Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul: ARAH
Penulis: Wahyudi Pratama
Genre: Spiritual-Fiksi Remaja

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

Mari awali kisah ini dengan saling menyapa terlebih dahulu.
Jika bertemu dengan orang-orang baru, selalu sertakan rindu.
Agar kelak ketika berpisah di penghujung waktu, hadirnya mereka selalu membuatmu ingin kembali walau harus menunggu.
Sebab kamu tahu, kisah ini takkan pernah berakhir sampai kapan pun itu.
***

~POV Penulis

Kendaraan yang memadati ibu kota sejak tadi terlihat meresahkan beberapa pejalan kaki, suara bising knalpot motor tua yang dikemudikan oleh tukang ojek konvensional membuat orang-orang mulai geram.

Kemacetan tak pernah bersahabat dengan pagi, khususnya di daerah Thamrin dan sekitarnya. Sudah tahu seperti itu, aku tetap saja kekeh berangkat sendiri dari rumah dan menolak ajakan paman yang ingin mengantarkan aku menuju sebuah kafe di daerah selatan Jakarta untuk memenuhi undangan sang manajer.

Ojek online yang kutumpangi berada di tengah-tengah beberapa tukang ojek konvensional. Perbedaan dari kedua jenis ojek tersebut sangat jauh, khususnya dari segi kondisi motor. Tiga dari empat motor tersebut sudah berusia tua, knalpotnya tidak layak lagi berkendara di tengah kota. Telinga ini sangat terganggu dengan suaranya. Untung saja motor ojek online yang aku tumpangi masih mulus. Jika tidak, sekarang juga aku melompat dari atas motor.

"Bang, kebut, Bang! Saya sudah terlambat ini," teriakku yang sulit berbicara lantaran menutup mulut dengan masker.

"Sabar, Mas. Macettt," teriaknya balik.

Aku sedikit mendengkus, hampir sejam sudah terjebak macet dan sang mananger sudah menunggu lama. Kalau sampai terlambat, aku akan kehilangan kontrak. Ah, benar-benar dunia yang kukejar di tanah rantau membuatku hampir kehabisan akhlak; aku selalu saja menggerutu dan mengumpat.

Di tambah lagi, tukang ojek itu semringah melihat wajahku yang penuh kecemasan dari kaca spion motor. "Mas macam baru pertama kali aja di Jakarta. He he," kekeh tukang ojek itu.

"Kalau iya kenapa, Bang?" Aku menyipitkan kedua mata, menatap sinis tukang ojek itu dari kaca spion.

"Ya elah, Mas. Santai. Kan saya cuman nanya," cerocosnya lagi.

Aku memutar bola mata dan tidak mengindahkan si driver.Di depan lampu merah, dan kondisi kiri kanan begitu padat oleh pengendara. Aku kembali menengok jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 09:40. Dan manajer terus saja menelepon, tapi kuabaikan.

Aku mulai panik sedangkan jarak kafe tersebut sesuai titik di maps kurang lebih 10 km lagi dari lokasiku sekarang. Butuh lima belas menit lagi agar tiba di sana. Apa kemacetan kali ini akan membuatku kehilangan kesempatan?

Benar-benar tak ada yang bisa kuperbuat selain duduk dengan cemas di atas motor, menikmati suara riuh knalpot motor.

"Berisikkkkkkk!"celetukku dalam hati.

***

"Totalnya empat puluh, Mas. Itu sudah dipotong lima ribu dari kode promonya." Tukang ojekonline itu memperlihatkan layar handphone-nya padaku. Tapi aku tidak menoleh melihatnya.

Lagi-lagi aku tidak menggubrisnya. Setelah turun dari atas motor, aku langsung mengeluarkan dompet dari dalam tas. "Ini, Bang." Aku memberinya selembar uang biru.

"Waduh, Mas. Ini masih pagi, nggak ada kembalian. Masnya ada uang pas?"

Aku kembali menyipit. "Uang pas?" kataku yang kulanjutkan dengan memeriksa dompet. "Nggak ada, Bang."

"Kalau gitu, saya cari warung atau market dekat-dekat sini dulu buat tukar uang, Neng. Eh, maksud saya ... Mas." Ia cengengesan.

Lagi-lagi aku mengembuskan napas kasar. "Sudah, sudah. Nggak usah, Bang. Ambil saja kembaliannya."

"Ah, makasih, Mas. Alhamdulillah, nih. Rejeki di pagi hari." Bapak itu mencium uang lima puluh ribu yang sekarang menjadi miliknya. "Panjang umur ya mas, semoga urusannya dimudahkan hari ini."

Sembari mendongkol, aku jawab, "Aaamin ... aamin. Makasih, Bang."

Tak lama, aku langsung berlari masuk menuju kafe. Aku sudah sangat terlambat. Jika terus saja meladeni tukang ojek ini, semua akan berakhir di sini.

Memasuki kafe, kaki tak hentinya melangkah dengan cekat, mata sudah menatap ke segela arah mencari keberadaan manajerku. Napas sudah tak karuan, Bang Sandi belum juga terlihat.

Beberapa kali aku meneleponnya, operator menjawab jaringan Bang Sandi sibuk. Untuk menenangkan diri, aku duduk di salah satu kursi yang kosong sembari menunggu kabar dari beliau.

Pesan demi pesan via WhatsApp kukirimkan padanya dengan status kontaknya yang masih online.Sayangnya, tidak dibalas. Aku semakin panik, wajahku kini pucat pasih. Apa iya Bang Sandi sudah pergi dan membatalkan kontraknya?

Aku menggigit ujung jari telunjuk sembari menggelengkan kepala. "Nggak .., nggak mungkin. Ya Allah, cobaan apa lagi ini?" lirihku sembari mengembuskan napas pasrah.

Sesaat kemudian, aku mendapat pesan singkat. Iya, itu dari manajerku. Demi Allah, aku yang tadinya sumringah mendapatkan pesan darinya, seketika senyum ini berubah datar oleh karena terkejut dengan pernyataannya.

Bang Sandi (Manajer):

· Lo balik lagi aja ke kampung, nggak usah jadi penulis! Komitmen sama waktu aja nggak bisa, apalagi komitmen nyelesaiin naskah?!

· Gue udah cabut dari lokasi, kontrak untuk naskah lo yang baru gue cancel. Lo cari penerbit yang lain! Hubungin gue kalau lo udah sadar betapa pentingnya waktu bagi gue! Melebihi dari uang!

Membaca pesan dari Bang Sandi yang penuh dengan emosi, aku merasa seperti berada di bawah tekanan. Ini untuk pertama kalinya aku terlambat menemuinya di sebuah tempat yang selalu saja jauh jangkauan dari lokasi tempat tinggalku di Jakarta. Namun sisi kerasnya mulai terlihat, entah aku yang kurang profesional atau Bang Sandi yang terlalu keras padaku.

Kontrakku dibatalkan?

Naskah yang sudah bertahun-tahun antre di meja redaksi dengan semudah itu dibatalkan oleh managerku. Yang bisa aku lakukan setelah membaca pesannya, mematikan handphone-ku dan menundukkan kepala sambil mengelus dada. Tanpa sadar, kepala ini kemudian tersungkuk di atas meja. Hati seperti pecah berkeping-keping. Perjuanganku untuk satu naskah, seperti menghancurkan ribuan mimpi besar yang menantiku di depan.

Air mata dengan mudahnya jatuh mengenai pelipis, lalu turun membasahi pipi. Kesempatan besarku hilang tanpa terlihat di depan mata. Entah apa sebabnya, sakit kali ini menyayat ke hati. Kelemahan terbesarku adalah ketika menggantungkan harapan begitu tinggi kepada orang lain, dan ketika merasa terluka sakitnya bukan main.

Seseorang tiba-tiba berdeham padaku, tepatnya di sebelah kiri kursi yang aku duduki. Mata langsung terbuka lebar, lalu kuusap air mata yang berlinang pada wajahku sembari mengangkat kepala.

Dan yang terlihat adalah dua orang sedang duduk di sebelah kiriku. Sedari tadi aku tidak menyadari bahwa kursi yang aku tumpangi mejanya yang panjang itu sudah terisi oleh orang lain. Sontak aku berdiri dengan cepat, lalu mengucap maaf pada mereka.

"Ma-maaf, Mas ... sa-saya ngga tahu kalau ada orang di sini."

Beberapa kali aku menunduk. Keduanya membalasnya dengan senyum ramah.

"Nggak apa-apa, Mas. Duduk aja, duduk," jawab salah satu dari mereka.

Beberapa kali aku melempar tatapan ke arah mereka, tapi wajah yang ada di hadapanku semakin terlihat tidak asing olehku. Setelah dipersilakan duduk kembali, aku mulai menerka-nerka pemilik kedua wajah yang kerap kali terlihat di lini masa instagram.

Kedua wajahnya penuh karisma, berkulit putih dengan senyum menawan. Bentuk alis mereka sama-sama runcing, begitu juga dengan hidungnya yang lancip kedepan. Yang membedakan hanyalah potongan rambut-satunya berambut jatuh, dan satunya berambut ikal-serta ada yang memiliki tahi lalat tipis di atas bibir, dan juga ada yang memiliki kumis tipis.

Aku menarik napas panjang setelah berhasil menebak mereka. "Mas Raihan dan Mas Azmi, kan?" ucapku sembari menunjuk keduanya dengan antusias.

Terlihat merekat tersenyum; Mas Azmi menggaruk-garuk kepala sedang Mas Raihan mengangguk-angguk. Dalam hati aku begitu terkejut, dua sosok yang dari dulu menginspirasiku saat awal-awal hijrah melalui dakwah singkat dan juga salawatannya kini tengah berada di depan mata.

Aku menjulurkan tanganku pada mereka sambil memperkenalkan diri. "Kenalin Mas, saya Tama. Wahyudi Pratama," ucapku tersenyum merekah.

***
To be continued ....

Silakan dikomen, dilike, dan post ke instagram kalian, yaaa~

Bagaimana pendapatmu dengan bab ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro