[3] Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bisakah kita bersama-sama menggenggam seluruh luka yang dilahirkan semesta? Untuk kita urai dan kita hilangkan selamanya?

"Sialan!" maki Arsyad sewaktu ia membuka tudung saji di atas meja makan yang berada di dapur kontrakan dan tak satu pun makanan masih ada di atasnya. Laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut hitamnya itu menatap malas pada objek yang ia pandangi.

"Woi, kampret! Dannie, Fajar, sini lo pada!"

Arsyad berteriak di penjuru dapur kontrakan, membuat kedua temannya lari tunggang langgang ke dapur. Dannie sedang tidak memakai kaus, karena ia baru saja selesai mandi, dan Fajar baru saja mengerjakan laporan praktikumnya di kamar—terbukti laki-laki itu masih memakai kacamata tebalnya—matanya minus enam.

"Lo kenapa, sih, teriak macem Tarzan yang sebulan enggak makan?"

Fajar mengerutkan dahinya. "Dannie, kalau Tarzan enggak makan sebulan, ya, mana bisa teriak. Lah, wong ora ono asupan gizi."

"Siapa yang ngabisin sup ayam gue? Lo berdua ngaku, deh!" hardik Arsyad menatap dua orang temannya dengan tatapan intimidasi.

Fajar menggeleng-gelengkan kepalanya. "Emak aku mana pernah ngajarin nyolong makanan orang, bukan aku, ya, Syad. Aku baru pulang dari kampus langsung ngedekem di kamar ngerjain laporan," kata Fajar.

Mata Arsyad menyipit ke arah Dannie yang malah nyengir. "Gue tahu tersangkanya pasti lo, Dan. Kutu kupret lo, balikin enggak makanan gue?"

"Jadi, lo mau gue muntahin lagi makanannya?"

Fajar mengernyit jijik, ia memilih menyingkir dari dapur dan melanjutkan laporan praktikumnya. Fajar adalah teman satu kampus Arsyad dan Dannie yang baru dua bulan ini gabung dengan mereka di kontrakan, laki-laki itu jurusan biologi, Jawa tulen yang rumahnya ada di daerah Gresik. Sedangkan Dannie dan Arsyad hijrah dari Jakarta.

"Eh, Kecebong, siapa yang mau makan muntahan lo? Gue capek masak itu makanan dan lo seenak jidat ngehabisin makanan gue, ganti gak lo? Masakin gue sekarang. Gue laper! "

Dannie tertawa terbahak-bahak, lalu memutar tubuhnya membelakangi Arsyad.

"Kalau lo mau diare selama seminggu, sih, enggak pa-pa," kata Dannie enteng.

"Motherfucker."

"Gue mau kencan sama Nandira. Bye, Syad. Entar gue beliin Ka Ep Ci, deh."

"Ka Ep Ci, your ass, Dan!"

Dannie ngacir dari dapur sebelum Arsyad murka, membuat laki-laki itu menyumpah serapahi temannya dengan segala umpatan yang isinya adalah absen dari hewan-hewan di Kebun Binatang Surabaya. Dannie memang selalu menghabiskan jatah makannya.

Arsyad menghela napasnya, ia melirik jam di pergelangan tangannya, hadiah ulang tahun dari Liara setahun lalu. Ngomong-ngomong tentang Liara, Arsyad segera mengambil ponsel di saku kemejanya dan mengirim pesan pada Liara yang berisi ajakan untuk nonton—yang sebenarnya Arsyad meminta Liara untuk menemaninya makan malam, karena saat ini ia sudah sudah sangat kesal setelah Dannie menghabiskan semua sup ayam berikut nasi yang ia tanak di magic com.

***

Arsyad sudah berdiri di depan rumah Aluna. Ia mengetuk pintu rumah Aluna, menunggu penghuni rumah membukanya. Arsyad sudah rapi dengan kaus polo berwarna merah darah dan jeans hitam yang melekat di kakinya.

"Liara ada, Mbak?" tanya Arsyad pada seorang perempuan muda—seumuran Liara, mungkin pembantu baru di rumah Aluna, karena baru sekali ini Arsyad melihatnya, pembantu lama Aluna seorang ibu paruh baya.

Sejenak, perempuan itu melongo melihat Arsyad, menatap laki-laki itu dari atas hingga bawah secara berulang-ulang, membuat Arsyad menahan tawanya melihat tampang konyol perempuan di depannya.

"Oalah, Gusti, ini malaikat dari mana? Ganteng tenan, mirip artis Korea."

Perempuan itu bergumam membuat Arsyad terbahak tak bisa menahan tawanya lebih lama.

"Liaranya ada, kan?" tanya Arsyad lagi setelah bisa menguasai diri. Perempuan itu mengangguk antusias lalu mempersilakan Arsyad masuk.

"Ayo, Mas Eun Woo, masuk dulu. Mbak Liaranya di kamar."

Dahi Arsyad mengernyit, ia menatap aneh pada sosok di depannya itu. Perempuan yang mengenakan celana training dan kaus bergambar pokemon itu malah nyengir.

"Enwo? Nama gue bukan Enwo," koreksi Arsyad.

"Eun Woo, bukan Enwo. Tapi Masnya kayak Cha Eun Woo, artis Korea yang guanteng itu. Hehe, kenalin aku Nur."

Arsyad menyambut uluran tangan perempuan itu. "Ya, ya ... deh, terserah. Gue Arsyad, boleh gue tahu Liara di mana?"

Nur mengangguk. "Oh, silakan, Mas. Dari tadi jam tiga Mbak Liara enggak keluar kamar."

"Oke, gue masuk dulu."

"Iya, Mas Eun Woo."

Arsyad geleng-geleng kepala, ia segera menuju kamar Liara di lantai dua. Laki-laki itu mengetuk kamar perempuan itu berkali-kali, namun tak kunjung ada sahutan. Karena mendadak perasaannya tidak enak, Arsyad segera memutar knop pintu yang ternyata tidak dikunci.

Ia membuka kamar Liara perlahan dan mendapati kamar itu dalam keadaan gelap. Karena khawatir, Arsyad mencari saklar lampu dan segera menyalakan lampu di kamar Liara. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Liara yang tergeletak di atas kasur—sepertinya ia tidur.

"Astaga kebo!"

Arsyad menghela napasnya lega, karena tak terjadi hal apa pun pada Liara. Namun, kelegaannya tak berlangsung lama, manakala ia melihat noda merah di atas kasur bergambar tokoh kartun SpongeBob—kartun kesukaan Liara.

Arsyad mendadak panik, ia mengedarkan pandangannya lagi, dan beberapa noda darah juga tercecer di atas lantai. Dengan tangan gemetar, ia memegang pergelangan tangan Liara. Laki-laki itu terkejut bukan main saat mendapati banyak luka sayatan di pergelangan tangan Liara.

"Damn it!" umpat Arsyad, ia segera mengguncang tubuh Liara agar segera bangun.

"Raaa ... lo enggak mati, kan? Shit!"

Liara yang menerima guncangan mendadak di tubuhnya, akhirnya membuka mata. Ia terkejut bukan main saat mendapati Arsyad tengah melotot di depannya, wajah Arsyad memerah menahan emosi, pandangannya menusuk Liara tepat di kedua mata perempuan itu. Seakan siap membunuh Liara dengan tatapan matanya.

"What the hell are you doing, Raaa?" teriak Arsyad, membuat Liara terkejut. Ia segera duduk dan menatap Arsyad dengan takut, sialan rahasianya pasti terbongkar di depan Arsyad.

"Apaan, sih, lo? Teriak-teriak di depan gue, lo pikir gue budeg?"

Arsyad yang sudah geram, mencengkeram kedua bahu Liara. "Lo enggak budeg, tapi bego. Lo apain tangan lo, hah?"

"Gu—guee ...." Liara tergagap, ia bingung harus menjawab apa. Perempuan itu tak pernah memprediksi Arsyad akan mengetahui kebiasaan buruknya. Selama ini tidak ada satu pun yang mengetahui tentang tindakannya. Ia memendamnya dan menikmatinya sendiri.

"Jawab!"

Liara menahan napasnya. Tangannya mendadak dingin. Sialan, ia sangat gugup sekarang.

"Shit! Gue enggak bakal makan lo. Jangan bersikap seolah lo adalah terdakwa yang bakal dijatuhi hukuman mati."

Arsyad menghela napasnya, melepas cengkeramannya di bahu Liara. Ia duduk membelakangi Liara.

"Sejak kapan?"

"Apa?"

"Lo ngelukain diri lo sendiri."

Liara hampir menangis, ia memeluk dirinya sendiri. Ingatan tentang papanya mendadak masuk ke dalam dirinya, wajah marah Arsyad tadi membuat Liara mengingat papanya saat dulu kerap menyiksa mama dan dirinya. Membuat dada Liara mendadak sesak.

"Raaa ...."

Arsyad berbalik, ia mendapati Liara menangis terisak sambil memeluk dirinya sendiri.

"Astaga, Ra."

Laki-laki itu bergerak untuk memeluk Liara, melihat Liara yang rapuh seperti ini membuat Arsyad mengepalkan kedua tangannya. Ada naluri untuk melindungi Liara yang tumbuh semakin besar. Liara mungkin satu-satunya perempuan yang tanpa sadar sudah memengaruhi banyak hal dalam hidupnya, termasuk keputusannya untuk jauh dari keluarga dan kuliah di Surabaya. Pengaruh besar Liara yang tak pernah disadari benar oleh Arsyad.

"Ka, gue ... gue takut, Raka."

Liara menangis dalam pelukannya. Panggilan itu, Raka ... membuat Arsyad paham, Liara sedang membutuhkannya saat ini.

"I'm here. Lo enggak sendiri. Ada gue."

Liara tak mengatakan apa pun lagi, ia memilih bungkam, berada di pelukan Arsyad membuatnya bisa melupakan sejenak, seluruh luka yang pernah ada di dalam hidupnya. Pesan ancaman dari papanya yang mengatakan akan terus mengganggu hidup sang mama membuat Liara semakin depresi dengan hidupnya.

"Lo mau pizza?"

Liara tak kunjung menjawab, namun Arsyad tahu Liara belum makan, ia berinisiatif memesan satu box pizza dan mengurungkan niatnya untuk hangout ke mal malam ini dengan Liara.

***

Menghabiskan malam sabtu dengan satu kotak Pizza dan sebuah film Percy Jackson and Olympians: The Lightning Thief yang sudah ditonton berkali-kali oleh mereka—dan menjadi film wajib bagi Liara saat perempuan itu merasa sedih, bukanlah hal yang buruk. Meski bagi Arsyad, film itu sudah sangat membosankan. Namun, memperbaiki suasana hati Liara adalah hal terpenting saat ini.

"Gue enggak tahu, kenapa Logan Lerman putus sama Alexandra Daddario, padahal mereka cocok," gumam Liara sembari memakan satu potong Pizza. Ia mencoba menghindari topik tadi.

"Emang mereka benar-benar pacaran?"

Liara mengangkat kedua bahunya. "Kata paparazzi, sih, gitu."

"Lo kebanyakan nonton acara gosip, ck," decak Arsyad, Liara terkekeh, kembali mengunyah pizzanya. Tapi, Arsyad tahu, di balik tawa itu, terselip luka yang dalam yang disembunyikan Liara dari semua orang.

"Saat gue panggil lo Raka, berarti gue lagi butuh lo," ucap Liara tiba-tiba.

Ia menghela napasnya, merangkul bahu Liara, memberi perempuan itu dukungan untuk selalu kuat menghadapi masalahnya. Arsyad tahu soal itu.

"Gue udah ngelakuin hal itu sejak kelas sepuluh, saat itu gue nyaris bunuh diri, tapi gue selalu inget sama Mama gue, akhirnya ngelukain badan gue sendiri jadi opsi terbaik buat nyalurin semua kekalutan gue."

Arsyad mendengarkan dengan saksama. Ia membiarkan Liara mengutarakan apa yang dirasakannya, tanpa memotong satu pun ucapannya.

"Enggak ada yang tahu hal ini selain lo, enggak juga Kak Lio, dan gue pesan ke lo jangan sampai Kak Lio atau Mama gue tahu. I trust you, Syad."

"Tapi itu bahaya buat lo, Ra. Mana bisa gue diem doang ngelihat tindakan gila lo?"

Liara menghela napasnya. "Saat ini, itu hal terbaik yang bisa gue lakuin."

Arsyad menghela napasnya, ia ingat dengan Dannie, teman brengseknya itu mungkin saja bisa membantu.

"Udah malem, gue ngantuk."

"Lo ngusir?"

"Kalau lo tahu diri lo bakal pulang, gue punya tetangga yang hobi ngegosip, apa kata mereka kalau tahu jam sepuluh lo masih di rumah ini?"

Arsyad membuang napasnya. Ia berdiri dari sofa di ruang tengah yang ia duduki di rumah Aluna.

"Gue pulang. Jaga diri baik-baik, jangan bertindak bodoh lagi!"

"Gue bukan bocah yang enggak bisa jaga diri."

"Ya, ya, ya ... lo udah gede sampe bisa nyiletin tangan sendiri."

Liara mendengus, ia mengisyaratkan Arsyad untuk segera pergi. Rasa-rasanya, hari ini begitu melelahkan.

***

Arsyad mencomot gorengan yang dibeli oleh Dannie. Temannya itu baru pulang dari acara kencannya lima belas menit yang lalu saat jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Fajar sibuk dengan laptop di kedua pahanya, mungkin bermain game karena laporan praktikumnya sudah selesai beberapa jam yang lalu. Nasib anak biologi sepertinya, selalu disibukkan dengan praktikum dan laporannya.

"Minggu depan ke Semeru, yok. Gue pengin ke sana," kata Dannie sambil memakan tempe goreng. Di antara mereka bertiga, Dannie dan Arsyad memang sering mendaki gunung di daerah Jawa dan sering menghabiskan jatah bolos mereka, berbeda dengan Fajar yang merupakan anak alim yang menjunjung IPK tinggi dan berbagai macam prestasi non akademik lainnya. Tapi, sesekali Fajar juga ikut mendaki saat sedang suntuk.

"Jangan pas weekend, rame. Bolos aja, ke sana hari kamis."

"Bolos gue udah limit, gila lo, entar gue gak bisa ikut UAS."

Dannie berdecak, jatah tiga kali bolos per mata kuliah sudah ia gunakan semuanya, dan tak mungkin ia menambah bolos lagi kalau masih ingin lulus semua mata kuliah semester ini.

"Ini bahkan belum UTS dan jatah bolos lo udah habis? Lo emang bego, Dan."

Dannie malah cengengesan lalu menyambar kopi hitam Arsyad dan meminumnya dengan wajah tak bersalah.

"Kopi gue, Bego!"

"Gue pinter, buktinya hafal teorinya Ivan Pavlov pas kemarin ada kuis. Berarti, kan, gue enggak bego."

Arsyad memegang kepalanya dan mengacak rambutnya gemas, ia ingin memaki Dannie saat ini juga. Namun, ia ingat satu hal yang ingin ia tanyakan pada Dannie, semoga saja Dannie mempunyai jawabannya, dan tidak mendadak melupakan apa pun tentang teori Psikologi yang sudah ia pelajari, walau Arsyad sedikit tidak yakin dengan Dannie dan segala keajaiban tingkahnya. Sementara Dannie mulai menyalakan rokok miliknya.

"Lo tahu Liara, kan?" tanya Arsyad, Dannie manggut-manggut, mengingat perempuan bertubuh tinggi kurus dan berambut cokelat.

"Emang kenapa?"

"Gue baru tahu kalau dia suka banget nyiletin tangannya, Dan," kata Arsyad pada Dannie.

"Serius? Self harm gitu?"

"Ya, mana gue tahu namanya."

Dannie diam sejenak, mulai berpikir. Seakan ingat sesuatu, ia mulai mengatakannya pada Arsyad.

"Dosen gue pernah ceritain kasus kayak begini, dan si pasien itu sembuh setelah ada cowok yang mau nikahin dia."

"Bisa gitu?"

"Iya. Karena dia butuh orang buat berbagi, biar enggak dipendem sendiri. Dan, kalau jadi suami, kan, bisa setiap saat ada di deket dia, mengingat cerita lo tentang gimana keadaan keluarganya. Gimana kalau lo cariin Liara suami?" kata Dannie, dengan ide gilanya tentang mencari calon suami untuk Liara. "Eh, nggacor aja mulut gue. Enggak gitulah, lo bawa ke psikolog aja biar dapat diagnosis dan penanganan, enggak bisa asal."

"Tapi, kayaknya ide soal suami itu bagus. Liara mana mau ke psikolog?" kata Arsyad mengingat apa yang dikatakan Liara tadi.

"Ngaco lo. Enggak gitu, weh. Yang bener bawa ke psikolog atau psikiater."

Arsyad diam untuk beberapa saat. Ia bersyukur setidaknya saat ini otak Dannie tak sedang bego sehingga bisa memberinya solusi, walau idenya sangat ekstrem, namun memang ada benarnya juga. Seseorang seperti itu yang pasti membutuhkan orang untuk berbagi setiap saat.

"Kalau gue yang nikahin dia?" tanya Arsyad, entah ia sadar mengatakannya atau tidak.

Bibir Dannie terbuka, ia melempar puntung rokoknya ke dalam asbak. Memandang Arsyad tak percaya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro