2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meskipun Ibu pernah bilang padaku bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi akan hilang, aku tetap tidak dapat menerimanya.

Semuanya, tidak pantas punah seperti ini.

***AQUA World***

Suasana ramai ditanggal sepuluh memang adalah hal yang biasa di kota ini. Hari ini adalah harinya, dimana pemerintah memenuhi janjinya untuk membagikan ribuan dus pil kenyang di kota secara gratis.

Karena bukan kota pusat yang merupakan tempat produksi pil kenyang secara besar-besaran, dibeberapa kota kecil seperti kami harus menunggu waktu untuk mendapatkannya. Untunglah, pil kenyang yang dibagikan selalu tidak mengalami kekurangan. Satu dus biasanya berisi 10 kotak dan setiap kotaknya berisi kurang lebih 15 buah pil—kira-kira cukup untuk seminggu kebutuhan pangan.

Biasanya memang menyisakan beberapa kotak lagi, namun semua orang berburu demi kelangsungan hidup. Lebih baik lebih daripada kurang—begitu prinsip mereka. Pembagian pil kenyang dari langit ini hanya terjadi sebulan sekali, tepat di tanggal 10.

Dus biasanya akan mengapung di atas air, dan dapat diangkat dengan ringan sampai kita membukanya.

Suara bising yang terdengar di atasku membuatku mendongak, begitupun orang-orang yang ada di sekitarku. Helicopter berwarna putih kilat dengan baling-baling besar, tampak di langit. Kami semua menyambut kedatangannya dengan penuh antusiasme.

Sebuah pintu di bawah helicopter terbuka dengan elegan, lalu satu persatu dus dilemparkan ke bawah. Tidak ada yang berniat menangkapnya dari bawah, cukup membiarkannya mengapung di air dan kami akan mengangkatnya beberapa saat kemudian.

Kepercayaan masyarakat pada pemerintah tergolong tinggi, tidak ada yang cemas jika seandainya dus itu berkurang satu buah dan akan mempengaruhi satu keluarga.

Beberapa saat setelah dus berhenti dilemparkan, helicopter itu pergi begitu saja. Kami semua mulai mengangkatnya dan membawanya ke apartemen masing-masing.

"Hai, Skye. Kau pergi?" tanya Thalia sembari berjalan di sampingku, kebetulan sekali kami bisa bertemu di sini. Dia membawa dua dus dipelukannya.

Aku hanya tinggal bersama Ibuku di apartemen, kalau kau ingat, kedua kakakku sudah mendahuluiku ke planet baru bersama Ayahku. Thalia adalah anak sulung dari tiga bersaudara, bedanya, semua keluarganya itu masih menetap di sini. Jadi menurutku wajar saja kalau Thalia mengambil dua dus.

"Pergi dong," jawabku semangat. "Umurnya sudah enam belas, sudah menua dia," ledekku dengan sedikit geli.

"Nanti kau yang bawa kue-nya yah." Thalia terkekeh, sedangkan keningku mengerut bingung. "Tenanglah, kue instant-nya kami pilih yang berkualitas kok, ada hiasan Cherry. Cheryl pasti suka."

Aku mengangguk sembari menatap ke arah kakiku yang terlihat putih karena warna gelap di dasar sana, membuat warnanya begitu kentara. "Kita kumpul dimana? Dan jam berapa?"

"Kita kumpul jam tiga di batas teritorial ujung belakang."

Keningku lagi-lagi mengerut, namun aku sedikit ragu untuk berkomentar.

Sebenarnya aku ingin meminta Thalia menganti tempatnya. Aku tahu tentang kebiasaan mereka mendatangi batas teritorial sebagai tempat untuk merayakan ulangtahun. Sebab hanya di sanalah tempat sepi dimana tidak akan ada seorangpun yang menegur anak remaja yang membuat heboh dan keributan.

Tapi di batas teritorial terlalu...

"Aku bisa datang, sepertinya akan sedikit terlambat. Club Survivalife baru berakhir jam dua. Oh, dan apa kita tidak bisa ganti di tempat lain, Thal?"

Club Survivalife adalah salah satu club yang masih aktif di sekolah. Club ini bertujuan untuk melatih para anggotanya cara bertahan hidup di era aqua seperti sekarang. Sebenarnya aku lebih ingin masuk Club Surfing, Diving, atau kegiatan club lain yang lebih mengasikan daripada itu. Tapi apa daya, atas dasar paksaan dari Ibuku, aku pun memilih Survivalife—yang pastinya membuatku selalu tidak nyambung dengan orang-orang disekitarku.

Thalia meletakan dua dus yang dipeluknya di atas air, membiarkan mereka mengapung. Lalu dia melenggangkan otot-otot tangannya seolah dia sedang mengangkat beban berat. "Skye, batas teritorial itu satu-satunya tempat yang paling aman!"

Paling aman darimana-nya coba?

"Duh Skye, kau biasanya tak sepenakut ini. Kemana perginya nyalimu itu?" tanya Thalia sambil berkacak pinggang.

Aku berdengus. "Ini bukan soal nyali, Thal. Ini soal pelanggaran peraturan dan nyawa."

Ibuku pernah bercerita tentang batas teritorial. Kalau ada yang 'iseng' berenang disana, maka monster laut akan menarik kaki kita dan tidak akan membiarkan kita naik sampai kita kehabisan nafas. Meskipun aku sedikit tak percaya tentang cerita monster laut itu, apa yang dikatakan oleh Ibu, sepertinya memang benar adanya.

Siapapun yang mencoba berenang di batas teritorial, pasti akan ditemukan tewas keesokan harinya. Sejauh ini, sudah ada ratusan korban yang tewas karena kehabisan nafas . Kulit mereka pucat seperti manusia yang tak pernah keluar dari rumah dan menjemur di bawah matahari.

Kalau menggunakan sampan, kapal, kapal selam, speedboat atau yang lainnya, kita masih aman dan bisa selamat—aku menyimpulkannya setelah beberapa kali pergi ke kota lain yang ada di pulau seberang (yang tentu saja juga terendam). Jadi kesimpulannya, kaki-lah yang paling pantang untuk menyentuh air di batas itu.

Thalia tampaknya memutuskan untuk berpura-pura tak mendengarkan. Dia malah dengan santainya mengangkat dua dusnya kembali dan berjalan lurus tanpa berminat melihatku.

Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi nanti.

*

Dikarenakan batas teritorial yang direferensikan oleh Thalia memang terletak di ujung kota, maka aku—yang berasal dari tengah kota—pun memutuskan untuk naik kereta air. Sebenarnya dengan kereta air, secara otomatis kau sudah memutar seisi pulau. Karena biayanya gratis dan Cheryl-nya dipastikan akan datang lebih terlambat, aku memilih naik kereta air. Kedua ujung gerbong kereta api dibuat lancip agar bisa melawan arus air, rel-nya bukan dari besi sembarangan yang akan membuatnya berkarat, malahan di dalam kereta air ini rasanya tidak seperti sedang berada terombang-ambing di atas air.

Tidak ada pemandangan yang menarik meskipun aku duduk di dekat jendela. Pemandangannya selalu sama; air, langit, dan pohon buatan.

Oh, omong-omong, pohon buatan sudah mulai digunakan sejak umurku lima tahun, aku masih ingat betapa antusiasnya aku saat melihat pohon (meskipun itu pohon palsu). Maksudku, aku belum pernah melihat pohon asli sama sekali kecuali di dalam buku. Pohon buatan ini hidup bergantung pada air saja, akarnya tidak menyatu dengan dasar (tetapi diikat, agar posisi pohon tidak berpindah), keadaannya mengapung dan ringan. Bisa terjatuh sewaktu-waktu, namun karena beban yang lebih pada bagian bawahnya (mereka lebih suka menyebutnya akar), pohon bisa kembali ke posisi tegak.

Ini semua karena ulah manusia dulu. Kalau saja mereka tidak menebang pohon sembarangan, tidak mengeksploitasi kekayaan dalam bumi besar-besaran, tidak membuat pemungkiman bawah tanah untuk memperbanyak rumah guna menghadapi ledakan penduduk di bumi, tidak menghancurkan sampah menjadi bentuk asap yang merusak lapisan ozon, aku yakin bumi tidak akan sakit seperti saat ini.

Tidak, bumi saat ini bukan hanya sedang sakit, tapi lebih dari itu.

Rasanya miris melihat bentuk bumi yang dulu dan sekarang. Dulu bumi begitu indah, dengan warna biru dan hijau yang begitu kontras, terang dan cantik jika diambil dari kamera satelit. Sekarang? Bumi berwarna biru! Yang membedakan hanya warna biru tua dan muda (dari kedalaman air). Perairan sudah menguasai hampir seluruh bagian bumi. Itupun kalau bisa terlihat jelas di satelit tanpa ada awan yang menutupinya. Secara, hujan deras hampir menguyuri bumi setiap harinya, baik lokal maupun tidak.

Tempat yang kutahu mungkin satu-satunya tempat yang belum dijajah perairan adalah... kawasan di pegunungan tinggi, salah satunya pegunungan Himalaya.

Tapi siapa yang mau mendaki sampai ujung sana? Siapa yang mau mati bersama kumpulan orang-orang yang mendaki untuk membangun pemungkiman baru di atas sana? Yang kutahu di sana pasti dingin, sama seperti di benua antartika dan katanya banyak pegunungan es yang semakin rendah karena selain permukaan air laut naik, juga karena mencairnya mereka.

Kutub utara dan selatan mencair perlahan, tapi masih menyisakan daratan es (gletser/glacier yang mengapung. Beberapa pihak menyebutnya Ice berg). Semuanya percaya masih ada beruang putih (mereka menyebutnya beruang kutub), pinguin dan (mungkin) singa laut. Tapi saat ke lapangan langsung, mereka tidak pernah menemukannya.

Aku percaya, Santa Claus pun tidak akan betah tinggal di tempat penuh air seperti ini. Ah, lupakan soal tokoh dongeng itu, saat ini jarang ada yang mendedikasikannya, hanya aku yang kebetulan suka mengorek ilmu tentang masa lalu.

"...akan segera berhenti di stasiun H2O nomor 156..."

Tempat pemberhentianku.

Begitu kakiku menyentuh air, ikan-ikan langsung datang mengerubungi. Kenyataannya, setiap stasiun pemberhentian, kita akan mendapati banyak ikan-ikan di perairan yang kita pijak. Aku kurang mengerti juga, tapi sepertinya ada hubungannya dengan arus panas dan arus dingin.

Aku pun berjalan seperti biasa, menelusuri perairan dan tidak peduli dengan ikan-ikan yang terus mengikutiku. Tujuanku sekarang adalah pergi ke batas teritorial. Tanganku berada dalam saku pakaianku, pakaian anti serap yang nyaman digunakan memang sudah dirancang untuk hal ini. Kalau aku terjatuh, mungkin hanya tubuh dan rambutku yang akan basah—pakaianku tidak.

"Skyee!" seru Thalia sambil memegang sebuah cake cherry, lalu menyerahkannya padaku begitu aku sampai. "Nih, cepetan sembunyi! Cheryl rupanya bisa datang lebih awal! Dia udah mau datang! Lilinnya jangan lupa dinyalain ya, dan jangan keluar sebelum kami memberi kode!"

Aku mengangguk dan buru-buru bersembunyi di balik bangunan lama yang sudah tak berpenghuni. Katanya, bangunan lama ini dulunya adalah toko manisan, tapi karena dekat dengan zona teritorial, maka pemilik manisan memutuskan untuk pindah sebelum mendapat surat dari pemerintah bahwa tempatnya akan digusur. Percikan air terdengar hingga akhirnya aku berhenti melangkah, lalu digantikan dengan suasana hening.

Aku meratapi kue cherry yang nantinya akan diberikan ke Cheryl. Terdengar suara percikan air yang jelas dari arah mereka. Aku pun buru-buru mengeluarkan pemantik gas dan menyalakannya ke lilin yang ada di atas kue. Aku menunggu arahan selanjutnya dari mereka, sampai aku boleh muncul.

Tunggu, mengapa hening sekali?

Akupun memutuskan untuk mengintip, dan yang kulihat adalah... tempat mereka berkumpul tadi, sudah kosong.

Aku pun keluar dari tempat persembunyian, dan rupanya dugaanku benar, tempat itu benar-benar kosong. Aku menghela napas lelah sambil meratapi kue cherry yang ada di tanganku.

Yang ulang tahun itu Cheryl lho, kok malah aku yang dikerjain?

Sedetik kemudian, ponselku berbunyi. Kukeluarkan ponselku yang transparan, namun mengeluarkan sedikit cahaya berwarna biru muda. Ada pesan dari Thalia.

'Lupakan soal perayaan ulang tahun! Cepat pergi, Skye!'

Lho?

Kusimpan kembali ponselku dan memutuskan untuk membawa kue cherry itu ke stasiun H20 nomor 156, aku ingin segera pulang dan melemparkan kue ini ke Cheryl, sungguh.

Tapi, rupanya dugaanku tak semulus itu.

Tiba-tiba saja terdengar dering darurat yang biasanya dibunyikan hanya saat bencana alam terjadi. Ombak di sekitarku mulai menggulung lebih liar dari biasanya. Aku tidak tahu bencana apa yang terjadi, namun aku segera melangkah cepat ke stasiun. Kulihat kereta air baru saja meninggalkan stasiun dalam keadaan yang begitu penuh.

Dari dalam kereta, aku bisa mendengar suara teman-temanku menyerukan namaku dengan keras.

Aku baru saja hendak mengejar, namun kereta air itu sudh lebih dulu pergi meninggalkan stasiun.

Palang kereta api yang seharusnya sudah terangkat, tetap dalam posisinya tertidur meskipun kereta air sudah pergi sejak beberapa waktu yang lalu.

Apa stasiun ini sudah menjadi zona teritorial juga?

Berbagai pertanyaan terus mengerubungi pikiranku, hingga akhirnya aku tersadar sesuatu. Kecurigaanku benar-benar terjadi saat kurasakan air yang ada di kakiku, kini sudah mencapai lututku.

Mataku melotot tak percaya.

Air naik sebanyak itu..., hanya dalam semenit?!

***TBC***

5 Januari 2017, Kamis.

[A/N]

Langsung ke masalahnya aja, ya. Saya gajago basa-basi kalau soal ini.

Omong-omong saya nggak tentuin jadwal, jadinya saya cuman up kalau ada mood aja. Revive juga bakalan dimunculin bulan ini, tanggal pastinya saya belum tau.

Kemudian, beberapa readers langsung mikir, Prythalize tidak sayang diri sendiri karena lagi-lagi megang banyak cerita tanpa mikirin cerita lain.

Oke, denger ya. Saya curcol dikit disini. Saya tidak berencana mempublishkan LFS 2-5 sebelum dua ini tamat, which mean saya masih waras oke?

Iya, jadi nanti setelah selesai Revive sama Aqua-nya, saya lanjut ke LFS 2 sama 3. Kedengaran lama banget ya? HAHAHA. Iya, saya sendiri pun mengakui itu.

Kemudian, saya punya pengakuan.

Setelah Aqua, Revive, LFS 2-5 tamat, saya tidak punya ide lagi untuk cerita baru. Saat ini, 6 itu yang paling baru. Ada sih, beberapa. Tapi belum dapat resolusi, jadi saya-nya ga berani janji.

Aqua sama Revive udah dapat akhirannya meskipun belum tuntas ngetiknya. Tapi udah dapat, jadi aman.

Jadi sekali lagi, Aqua World tidak punya jadwal resmi. Tidak punya. Saya usahain up minimal dua minggu sekali. Tenang, saya punya rasa inisiatif yang tinggi terhadap update-an cerita saya. Sekalipun harus pasang [SLOW UPDATE], saya ga bakalan pasang [ON HOLD], [HIATUS], [PENDING], atau mungkin [STOPPED]. Jadi jangan cemas.

Terror update, maksa lanjut dsb...bakalan diabaikan.

Welcome to Aqua World, dimana perasaanku kepada bumi disalurkan disini. Dimana perasaan saya kepada orang yang tidak mencintai bumi, ada disini.

Biasakan membuang sampah pada tempatnya.

Earth loves you, so you must love earth too.

CINDYANA

🐳

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro