1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Janji ya, Mas Rian harus nikahin aku kalau sudah gede," tegas seorang anak perempuan kecil kepada seorang anak anak laki-laki yang bernama Rian. Meminta Rian untuk berjanji dengan menyodorkan jari manisnya.

Rian yang terlihat tidak tertarik, hanya melirik sekilas tanpa menjawab ucapan perempuan tersebut yang membuatnya langsung cemberut. "Mas nggak sayang sama Arin!"

Anak perempuan kecil bernama Arin itu kemudian berlari masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Rian yang masih setia berada di taman belakang rumahnya. Arin berharap Rian mengejarnya. Namun sayang, keinginannya tidak terkabulkan.

Arin kembali ke taman dengan tangan terlipat di depan dada, dari kejauhan dia bisa melihat tubuh Rian dari belakang. Tidak bergerak sedikitpun. "Mas Rian jahat!"

Setelah berteriak, Arin masuk ke dalam rumahnya. Di sisi lain, Rian berbalik, melihat Arin yang perlahan menghilang dari pandangannya.

***

10 tahun berlalu, sikap Rian masih sama seperti sebelumnya. Dingin dan tak terjangkau oleh Arin yang selalu mengejarnya sejak kecil.

Hari ini adalah hari pertama Arin dan Rian menjadi anak SMA. Sejak pagi, Arin sudah datang ke rumah Rian untuk menjemputnya. Namun sayang, Rian belum juga bangun dari tidurnya.

"Maaf ya, Nak. Rian masih tidur kayanya, coba deh kamu ke kamarnya. Bangunin dia, nanti kalian telat lagi," ucap Fani, ibu Rian.

Mendengar perintah Fani, Arin langsung bersemangat pergi ke kamar Rian yang berada di lantai dua rumahnya. Mengetuk pintu kamar pria itu beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Kira-kira kalau aku langsung masuk, Mas Rian marah nggak ya?

Perasaan Arin sedikit bergejolak karena bimbang, dia ingin masuk ke dalam kamar Rian. Tetapi takut, pria itu akan marah padanya. Namun, mereka sudah nyaris terlambat.

Tangan Arin perlahan terangkat dan memegang ganggang pintu kamar Rian. Saat ingin membukanya, pintu tersebut malah terbuka dari dalam yang membuat Arin terkejut dan mundur beberapa langkah.

"Ngapain?" Tanya pria di hadapan Arin dengan suara beratnya. Pria tersebut adalah Rian.

"Mau bangunin Mas Rian."

"Gue udah bangun."

Rian berlalu meninggalkan Arin yang masih mematung di depan kamar pria tersebut. Ternyata Rian sudah siap untuk pergi ke sekolah dan Arin mengikutinya dari belakang.

Keduanya sampai di ruang makan, tempat Fani berada. "Bu, aku pergi dulu."

Rian pamit pada ibunya yang langsung berteriak, "sarapan dulu, Nak."

Mengabaikan ucapan sang Ibu, Rian terus melangkah. Arin yang berada di belakangnya sedikit kebingungan, dia sangat lapar. Namun tidak mau ditinggal oleh Rian.

Merasa Arin tidak mengikutinya, Rian berbalik dan berteriak ke arah Arin. "Buruan!"

Arin berlari mendekat ke arah Rian. Namun sebelum itu, dia berpamitan kepada Fani. "Bu, Arin pergi dulu ya."

"Iya, Nak. Hati-hati ya."

***

Sesampai di sekolah, Arin memang segala atribut yang harus dia gunakan selama masa MOS. Di sisinya, Rian hanya terdiam sembari memperhatikan jalanan.

Mereka masih berada di dalam mobil dan yakin keduanya akan telat turun sekolah. "Mas kok nggak pake atribut yang disuruh?" Tanya Arin saat tengah sibuk menguncir rambutnya.

Rian tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan Arin dan hanya meliriknya sekilas. "Aku udah selesai, Mas. Yuk kita masuk."

Arin terlebih dahulu keluar dari mobil dan diikuti oleh Rian. Keduanya kemudian berpisah di depan gerbang sekolah Karena akan diperiksa kelengkapannya.

Sembari diperiksa, mata Arin terus memperhatikan Rian dari kejauhan. Pria itu tengah dimaki yang membuat perasaan Arin sedih. "Udah dek, atribut kamu lengkap. Langsung ke lapangan aja," perintah kakak tingkat yang memeriksa Arin.

Saat melangkah, Arin masih memerhatikan Rian yang ternyata sudah berlutut entah karena apa. Sayangnya, perempuan itu tidak bisa mendatanginya karena terus diperintahkan pergi ke lapangan.

Di lapangan, siswi perempuan dan laki-laki dipisah. Sembari menunggu acara dimulai, semua peserta MOS harus berpanas-panasan tanpa boleh pindah dari tempatnya.

Dengan posisi istirahat di tempat, Arin merasa begitu kelelahan karena sudah satu jam berada di lapangan. Keringat pun membasahi kening perempuan itu dan tiba-tiba semua gelap. Arin pingsan.

Entah sudah berapa lama Arin pingsan dan saat mata perempuan itu terbuka dia cukup terkejut karena tengah berada di ruangan yang asing baginya. Perlahan dia mengangkat tubuhnya dengan sekuat tenaga sehingga menghasilkan pekikan kecil yang membuat seseorang berlari ke arahnya.

Arin pikir, orang itu ialah Rian. Namun sayang, apa yang dia pikirkan adalah suatu yang sia-sia. "Kamu nggak pa-pa?" Tanya orang itu dengan wajah khawatir.

Pria berlesung pipi itu kemudian mencoba untuk memegang tubuh Arin. Namun, perempuan tersebut sedikit menjauh dan membuatnya salah tingkah. "Sorry, aku nggak ada maksud macem-macem kok."

Arin tersenyum kecil setelahnya dan tiba-tiba pintu kamar ruangan tersebut terbuka. Rian terlihat masuk dengan wajah yang sedikit memerah. Pria itu langsung duduk di sisi Arin yang membuat pria di samping perempuan tersebut pamit untuk pergi. "Karena sudah ada yang jagain kamu, aku balik dulu ya."

Rian melirik sekilas ke arah pria yang baru saja pergi dan Arin terlihat memperhatikannya. "Mas, badan aku sakit," rengek Arin dengan wajah cemberut.

"Mas liat deh, kaki aku merah," ucap Arin lagi yang membuat Rian menatap ke arah perempuan itu menunjuk. Di sana, kaki Arin memang terlihat merah karena kulit perempuan itu memang sangatlah putih.

"Nggak usah kaya anak kecil deh!" Tegur Rian yang membuat Arin terdiam. Matanya memerah siap untuk menangis. Namun, Rian terlihat tak peduli.

"Mas jahat!" Pekik Arin sebelum akhirnya kembali tidur dan menyelimuti penuh tubuhnya agar tak terlihat oleh Rian.

Di dalam selimut, Arin menangis tanpa suara hingga akhirnya tertidur karena kelelahan.

***

Setelah kejadian pingsan di lapangan, Arin menjadi bulan-bulanan kakak tingkatnya yang senantiasa menggoda perempuan itu. "Ayo dek, sini kakak jagain biar nggak pingsan lagi."

"Mau sama kakak nggak? Kakak siap kok gendong adek kalau pingsan lagi."

"Jangan sama dia dek, mending sama kakak aja."

Arin hanya dapat tersenyum kikuk mendengar semua ucapan tersebut, kini dia tengah berjalan menuju kelasnya setelah pergi ke toilet. Dia berada di kelas 10-3 dan Rian berada di 10-2. Mereka berbeda kelas. Namun, hal itu tidak membuat Arin kecewa karena kelas mereka masih sangat dekat.

Sesampai di depan kelas, Seorang kakak tingkat perempuan membantu Arin dengan menjauhkan orang-orang yang mengganggu perempuan itu. Arin masih harus mengikuti kegiatan MOS dan hari ini adalah hari keduanya.

"Jadi, sebelum kita mulai kegiatan hari ini, kamu mau cek kelengkapan adik-adik semua ya. Silakan semuanya berdiri."

Satu persatu siswa/i diperiksa, seperti hari pertama. Tidak ada ketakutan di benak Arin karena semua menurutnya apa yang dia bawa sudah lengkap. Namun sayang, sebuah barang tiba-tiba menghilang dari tasnya. Loh, penggaris aku mana?

Arin sibuk mencari penggaris di tasnya, dia yakin sudah membawanya, tetapi kini sudah menghilang entah kemana. Melihat sikap Arin yang begitu aneh, seorang kakak tingkat mendekatinya dan menepuk pundak perempuan itu. "Ada apa?"

"Gini, Kak. Penggaris aku tiba-tiba ilang, tapi beneran deh aku bawa tadi," ucap Arin dengan sedikit ketakutan.

Kakak tingkat di sisinya kemudian ikut memeriksa tas Arin dan memang, di dalam tas tersebut tidak terdapat penggaris. "Karena penggaris kamu nggak ada, sekarang kamu keluar."

"Tapi, Kak ... ."

"Nggak ada tapi-tapian, keluar!"

Bentakan kakak tingkat tersebut berhasil membuat Arin ketakutan hingga menangis pelan. Dengan langkah kecilnya, perempuan itu keluar dari kelas. Di lorong kelas, ada beberapa siswa yang juga sama sepertinya, dikeluarkan dari kelas.

Mata perempuan itu kemudian melihat sosok Rian yang juga keluar dari kelasnya. Saat tangannya melambai ke arah pria tersebut, matanya menangkap sosok perempuan yang tiba-tiba mengaitkan tangannya ke tangan Rian.

Hati Arin tentu sakit melihatnya, perlahan tangannya kembali turun dan membuang pandangannya agar tidak melihat lagi ke arah Rian.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro