok, sambil mendengarkan apa yang akan dibacakan raja.

"Putri River akan ..."

Bacaan raja terhenti, diperhatikannya satu persatu peramal yang duduk di sana. Mereka menunduk, tidak berani melihat mata raja yang pastinya tengah penuh dengan amarah karena tidak dapat menerima ramalan itu.

Raja mencari kertas lain, mengharapkan ramalan yang berbeda, tetapi naas, semua goresan itu membentuk makna dan artian yang sama. Bahwa Putri River akan ...

"Kalian pasti sudah mencocokkan jawaban, saat dalam perjalanan kemari!" desis raja sambil melempar kertas-kertas itu dengan penuh amarah.

Carmelize yang sedang bersandar itu pun menegak bahunya saat melihat kemarahan raja. Ratu hanya terdiam, seolah tahu apa yang dituliskan di kertas itu.

"Tidak ada satu pun dari kami yang mencocokkan jawaban," ujar salah satu peramal, membela diri dan semua orang yang berada di sana. "Kami bersumpah."

"Tapi ramalan ini--"

Dinding jingga kali ini berubah menjadi hitam, lalu mengeluarkan Carmelize dari sana secara paksa. Tubuhnya seolah tersedot oleh sesuatu yang sangat kuat, mengusirnya dari ruangan penuh rahasia itu. Carmelize yang keberadaannya tidak diterima, akhirnya terseret agak jauh dari sana. 

Rasanya tidak sakit. Tentu saja, karena ini hanya mimpi. Carmelize tahu.

Dengan agak kecewa karena pada akhirnya usahanya tidaklah memberikan hasil, Carmelize kembali ke jalan awal dia datang untuk menyaksikan bagaimana keadaan para pangeran dan Putri River.

Lalu, saat melewati tirai merah, Carmelize bertemu kembali dengan pandangan tadi, juga ketiga keturunan kerajaan yang sedang mengobrol dan barisan peramal yang nyaris habis.

Saat menghampiri mereka, Putri River tersenyum padanya. Pangeran Vire menatap lurus ke depan, entah melihat apa. Sedangkan Pangeran Alax memperhatikan tangannya yang sedang diperiksa oleh peramal.

Putri River tiba-tiba berdiri, saat melihat ada sesuatu berwarna merah pekat yang mengalir keluar dari kedua hidung Carmelize.

"Itu kenapa?" tanyanya yang membuat kedua kakak serta semua orang yang berada di sana, melihatnya bingung.

Carmelize juga tidak membantu, dia juga kebingungan.

"Berdarah."

Baru mengatakan satu kata itu, Carmelize lenyap di depan matanya. Sepertinya terbangun dari tidurnya, tapi tetap saja membuat Putri River khawatir.

"River, apanya yang berdarah?" tanya Pangeran Vire sambil menuntun kembali adiknya agar duduk kembali.

"Ti--tidak apa-apa," ucap Putri River terbata-bata.

Pikiran Pangeran Alax pun terbagi, saat melihat tingkah adiknya itu.

Tbc

8 Juni 2018

a/n

Things went so far so good ohohoho.

Oke. Ketik lagi buat besok. Bubay.

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro