[1] Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kita memulai sesuatu yang baru, dan mengakhiri sesuatu yang usang dan menyakitkan.

Awal Masa Kuliah.

Liara menarik panjang napasnya. Ia tersenyum lebar saat Aluna membuka pintu rumahnya, mempersilakannya untuk masuk. Seharian ini, tubuhnya remuk redam karena persiapan Ospek besok pagi. Banyak tugas yang diberikan panitia Ospek, kadang membuatnya jengah dan sibuk bertanya pada dirinya sendiri, mengapa di era globalisasi seperti saat ini, tugas Ospek yang lumayan banyak dan muka sangar kakak komdis masih berlaku di kampusnya? Disaat banyak kampus sudah menerapkan Ospek yang friendly, entah mengapa kampusnya masih menggunakan metode Ospek yang kuno dengan setumpuk tugas dan acara Ospek yang selalu membuat tegang.

"Capek, ya?"

"Banget, Mbak."

Semenjak tinggal di rumah Aluna, Liara memutuskan untuk mengubah panggilan 'Kak' menjadi 'Mbak' untuk Aluna, awalnya Liara memanggil Aluna dengan sebutan Mbak. Juga penggunaan bahasa gue-elo. Sadar, ia tinggal di lingkungan yang baru, yang mau tidak mau menuntutnya untuk menyesuaikan diri dengan nilai yang dianut masyarakat setempat, ada istilah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Sesekali, ia masih menggunakan bahasa Jakarta jika berbicara dengan temannya yang juga berasal dari Jakarta, Arsyad misalnya. Aluna sendiri adalah tunangan dari Zello—kakak Arsyad yang juga teman Lionel—kakaknya.

"Kamu udah makan?"

"Udah, makan nasi goreng sama Arsyad di warung depan tadi."

"Pulang sama Arsyad?"

Liara mengangguk, ia baru saja dari kampus untuk menyelesaikan tugas kelompok Ospek bersama teman satu kelompoknya. Ia duduk di atas sofa di ruang tamu Aluna. Memijit pelipisnya yang sedikit pening. Tugas Ospek memang menguras tenaganya.

"Dia udah bawa motor?"

Mata Liara terbuka, ia menatap Aluna sejenak.

"Kemarin baru dibeliin Kak Zello."

Dahi Aluna mengerut. "Zello di sini?"

Liara mengangguk. "Mbak enggak tahu?"

Aluna menggeleng. Zello tidak mengatakan apa pun pada dirinya. Semenjak diwisuda bulan Mei lalu, Zello sibuk dengan pekerjaannya di kantor papanya. Karena Zello tinggal di Jakarta dan Aluna sendiri masih meneruskan kuliahnya di Surabaya, mereka terpaksa menjalani long distance relationship selama hampir dua tahun ini.

"Aku enggak tahu Ospek semenyiksa ini. Padahal ini era milenial, mana zaman Ospek kayak gini. Di luar negeri kayaknya enggak gini," gerutu Liara.

"Karena kebudayaan kita beda, berikut sifat dan kebiasaan juga kurikulum pendidikan setiap negara enggak sama. Nikmati aja, Ra. Asik, kok, Ospek itu, someday, kamu bakal rindu saat-saat Ospek yang menyiksa. Rindu ngerjain tugas Ospek yang segunung, kalau kamu udah semester tua kayak aku gini. Haha ... tapi emang, sih, Ospek itu enggak enak, kalau bisa, ya, emang harus dievaluasi."

"Gitu? Tapi, rasa-rasanya enggak perlu banyak tugas, deh, Mbak. Apa faedahnya?"

"Ya, buat latihan kalau nanti dosenmu ngasih banyak tugas. Gitu, sih, kata senior dulu. Dosen emang bukan Tuhan, tapi salah satu penentu kapan kita bisa lulus. Kamu tahu, enggak? Ada kating aku yang enggak lulus-lulus padahal udah semester 13, hanya karena dia ada masalah sama dosen."

"Bisa gitu?"

"Ya, emang, kadang-kadang masalah pribadi sering dicampuradukkan sama kepentingan akademis. Ya, jadi mahasiswa, kamu harus siap ngadepin bermacam-macam dosen. Misalnya, dalam seminggu satu dosen bisa ngasih 3 sampai 4 tugas, dan harus siap kalau dikumpulkan minggu berikutnya."

"Astagaaa ... tapi tetap aja Ospek yang memberatkan maba itu enggak dibenarkan."

"Iya, kamu bener. Ospek yang terlalu berat dengan alasan buat latihan kalau udah ngadepin dosen juga bukan hal yang dibenerkan, tapi, ya, mau gimana lagi? Udah aturan kampusnya gitu, nikmatin aja, sih, selama enggak ada tindakan kriminal, masih bisa ditoleransilah, ya?"

"Iya juga, sih. Ya, mau gimana lagi coba? Ternyata, kuliah sememusingkan ini, ya, Mbak?"

Aluna menggeleng sambil terkekeh. "Enggak lebih pusing daripada urusan hati, kok, bawa santai, sih. Nikmatin aja, Ra."

"Urusan hati sama Kak Zello, ya? Haha, baper cie ...."

"Raaa ...."

Liara terbahak, ia memandang wajah Aluna yang tampak memerah karena malu. "Aku ke kamar dulu, deh, Mbak."

Aluna mengangguk. Ia membiarkan Liara pergi ke kamarnya. Hampir satu bulan ini Liara tinggal di Surabaya bersamanya. Ia cukup senang Liara di sini, anak itu asik dan bisa diajak kerjasama dengan baik. Liara juga mudah beradaptasi, meski perempuan itu jarang sekali bercerita masalah pribadi padanya. Tapi, tidak masalah bagi Aluna.

***

Liara membuka matanya, jam di dinding menunjukkan pukul empat pagi. Segera, ia bergegas ke kamar mandi untuk persiapan berangkat Ospek. Ia harus sampai di kampus pada pada jam setengah enam pagi, dan Arsyad sudah berjanji akan menjemputnya.

Liara mengambil ponselnya, mencari kontak Whatsapp milik Arsyad yang ia beri nama menjadi Bangsat.

Liara: Woi, Syad. Bangun lo, mandi, terus subuhan, abis itu kita berangkat. Awas lo telat, gue jadiin perkedel lo.

Ia terkekeh ketika membaca pesannya untuk Arsyad, lalu segera bergegas ke kamar mandi setelah meletakkan ponselnya di atas kasur, tak lupa mematikan sambungan data agar Arsyad tak bisa menghubunginya lewat WA.

Selesai melakukan semua ritual mandi, salat subuh dan menata barang bawaannya. Tas ransel hitam, baju kemeja putih, rok span hitam sebatas lutut dan rambut yang disanggul rapi, Liara bergegas keluar kamarnya. Ia menuruni tangga menuju ruang tamu, Aluna sudah duduk di sana sambil memainkan ponselnya. Dua buah kotak bekal makanan tampak tertata di atas meja.

"Loh, Mbak. Kok, udah bangun?"

"Ini aku buatin bekal, buat kamu sama Arsyad."

"Hah, repot-repot amat, Mbak. Aku jadi sungkan ini."

Aluna tertawa. "Enggak usah sungkan, sih. Santai aja. Udah dijemput Arsyad?"

"Bentar lagi kayaknya."

Suara klakson sepeda motor tampak terdengar. Liara menggerutu, bagaimana bisa dengan tidak sopannya, di pagi buta seperti ini Arsyad membunyikan klakson motornya di depan rumah orang?

"Kamu berangkat gih."

"Ya, udah, Mbak. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Liara membawa dua kotak makanan itu sambil membuka pintu rumah Aluna. Di depannya ada dua laki-laki, satunya berseragam sama dengannya, satunya berpakaian santai dengan wajah mengantuk dan rambutnya yang tampak belum tersisir rapi. Wajah mereka serupa meski tak sama, menandakan mereka adalah dua orang saudara satu darah.

"Loh, ngapain Kak Zello ikut ke sini?" Liara menaikkan sebelah alisnya.

"Ada yang ngambek," jawab Zello singkat, ia lalu masuk ke dalam rumah untuk bertemu Aluna yang marah karena ia tak memberitahu kedatangannya di Surabaya.

"Ngambek? Mbak Aluna? Kenapa bisa?"

Arsyad mengangkat kedua bahunya. "Mana gue tahu. Cewek, kan, ribet."

Liara mendengus, Arsyad menyerahkan helm yang tadi dipakai Zello untuknya.

"Jadi, gue ribet, dong?"

"Itu lo tahu."

"Lo emang bener-bener sialan, ya? Itu mulut dimanisin dikit, kan, bisa."

"Lagian, cewek emang biasanya, kan, ribet. Ya, udah, sih. Syukurin aja anugerah jadi cewek plus gelar ribetnya."

"Bangsat emang lo tuh."

Arsyad terkekeh, ia mulai menyalakan mesin motornya dan meninggalkan rumah Aluna. Membiarkan Liara memegang ujung seragamnya sebagai pegangan. Begitulah Liara—sahabatnya, yang tidak pernah mau memeluk dirinya saat naik motor, ujung jaket atau bajunya selalu menjadi sasaran Liara untuk berpegangan.

***

"Itu tadi Mas yang bawa kamera keren, ya, Ra?" kata Tita dengan wajah berbinar. Hukum alam memang. Saat Ospek begini, eranya naksir-naksiran sama kakak tingkat. First impression karena ganteng, keren atau supel. Kalau bisa dekat, ya ... lanjut, kalau tidak bisa, ya ... cari yang baru.

"Lebih kerenan Mas yang bawa toa," seloroh Rissa sambil terkikik. Ia ingat salah satu panitia korlap berambut jabrik.

Liara berdecak. "Di mana-mana Pres BEM itu yang lebih ganteng."

"Aduh, Raa ... Pres BEM kita cungkring gitu. Masa ganteng, sih?" protes Tita tidak terima.

Liara tertawa kecil, matanya fokus pada salah satu petugas BNN—Badan Narkotika Nasional provinsi yang sedang memberikan penyuluhan seminar anti narkoba di depan sana, yang sejenak membuatnya mengingat tentang Lionel.

"Eh, tapi gantengan cowok yang tadi jadi komandan upacara pembukaan, sih. Duh, siapa, ya, namanya? Aku lupa," ucap Tita, ia berusaha mengingat-ingat sosok laki-laki jangkung yang tadi menjadi komandan upacara. Salah satu mahasiswa baru juga, sama seperti mereka.

"Arsyad maksudmu?" tebak Liara mata hazel green-nya menatap Tita penasaran.

"Nah, iya ... itu. Kok, kamu inget, sih?"

Liara mengangkat kedua bahunya. Tak ingin membahas lebih lanjut, matanya menyusuri seisi ruangan itu, mencari keberadaan Arsyad. Dan ia menemukan Arsyad ada di kelompok Mohammad Hatta, berada di deret paling depan, dan sibuk memperhatikan pemateri. Liara tersenyum tipis, Arsyad tampak lebih manusiawi jika serius seperti itu.

"Raaa ... kok, malah ngelamun?" Tita membuat Liara terkejut.

"Siapa yang ngelamun?" elak Liara, ia berhenti melihat ke arah Arsyad dan sibuk dengan buku catatan kecil miliknya.

"Alah pura-pura, liatin tuh cowok, kan? Ngaku!" Rissa menyambar sambil menahan tawa.

"Dih, sok tahu kalian."

"Udah ngaku aja!" desak Tita, Liara menghela napasnya, menatap dua teman barunya itu malas, ia ketahuan rupanya.

"Apaan, sih? Udah, diem aja kalian. Entar kena tegur."

"Yeee ... ngelak lagi. Haha ...."

"Tita, diem, deh."

Tita mati-matian menahan tawa, takut kena marah oleh panitia apabila ia kelepasan tertawa.

"Btw, ya, Ra. Mata kamu itu, kan, ada ijo-ijo cokelatnya gitu, ya. Kamu enggak pakai softlens, kan?" Rissa bertanya dengan serius, wajahnya menunjukkan raut yang penasaran.

"Enak aja, pakai softlens, ya, kena marah panitialah, kan, enggak boleh."

"Terus asli, dong?" giliran Rissa yang bertanya.

"Asli, keturunan dari keluarga Papa," kata Liara pelan, rasanya lidahnya kaku menyebut kata papa.

"Hah? Bule, dong, Ra? Bule mana, Ra?"

Liara menoleh sekilas pada Tita. "Italia."

"Wuih, blasteran, pantes cakep."

Liara menggeleng-gelengkan kepalanya, bukan rahasia lagi, orang-orang yang berdarah campuran dengan gen Eropa atau Amerika akan lebih dihargai dan dianggap memiliki paras yang cantik di negeri ini, watak inlander dari masa penjajahan masih menganak pinang sampai saat ini. Bukan Liara tidak bangga pada leluhurnya yang dari Italia, hanya saja, Liara lebih senang dianggap sebagai pribumi asli ketimbang blasteran.

***

Badan Liara rasanya remuk, ia baru saja berebut dengan mahasiswa lainnya untuk memotret denah kampus, sebagai tugas untuk besok. Panitia Ospek memberi mereka tugas untuk membuat denah kampus dan dikumpulkan besok pagi.

Liara celingukan mencari Arsyad, laki-laki itu bilang, ia harus menunggunya di gerbang kampus. Namun, sudah lima menit Arsyad belum juga tampak. Sementara hari sudah hampir magrib.

"Dek, belum pulang?" tanya seseorang, membuat Liara menoleh. Ia mendapati seorang laki-laki beralmamater biru, memakai pita berwarna hitam—tanda ia adalah sie keamanan.

"Belum, Kak."

"Oh, nge-kost apa gimana?"

"Di rumah sodara."

Liara menjawab acuh tak acuh.

"Irza."

Liara menatap tangan yang diulurkan pemiliknya. Lalu menyambutnya dengan terpaksa. Ia tidak ingin dicap tidak sopan pada kakak tingkat.

"Liara."

"Kamu ada keturunan bule?"

Liara mengembuskan napasnya. Ia enggan mengakui kenyataan itu, selalu membuatnya ingat sang papa. Tapi, kenyataan memang tidak bisa dipungkiri, dan ia benci fakta itu. Dalam sehari, Liara sudah mendapatkan pertanyaan ini berkali-kali, baik dari senior maupun teman seangkatan.

"Papa saya orang Italia."

"Wow."

Irza berdecak kagum, bertepatan dengan kedatangan seseorang yang sudah Liara tunggu dari tadi. Seorang laki-laki dengan sebuah motor yang ia kendarai.

"Lo lama banget, sih," gerutu Liara begitu Arsyad menghampirinya.

"Kan beda fakultas dan gue musti antre di parkiran buat keluar."

Liara berdecak, ia lalu mengambil helm dan naik ke atas motor Arsyad. Mereka memang beda fakultas, Liara mengambil jurusan Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya, sedangkan Arsyad mengambil jurusan Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi. Beberapa kegiatan Ospek memang diadakan bersama di gedung Gema, seperti acara seminar tadi.

"Saya duluan, Kak," pamit Liara, sekadar basa-basi.

"Siapa?" Arsyad bertanya dari balik helmnya.

"Kating gue."

"Ngedeketin lo?"

"Mana gue tahu."

"Cowok jaman sekarang, ya. Cantik dikit dimodusin."

"Spion lo masih berfungsi buat ngaca, sih," kata Liara ketus.

Arsyad tertawa, sisa perjalanan menuju rumah Aluna mereka habiskan untuk menceritakan Ospek hari pertama.

"Gue di sini dulu, ya, sekalian ngerjain tugas Ospek," kata Arsyad begitu mereka tiba di rumah Aluna.

"Ya, udah. Ayo!"

Arsyad dan Liara berjalan memasuki rumah yang tampak sepi. Beruntung Liara membawa kunci rumah, ia menduga Aluna sedang pergi.

"Laper enggak lo?" tanya Arsyad begitu mereka tiba di dalam rumah, hendak melangkah ke ruang tengah.

"Yailah, lo ngapain nanya? Gue mau McD paket panas 2 sama tambah milonya yang besar, ya."

Arsyad berdecak. "Eh, lo meres gue anjir. Gue aja belum nawarin."

"Halah, sekali-kali."

"Berkali-kali ...," koreksi Arsyad. Liara tertawa, sampai-sampai ia tidak sadar, jika di dalam rumah ini ada penghuninya selain ia dan Arsyad. Berbicara dengan Arsyad memang selalu membuat suasana hatinya lebih baik.

"Kalian bisa diem, enggak?" ucap Zello sambil menatap tajam dua mahasiswa baru yang sedang berdebat soal makanan itu. Aluna tampak sedang tidur di bahu laki-laki itu, dengan Zello yang memeluknya sambil menonton televisi, dari tadi pasangan itu berada di dalam rumah, mengobrol dan menonton televisi. Membuat Arsyad melihatnya dengan tatapan jahil.

"Makanya cepet dihalalin, udah enggak tahan, kan, lo? Mama sama Papa ngelihat, mampus lo, Bang," ucap Arsyad mendapat pelototan dari Zello.

Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki itu menggendong Aluna, membawa tunangannya itu ke kamarnya sebelum ia keluar lagi.

"Gue besok balik ke Jakarta."

"Loh, kirain mau langsung ke KUA terus tinggal di sini," cibir Arsyad, Zello menendang kaki adiknya itu.

"Mulut lo lama-lama minta dibungkem, ya?" kata Zello menatap sebal ke arah adiknya.

"Enggak bareng? Naik apa lo?"

"Dijemput Rega," balas Zello, laki-laki itu lalu memilih pergi, daripada kepalanya bertambah pusing memikirkan sang adik. Rega adalah teman Zello yang tinggal di Surabaya.

"Lo enggak sopan, ya, sama Abang lo."

"Bodo ... udah lo kerjain tugas gue."

"Ini fotonya, lo gambarin yang bener."

Arsyad mengangguk, sembari menunggu pesanan mereka diantar ojek online, mereka bertukar tugas. Liara mengerjakan artikel milik Arsyad dan laki-laki itu mengerjakan tugasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro