12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tepat setelah seminggu dirawat, Arin akhirnya diperbolehkan untuk pulang ke rumah dengan persyaratan harus tetap mengikuti kontrol setiap sebulan sekali.

"Masih lama ya?" tanya Arin dengan kaki mengambang dan bergoyang di atas kasur rawatnya. Perempuan itu sudah siap pulang. Namun, harus menunggu Lili kembali datang setelah selesai mengurus kepulangannya.

Dari arah sofa, Angga berjalan pelan menuju Arin dan memegang bahu terbuka perempuan itu. "Kamu nggak kedinginan kalau pake baju begini?" tanya Angga yang membuat Arin menatap bahunya.

"Nggak kok, aku malah kepanasan sekarang."

Angga tersenyum tipis dan membuka jaket yang dia gunakan, jaket tersebut kini berpindah ke badan kecil milik Arin dan membuat perempuan itu terkejut. "Aku nggak pa-pa kok," ucap Arin lagi berusaha menolak jaket milik Angga.

"Pake ya, di luar lagi ujan. Nanti kamu kedinginan."

Setelah mendengar penjelasan Angga, Arin menyerah dan membiarkan pria itu memasangkan jaket ke tubuhnya. Tatapan Arin beralih pada jendela yang kian basah diterpa hujan. "Deras banget ya ujannya," cicit Arin dengan pelan dan Rian menganggukkan kepalanya.

"Iya, tadi nggak sederas ini sih."

Entah kenapa, perasaan Arin menjadi kurang baik setelah melihat hujan yang terus turun. Setelah mengenakan jaket, perempuan itu turun dari kasurnya dan berjalan ke arah jendela.

Sangking dinginnya Suhu yang ada, jendela tersebut berembun dan Arin perlahan menggerakkan jarinya, menulis sesuatu di sana.

Arin, itulah kata yang dia tulis dan tiba-tiba sebuah tangan terulur dari belakang tubuhnya, menulis sebuah kata lagi di sana. Angga.

Melihat kata tersebut, Arin langsung menoleh dan menatap Angga yang kini begitu dekat dengannya, wajah mereka nyaris bersentuhan jika Lili tidak tiba-tiba datang dan mengganggu mereka.

"Mbak, Mbak Arin," panggil Lili dengan panik.

Yang dipanggil langsung berjalan mendekat ke arah Lili yang memasang wajah kebingungan. "Tenang dulu, Bi. Ada apa?" tanya Arin berusaha menenangkan pembantunya itu.

"Mas Rian, Mbak. Mas Rian kecelakaan!" jelas Lili yang membuat bola mata Arin membulat sempurna.

"Kecelakaan? Kecelakaan dimana?"

"Saya juga nggak tau, Mbak. Sekarang dia lagi di ruang IGD."

Mendengar jawaban Lili, Arin bersiap untuk pergi. Namun, Angga menahan gerakan perempuan itu dengan memegang lengannya. "Jangan panik gini, kamu masih sakit."

"Gimana aku nggak panik? Mas Rian kecelakaan, Ngga! Kecelakaan!"

Arin histeris menjawab ucapan Angga, dia benar-benar terkejut saat mengetahui apa yang terjadi pada Rian dan mungkin itu juga alasan dengan perasaannya kurang mengenakan.

Angga yang merasa bersalah kemudian membawa Arin ke dalam pelukannya dan mengusap punggung perempuan itu. "Oke, kamu boleh ke sana. Tapi, kita bareng ya. Aku takut kamu kenapa-kenapa," ucap Angga pelan yang langsung membuat Arin menganggukkan kepalanya.

Kedua orang itu berjalan menuju ruang IGD bersama dengan Lili yang memimpin jalan. Tangan keduanya saling bertautan untuk menguatkan satu sama lain. Berkali-kali juga Angga memperhatikan raut wajah Arin yang berubah sedih.

Sesampai di depan ruang IGD, Arin bertemu dengan kedua orang tua Rian. Mereka terlihat sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada anak laki-lakinya itu. Bela, sang ibu terus menangis dan Arin tidak bisa menahan diri untuk mendekatinya.

Perlahan Arin mencoba melepaskan genggaman tangan Angga. Namun, pria itu menahannya. Tatapan sendu Arin berhasil membuat perasaan Angga luluh apalagi setelah mendengar ucapan perempuan itu. "Ngga, lepasin tangan aku. Aku cuman mau ketemu Tante Bela kok."

Dengan berat hati, Angga melepaskan tangan Arin dan perempuannya itu langsung berlari ke arah Bela, memeluk perempuan paruh baya itu dengan erat dan ikut menangis bersama.

"Jadi, kamu abis dirawat juga?" tanya Bela setelah Arin menjelaskan kenapa dia bisa ada di rumah sakit itu.

"Iya, Tan. Aku dirawat hampir seminggu," jelas Arin sembari tersenyum tipis. Wajahnya berantakan dengan air mata yang menyisa di pipi perempuan itu.

Tiba-tiba saja sebuah tangan terulur memberikan tisu pada perempuan itu dan saat Arin mendongak, dia melihat sosok Angga yang tersenyum ke arahnya. "Makasih ya," ucap Arin setelah mengambil tisu tersebut dan ikut memberinya pada Bela.

Melihat interaksi manis antara Arin dan Angga, Bela menjadi sedikit bingung. Setau dia, Arin hanya dekat dengan Rian dan kini perempuan itu sudah mendapatkan laki-laki lain.

Sebuah informasi kurang mengenakan Bela dan suaminya, Windu dengar setelah dokter yang menangani anaknya keluar. Rian harus menjalani operasi dibeberapa bagian tubuhnya termasuk kaki kirinya yang retak.

"Apapun itu jika bisa menyelamatkan nyawanya, tolong lakukan, Dok," putus Windu yang segera membuat dokter tersebut melakukan tindakan.

Sampai malam tiba, operasi Rian tak kunjung selesai. Angga yang juga ikut menunggu merasa resah karena Arin tidak mau pulang untuk beristirahat. "Ayolah, besok kita datang ke sini lagi buat liat keadaan Rian," bujuk Angga yang membuat Arin cemberut.

"Aku mau di sini aja, nemenin Tante Bela," jawab Arin sembari mengaitkan tangannya ke lengan Bela sehingga membuat perempuan itu tersenyum ke arahnya.

Dengan elusan pelan di kepala Arin, Bela perlahan memberi pengertian kepada perempuan itu. "Kamu balik aja ya, Nak. Besok datang ke sini lagi, Tante kasian sama kamu. Pasti kamu capek, kan?"

"Nggak kok, Tan. Aku nggak capek," bantah Arin dengan cepat. Namun, tiba-tiba perempuan itu menguap dan membuat orang-orang di sekitarnya tertawa.

"Tuh, nguap juga kan? Ayolah, besok aku anterin ke sini lagi," ucap Angga yang menyita perhatian Arin.

"Janji ya, besok pagi jemput jam delapan."

"Jam 10 deh, kalau jam delapan kepagian."

"Nggak mau!" tolak Arin dengan wajah cemberut. "Pokoknya jam delapan! Kalau kamu nggak jemput, aku jalan sendiri."

"Iya, iya. Jam delapan."

Keesokan harinya, Angga datang ke rumah Arin tepat pukul delapan malam. Saat tiba, Lili menjelaskan bahwa anak majikannya itu masih tidur dan menyuruh Angga untuk membangunkan Arin di kamarnya.

"Nggak pa-pa saya masuk kamarnya, Bi?" tanya Angga dengan ragu. Dia harus masuk ke dalam kamar perempuan untuk pertama kalinya, tentu ada rasa malu di benak pria itu.

"Iya, nggak pa- pa kok. Kalau kamu nggak bangunin, dia nggak bakal bangun."

Angga mengangguk pelan dengan wajah yang sedikit kikuk. Wajahnya menoleh, menatap lantai dua rumah Arin, tempat dimana kamar perempuan itu berada.

"Buruan, bangunin dia," ucap Lili lagi yang membuat Angga melangkah maju hingga sampai di depan kamar Arin.

Tangan pria itu terasa berat saat ingin membuka pintu berbahan kayu jati tersebut. Apa aku harus masuk?

Lagi-lagi, perasaan Angga berkecamuk. Dia begitu ragu untuk masuk ke dalam kamar Arin.

Sembari menarik napas panjang, Angga meyakinkan diri untuk masuk ke dalam dan membangunkan Arin yang ternyata masih tertidur pulas.

Senyum tipis terlukis di wajah Angga saat memperhatikan wajah polos Arin yang tengah tidur. Manis banget sih.

Karena tidak ingin mengganggu tidur Arin, Angga memutuskan untuk menunggu perempuan itu bangun dengan membaca sebuah buku yang berada di meja belajar Arin.

Setelah nyaris setengah buku Angga baca, tubuh Arin menggeliat di atas kasur dan pria itu menghentikan kegiatannya. Berjalan pelan menuju kasur dan menatap Arin yang perlahan membuka matanya.

"Angga," cicit Arin sembari sibuk menguap. "Bentar ya, aku siap-siap dulu."

Arin beranjak dari kasurnya dan pergi ke kamar mandi. Namun, di tengah perjalanan perempuan itu berhenti dan menatap jam dinding di kamarnya. "Jam 10!"

Arin tentu panik karena tau dirinya telat bangun. Angga yang melihat itu hanya bisa tertawa dan duduk di sisi kasur Arin sembari menunggu perempuan itu selesai membersihkan tubuhnya.

Tidak sampai 10 menit, Arin keluar dari kamar mandi dan langsung menarik tangan Angga untuk pergi ke rumah sakit. "Ayo, buruan. Kita telat nih!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro