[6] Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan pernah merasa hampa saat kita masih mampu menciptakan keramaian, jangan pernah merasa terluka saat aku masih di sini, menawarkan obat paling mujarab untuk kembali tertawa.

Seorang cowok berseragam SMA berlari tunggang-langgang di jalanan sepi dekat pemukiman kumuh. Ia berusaha menghindari beberapa orang yang tengah mengejarnya. Cowok itu baru saja mengikuti sebuah tawuran yang berujung kekalahan pada kelompok SMA-nya. Ia terus berlari, sesekali menoleh ke belakang, memastikan cowok-cowok dari SMA Dr. Danudirja Setya Budi tidak lagi mengejarnya. Ia berlari di sekitar gang kumuh yang ada di pinggiran kota.

Arsyad—cowok itu menyeka keringat yang terus turun membasahi seragam putih abu-abu miliknya yang tampak lecek dan kotor. Ia menarik napas di sela larinya, berharap seseorang bisa menolongnya. Mungkin ini salah satu dosanya pada sang mama, karena telah berbohong pada mamanya perihal tawuran siang ini.

"Woi, sialan! Berhenti lo!" teriak gerombolan cowok-cowok SMA Dr. Danudirja Setya Budi yang membuat Arsyad mempercepat larinya.

"Woiiii polisiiiii di belakang, lari lo pada woiii polisi datenggg ...."

Seorang cewek berseragam batik berteriak di pinggir jalan memberitahu jika ada polisi yang datang, cewek itu mengendarai sepeda motor matik. Gerombolan cowok SMA Dr. Danudirja Setya Budi tampak panik. Mereka membubarkan diri, masuk ke gang kumuh di pinggir jalan. Sementara Arsyad tampak bingung dan panik, ia menoleh ke belakang tubuhnya, melihat seorang cewek yang wajahnya cukup familiar sedang nyengir ke arahnya.

"Naik," kata cewek itu. Arsyad melihatnya dengan bingung.

"Eh, Bego, cepetan. Naik lo! Mau lo mati digebukin mereka?"

Arsyad menggeleng. Ia gelagapan, lalu menghentikan larinya bertepatan dengan cewek yang naik sepeda motor matik berwarna hitam juga berhenti. Tanpa banyak bicara, Arsyad langsung menaiki sepeda motor itu, membiarkan cewek itu membawanya pergi.

***

"Lo bego apa gimana, sih? Apa kerennya tawuran coba?" tanya cewek itu—Liara dengan wajah kesal.

"Harga diri SMA guelah."

Liara mendengus. Ia memasangkan plester bergambar gajah dan jerapah berwarna pink di dahi Arsyad yang terluka, mungkin terkena lemparan batu atau sejenisnya. Liara tidak tahu.

"Lo yang kemarin dibawa Abang gue, kan, yang pas kita belajar bareng di rumah gue?" tanya Arsyad. Ia hanya memastikan saja. Walau ia sudah tahu, sekadar basa basi tak masalah.

"Bagus, deh, kalau lo inget. Coba lo bukan adeknya Kak Zello, ogah gue nolongin."

"Jadi, lo enggak ikhlas?"

Liara membuang napasnya, ia mengamati taman kompleks rumah Arsyad yang tak begitu ramai, hanya ada beberapa anak yang bermain perosotan dan ayunan di sana. Sebelum mengantar Arsyad pulang, ia mengobati luka cowok itu terlebih dahulu.

"Menurut lo?" Liara balik bertanya. Arsyad tersenyum tipis.

"Kalau lo enggak ada, gue udah mati kali digebukin tuh anak-anak."

"Bagus kalau lo mati. Gue kasihan sama nyokap lo. Beliau orang baik, tapi punya anak kayak elo. Kakak lo juga orang lurus setahu gue. Nah, lo kenapa blangsak?"

Arsyad mengangkat kedua bahunya. Tidak ada alasan khusus, karena ia tipe orang yang memiliki solidaritas tinggi, ya, ketika sohib-sohibnya meminta bantuan untuk melawan anak SMA Dr. Danudirja Setya Budi ia mau-mau saja. Ia ingat cerita papanya semasa SMA yang lumayan nakal seperti dirinya saat ini, Arsyad pikir tidak masalah ia mengikuti jejak papanya.

"Lain kali gue pasti balas budi, gue akan selamatin lo kalau lo butuh bantuan gue."

Liara tertawa, ia melihat ke arah Arsyad yang tampak serius menatapnya. Seperti perkataannya adalah sebuah janji yang memang harus ditepati suatu hari nanti.

"Ya, ya, ya ... gue enggak butuh balas budi. Tapi terserah lo."

Arsyad tersenyum, ia melihat ke arah Liara, ucapannya adalah sebuah janji yang harus ditepati suatu hari nanti. Bagaimanapun, Liara sudah menyelamatkan nyawanya hari ini, dan sudah suatu keharusan ia membantu cewek itu suatu hari nanti.

"Jangan aduin gue sama Nyokap, ya?" Arsyad memasang wajah memelas, membuat Liara tersenyum miring.

"Gue pengin lihat ekspresi Tante Keya kalau ngelihat lo tawuran."

"Jangannn, Raaa ... gue bisa langsung dikirim ke pondok pesantren kalau Mama tahu."

Liara tertawa. Pada akhirnya ia tak pernah menceritakan kejadian itu pada siapa pun, termasuk Zello dan Keya—mama Arsyad.

***

Arsyad memejamkan matanya. Ia mengingat kejadian beberapa tahun lalu saat peristiwa yang membuatnya akhirnya akrab dengan Liara. Salah satu alasan paling kuat dirinya ingin menikahi Liara adalah karena perempuan itu pernah menyelamatkannya dari gerombolan anak SMA yang dulu ingin menghabisinya, bukan semata ia ingin menjaga Liara. Ia laki-laki, pantang ingkar janji. Jika memang dengan menikahi Liara bisa menyelamatkan nyawa perempuan itu, ia akan melakukannya. Toh, Liara bukan orang asing, ia mengenal Liara dengan baik. Dan, ia akui, hanya Liara yang bisa memahami dirinya sama baiknya dengan mama yang memahaminya.

"Syad."

Mama memanggilnya. Wanita itu datang dengan setoples cookies dan susu putih, melihatnya, Arsyad ingin tertawa. Ia tampak seperti seorang bayi kecil. Di mata mamanya, ia memang selalu terlihat seperti anak kecil.

"Hai, Ma."

Keya tersenyum kecil, ia meletakkan makanan itu di atas nakas di kamar Arsyad. Sore tadi anaknya pulang ke rumah dan langsung berbicara empat mata dengan papanya, sampai pukul delapan baru keluar dari ruang kerja papanya. Dua orang yang disayanginya itu bahkan melewatkan makan malam.

"Kamu yakin, Bang?" tanya Keya, ia sudah mengetahui apa yang dibicarakan oleh anak dan suaminya.

"Enggak pernah seyakin ini, Ma."

"Kamu sayang sama Liara?"

Arsyad melihat ke arah mamanya yang duduk di pinggiran kasur. Laki-laki itu beringsut ke arah mamanya, menyandarkan kepalanya di pangkuan wanita itu.

"Aku belajar dari Mama dan Papa."

"Enggak semua pernikahan tanpa cinta akan berhasil, Syad. Jangan berpikir sesempit itu. Nikah itu bukan perkara yang gampang, kamu tahu itu, kan? Kalian juga masih muda."

"Ma, aku tahu risikonya. Dan aku paham nikah itu enggak gampang. Mama hanya harus kasih restu dan doain aku, oke?"

Keya mengangguk pasrah, ia tak bisa melarang Arsyad setelah mendengar cerita Arsyad tentang keadaan Liara. Mungkin takdir keluarganya yang banyak menikah di usia muda. Ia hanya bisa berdoa semoga semuanya baik-baik saja.

"Lalu, kapan rencananya kamu akan nikah?"

"Secepatnya. Nikahnya sederhana aja, ya, Ma? Kan, aku sama Liara masih kuliah. Enggak perlu pesta mewah."

"Memang Liara sudah mau?" tanya Keya lagi, ia menatap jahil putranya.

"Maaaa ...."

Keya tertawa melihat Arsyad merajuk padanya. Anak laki-laki keduanya akan menikah di usia yang masih sangat muda. Ia tak menyangka Arsyad tumbuh menjadi sosok yang sangat bertanggung jawab. Keya bukan tipe ibu yang mengekang, ia mendukung apa pun keputusan anaknya, asal anaknya itu bisa bertanggung jawab.

***

Lio menatap rumah milik Aluna dengan hati campur aduk. Ia tak menduga Liara masih memiliki kebiasaan menyakiti dirinya sendiri. Dulu, semasa Liara SMA ia memang pernah memergoki Liara menyileti tangannya sendiri. Lio pikir Liara sudah sembuh, sebab adiknya itu mengaku sudah tidak pernah melakukan hal itu lagi semenjak ia memergoki Liara. Dan, kebodohan dirinya adalah memercayai Liara tanpa memastikannya langsung. Lio merasa benar-benar gagal menjadi seorang kakak.

"Gue udah enggak pernah gitu lagi, Kak. Maafkan gue, ya?" kata Liara saat itu, cewek itu menatap kakaknya setengah takut. Ruang keluarga yang biasanya menjadi tempat favorit Lio dan Liara berubah menjadi dingin.

"Lo enggak bohong, kan?"

"Enggak. Gue sayang sama lo dan Mama, enggak akan ngelakuin hal itu lagi. Maaf Kak, gue cuma enggak tahu harus gimana, makanya menyalurkan kekalutan gue dengan nyakitin diri gue sendiri."

"Maaf, Dek."

Lio memeluk adiknya. Seharusnya saat itu ia lebih memperhatikan Liara, bukan semakin tidak memedulikan Liara, Lio tidak pernah tahu, masalah keluarganya akan berdampak sebegini menyakitkannya untuk Liara. Seharusnya ia tahu, semestinya ia paham.

Lio mengusir bayangan itu dari kepalanya. Ia berjalan ke arah pintu rumah Aluna. Mengetuknya perlahan.

"Yaaa ... Masnya ada apa?" kata seorang perempuan seumuran dengan Liara di balik pintu rumah Aluna. Nur berdiri dengan wajah bingung.

"Lia ada?"

"Mbak Liara?"

Lio mengangguk, sementara Nur masih menatap Lio dengan tatapan kagum. Jika Arsyad itu tampan, seorang Lionel lebih tampan dari Mas Eun Woo-nya itu. Sepasang mata hazel green yang menawan, kulit putih dengan sedikit freckles di sekitar pipi dan hidung dan tinggi badan yang lebih tinggi daripada kebanyakan laki-laki Indonesia lainnya membuat Nur tak bisa mengalihkan pandangannya dari Lio.

"Masnya bule nyasar dari mana? Ganteng banget ... ya, Allah," kata Nur heboh. Lionel hanya tersenyum singkat.

"Gue orang Indonesia. Lianya ada, kan?" tanya Lio lagi. Nur mengangguk dengan semangat, ia mulai berpikir betapa beruntungnya hidup Liara dikelilingi oleh laki-laki tampan seperti Arsyad dan laki-laki bule di depannya ini.

"Eh, ayo, masuk Mas Bule. Mari, mari."

Lio mengikuti Nur masuk ke dalam rumah. Ia duduk di ruang tamu sambil menunggu Nur memanggil Liara.

"Kak ...."

Suara Liara menyentakkan Lio. Ia melihat adiknya yang bertambah kurus semenjak terakhir kali melihat Liara di pesta pernikahan Zello dan Aluna. Tanpa menjawab sapaan Liara, Lio berdiri, lalu melangkah menuju adiknya. Ia memeluk Liara dengan erat, merasa kegagalannya menjadi seorang kakak semakin bertambah setelah tahu keadaan Liara saat ini.

"Gue perlu bicara sama lo, Lia."

Liara mengangguk, ia mengajak Lio ke taman belakang. Suara pancuran air dan beberapa anggrek yang ditanam Almarhumah Mama Aluna akan membuat suasana lebih baik.

***

"Oalah, jadi Mas Bule ini kakaknya Mbak Liara toh? Pantes matanya mirip," kata Nur saat ia menyerahkan minuman dan cemilan untuk Lio.

"Monggo Mas, diminum."

"Terima kasih."

Nur tersenyum, lalu pergi meninggalkan kakak beradik itu sendirian.

"Nur Fatima, cucu pembantu Mbak Aluna sebelumnya. Aku salut sama dia Mas, dia kuliah juga sekaligus kerja sama Mbak Aluna. Keren, kan, dia? Tapi, ya, begitu, jangan heran, dia memang heboh kalau lihat cowok ganteng. Haha ...," kata Liara, mencairkan suasana menegangkan di antara ia dan Lionel.

"Hmmm ... bukan waktunya ngomongin itu. Sekarang waktunya ngomongin lo, Lia."

"Gue, kenapa?"

"Lo bohong sama gue. Lo bilang sudah sembuh. Mana? Lo malah semakin parah. Lo mau lihat Mama khawatir? Lo mau melihat gue menyesal seumur hidup kalau sampai sesuatu terjadi sama lo, Lia?"

Liara menghindari tatapan kakaknya. Mereka duduk di gazebo taman rumah Aluna. Liara tak memiliki jawaban untuk menyangkal hal yang ditodongkan Lio. Arsyad pasti sudah menceritakan semuanya pada Lio. Menyangkalnya akan percuma.

"Menikahlah dengan Arsyad. Gue mau ada yang jagain lo, Lia. Lo tahu, kan? Gue punya kehidupan di Jakarta, gue harus jaga Mama. Mama juga sakit-sakitan, enggak bisa jagain lo di sini. Gue enggak mungkin ninggalin kerjaan di Jakarta, mau makan apa kita? Gue harus kerja di sana buat biayain kuliah lo. Gue enggak mau kita pakai uang dari Papa, lo tahu, kan?"

"Tapi, tapi ... enggak harus nikah, Kak." Liara menunduk. Ia menghindari tatapan Lio.

"Enggak ada yang bisa jaga lo sebaik suami lo nanti. Gue percaya sama Arsyad, dia datang sama ke gue, ngelamar lo. Kalau dia enggak serius, enggak mungkin dia datang ke gue. Gue tahu, ini pun juga keputusan yang sulit, gue enggak punya pilihan. Kecuali kalau lo mau pindah kuliah ke Jakarta."

"Kak ...."

Liara menatap Lio dengan memelas. Keputusan Lio seperti tampak tidak bisa dibantah, ia bingung dengan keadaannya saat ini.

"Nikah itu enggak gampang, Kak. Gimana kalau kami enggak berhasil? Enggak semua nikah itu berakhir bahagia, kan?"

"Lo takut kayak Mama dan Papa?"

Liara menggeleng. Ia tak takut berkomitmen, hanya saja ia merasa tidak harus menikah untuk saat ini.

"Lo sayang Mama sama gue?" tanya Lio lagi, Liara mengangguk mantap. Tidak harus ditanya pun, semua orang akan tahu betapa ia menyayangi kakak dan mamanya.

"Gue mau lo tetap hidup, gue mau lo ada yang jaga. Menikahlah dengan Arsyad atau kalau lo mau pindah kuliah ke Jakarta dan mau berobat ke psikolog, gue bakal dukung itu."

"Gue enggak mau ke psikolog, Kak dan gue juga enggak bisa pindah ke Jakarta, kuliah gue udah jalan separuh. Gue enggak bisa tiba-tiba ninggalin kehidupan gue di sini. Lagi pula, Jakarta itu punya kenangan yang buruk buat gue."

"Nah, lo mungkin enggak punya pilihan lain selain yang gue tawarkan."

Lidah Liara kaku. Ia menghela napasnya, menatap kakaknya dengan wajah pias.

***

Liara pergi kuliah seperti biasa. Bertemu dengan teman-teman, Rissa dan Tita. Dua temannya itu menatapnya dengan pandangan aneh setelah ia lagi-lagi menolak ajakan Irza untuk hang out. Irza memang bukan laki-laki yang paling tampan, tapi setidaknya ia memiliki wajah yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.

"Aku enggak tahu musti gimana lagi. Kurang ganteng apalagi, sih, si Mamas Irza?" tanya Rissa. Ia lalu menyendok es campur dari mangkuknya.

"Ganteng kalau kelakuannya enggak banget, ya, buat apa? Ganteng kalau matanya jelalatan buat apaan? Cuma bikin sakit hati," ucap Tita sambil nyengir.

"Ya, seenggaknya bisa nyenengin hati, Tit."

"Rissalah hatiiii jangan panggil Tit, kamu pikir aku ini Titit?"

"Ih mulutmu Tit. Bagus, dong, Tittt ... siapa suruh namamu Tita?"

"Ya, tanya orang tuaku, dong."

Liara memutar kedua bola matanya. Rissa dan Tita akan selalu ribut untuk hal-hal yang tidak jelas.

"Eh, Ra, udah lihat pengumuman beasiswa?" tanya Tita setelah ia berhenti berdebat dengan Rissa.

"Belum. Kenapa?"

"Kayaknya kamu lolos, deh. Tadi lihat di mading depan jurusan, coba ke sana," kata Tita lagi.

"Serius?"

"Heeem. Dua rius."

Liara mengambil tasnya. "Bayarin esku dulu, ya, nanti kuganti. Aku mau ke jurusan," kata Liara, ia melesat meninggalkan kantin. Menuju depan kantor jurusan.

Tiba di sana, ia lantas menuju mading, melihat beberapa deretan nama yang tertulis sebagai mahasiswa yang lolos seleksi beasiswa.

Di deretan nomor lima, namanya tertulis dengan huruf kapital.

LIARA CAMILLA ROSELIN.

Liara membeliakkan matanya, ia setengah tak percaya, manakala beasiswa yang ia ajukan dinyatakan lolos seleksi.

"Selamat, kamu memang hebat."

Irza datang dan berdiri di sampingnya, membuat Liara terkejut. Tidak menyangka Irza tiba-tiba ada di sampingnya. Apa Irza mengikutinya?

"Eh, makasih."

"Aku bangga sama kamu, Ra."

"Emh. Aku permisi."

"Kenapa kamu selalu menghindar dariku, Ra? Kamu beneran punya pacar? Atau cuma mau bohongin aku?"

Liara menghela napasnya, di jurusan lumayan ramai dan Irza membuat drama murahan seperti itu. Membuat Liara tak habis pikir dengan kelakuan Irza. Ini yang membuat Irza tambah minus di mata Liara, laki-laki itu terlalu drama, mungkin karena ia anggota UKM Teater kampus.

"Maaf, Liara memang enggak punya pacar. Tapi dia punya calon suami. Permisi."

Liara menoleh, tahu-tahu seseorang sudah memegang tangannya dengan erat, membawanya dari depan jurusannya tanpa membiarkan Irza mencerna keterkejutannya. Demi Tuhan, Arsyad sedang mengajaknya pergi, setelah menambah drama murahan Irza semakin murahan saat mengatakan ia adalah calon suami Liara.

What the hell? Liara ingin mengumpat, ingatan ia untuk mengumpat setelah keluar dari kampus nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro