Empat :: Sayang Ibu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak pulang dari sekolah, yang Eri lakukan hanyalah bermalas-malasan dengan kasur serta guling kesayangannya. Tidak mengerti kenapa kini Eri merasa sangat susah untuk sekedar bangun dari kasurnya. Bukan karena ia sakit atau karena gravitasi di kasurnya begitu kuat seperti kata orang-orang. Namun hanya karena satu hal.

Apalagi kalau bukan perkataan Rika tadi.

Sungguh, Eri baru menyadari jika ia menyepelekan banyak hal hanya karena Bian. Padahal Eri rasa ia banyak melakukan hal produktif, tidak seperti yang Rika pikirkan. Saat bangun pagi setelah subuhan, Eri membantu ibu menyuci piring, lalu lanjut menyapu rumah dan halaman. Setelah itu mandi dan berangkat sekolah. Pulang sekolah pun Eri tidak langsung bermalas-malasan seperti yang ia lakukan sekarang. Kadang baca buku atau membuatkan Ramah kopi lalu mengobrol hingga menjelang petang.

Entah karena Rika yang tak mengerti dirinya atau Eri sendiri yang tidak menyadari kesalahannya. Sungguh, jika disuruh melupakan Bian, Eri yakin akan begitu susah untuknya.

Merasa pikirannya semakin tak menentu, Eri memaksakan diri untuk bangkit. Lalu berjalan perlahan setelah melirik kamar di seberang sana, menghampiri ibu yang saat ini pasti sibuk di halaman belakang bersama ramah.

Dan benar saja dugaan Eri, dari dinding kaca sebelah kiri dapur saja ia sudah bisa menebak dua orang yang sedang bercengkrama hangat itu pasti kedua orang tuanya.

Sebelum menghampiri, Eri menuangkan susu full cream ke dalam gelas berukuran sedang lalu melangkah perlahan menuju dua orang yang terlihat sedang pacaran. Asik sekali seakan-akan tak menyadari bahwa mereka telah mempunyai anak yang hampir dewasa ini. Catat, hampir.

"Mas, katanya Bu Rahma bareng keluarganya mau pulang, ya?"

"Hah? Can sapah? (Kata Siapa?)"

Eri yang semula hendak langsung duduk di antara mereka mengurungkan diri saat tiba-tiba ibu membahas satu nama yang tak asing di telinga Eri. Siapa lagi kalau bukan nama ibu Bian.

Jadi, Bian mau pulang, ya?

Eri yang hanya diam saja di ambang pintu kaca, membuat dua orang yang duduk tak jauh di depannya menoleh. Lalu tersenyum begitu anak gadis mereka terlihat melamun.

"Hei, kamu ngapain di situ?" Ibu menyapa lebih dulu.

Ramah kemudian bangkit dari duduknya, menghampiri Eri kemudian menuntun sang anak untuk duduk di antara mereka. Menikmati langit yang perlahan berubah warna menjadi jingga.

Mereka hanya diam saja. Tak lagi ada pembicaraan seperti sebelumnya. Hanya melihat semburat jingga yang perlahan-lahan tenggelam entah di mana. Ramah bangkit terlebih dahulu, agaknya ia paham sedang ada yang ingin anak tunggalnya itu bicarakan dengan sang istri. Bukannya Ramah tak ingin mendengarkan isi hati Eri, hanya saja sebagai lelaki sudut pandangnya tentu berbeda dengan sudut pandang perempuan. Itulah mengapa anak gadis lebih suka membicarakan masalah mereka ke ibu atau teman perempuan mereka. Mereka ingin di pandang dari sudut pandang yang sama.

"Kenapa? Hm. Ada yang pengen kamu ceritain?" Eri masih diam saja.

"Ibu kan sudah bilang, kalau ada masalah ceritain aja. Ibu nggak keberatan sama sekali, justru Ibu seneng karena dengan begitu berarti keberadaan Ibu sangat dibutuhkan buat kamu."

Eri tersenyum mendengar apa yang ibunya katakan. Inilah yang selama ini diam-diam Eri banggakan. Ibunya tak seperti ibu-ibu lainnya yang selalu memaksa anaknya melakukan sesuatu dan mengabaikan perasaan anaknya.

"Menurut Ibu, aku elama ini abai sama masa depan aku nggak?"

Ibu mengernyitkan dahinya. "Kata siapa?"

Eri menggeleng. "Bukan kata siapa-siapa. Cuma perasaan aku aja."

Ibu merangkul Eri sambil tersenyum menatap langit yang perlahan mulai menggelap. Selama ini, ia tidak pernah menuntut Eri untuk menjadi yang terbaik dalam pendidikannya. Ia tak ingin anaknya merasa terkekang. Ibu dan Ramah berusaha sebisa mungkin untuk menjadi tempat ternyaman bagi Eri melampiaskan semua yang ada di pikiran dan hatinya. Memang, diam-diam ia ingin Eri seperti anak berprestasi lainnya tapi bukan berarti ia mengharuskan Eri melakukan apa yang tidak bisa ia lakukan. Ibu paham sampai sejauh mana kemampuan Eri, paham akan keinginan dan impiannya. Semua itu sudah cukup menggambarkan bahwa ia bangga memiliki Eri yang apa adanya.

"Menurut Ibu, Eri nggak pernah seperti itu. Kamu tahu apa yang kamu inginkan, kamu tahu apa yang ingin kamu capai dan kamu tahu apa yang ingin kamu raih di masa depan, itu sudah cukup menggambarkan kalau kamu mementingkan masa depan kamu."

"Gitu ya, Bu?"

"Selama ini kamu melakukan hal yang kamu suka, menulis banyak hal yang kamu inginkan di masa depan, itu semua udah cukup, sayang. Nggak perlu mikirin semua yang orang lain ucapkan. Nggak perlu liat seberapa membanggakan orang lain di mata yang lainnya. Jadi diri kamu sendiri, itu sudah cukup buat Ibu sama Ramah."

Eri tersenyum lebih lebar, lalu menatap ibu yang juga tersenyum. Wajah yang mulai menua di depannya ini benar-benar definisi ibu yang luar biasa. Tidak pernah menuntut, tidak pernah mengekang dan terasa seperti teman saat Eri menceritakan semua hal yang mengganggu pikirannya. Sungguh demi apa pun, Eri bahasa dan sangat bersyukur memiliki ibu dan ramah di dunia ini.

"Aku sayang Ibu. Sayang banget. Ibu jangan galak-galak, ya. Nanti aku kabur." Eri memeluk ibu erat, terlampau erat sampai-sampai ibu tak dapat bergerak.

"Maghrib, maghrib." Ramah tiba-tiba berada di ambang pintu kaca, menggelengkan kepala melihat tingkah istri dan anaknya petang-petang begini.

🌼🌼🌼

Sepanjang hari, Eri selalu tersenyum. Saat Rika bertanya mengapa, Eri hanya menggeleng. Semalam, ia sudah bertekad untuk tidak menceritakan apa pun kepada Rika. Eri tak ingin Rika lagi-lagi mematahkan semangatnya. Mengapa juga ia harus melupakan Bian jika sebentar lagi Bian akan pulang dan kemungkinan janji masa kecil mereka akan segera terlaksana. Semoga saja Bian pulang tepat di tanggal-tanggal dekat ulang tahunnya. Akhir Agustus nanti.

Lagi pula kata ibu juga melupakan orang itu tidak boleh. Dengan melupakan seseorang, itu berarti kita memutuskan hubungan silaturahmi dan Tuhan tidak menyukai hal-hal seperti itu. Daripada membuat lebih banyak dosa dengan berbohong atau lebih parahnya memutuskan tali silaturahmi lebih baik Eri diam saja. Tidak ingin Rika tahu untuk sekarang. Biar saja Rika tahu saat Bian benar-benar datang. Mesti entah kapan pastinya.

"Sem mesem meloloh (Senyum-senyum terus)," ujar Rika yang melihat Rika tersenyum sendiri saat sedang melihat-lihat buku.

Sebelum pulang tadi, ia dan Rika memang janjian ingin pergi ke toko buku tak jauh dari sekolah mereka berada. Meski toko bukunya kecil, toko buku ini sering di datangi oleh Eri. Walaupun hanya melihat-lihat karena kadang, stok bukunya tak ada yang baru.

"Tak rapah. (Nggak papa)"

Rika diam saja. Lalu kembali memfokuskan dirinya pada buku-buku di depannya. Mengabaikan Eri yang sepertinya sedang memikirkan Bian. Rika mencoba untuk tidak peduli, karena percuma mendesaknya dengan berbagai macam pertanyaan, jika Eri sudah mengatakan suatu hal dalam bahasa Madura itu berarti ia sedang tidak ingin diganggu.

Bersambung

Ibu Eri kayak ibu kalian juga nggak? 😃

Madura, 050920

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro