16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah keluar cukup lama, Angga akhirnya kembali masuk ke dalam ruangan ibunya dan menemukan Arin tengah asyik berbicara tentang banyak hal.

Senyum manis pria itu terlukis saat melihat Arin dengan semangat mengajak ibunya berbincang walau tak ada reaksi yang diberikan oleh perempuan paruh baya itu.

Saat Angga tengah berjalan pelan mendekat ke arah kasur ibunya, tiba-tiba tangan perempuan paruh baya itu bergerak pelan dan membuatnya berlari kencan. "Tadi tangan Mama gerak?" tanya pria itu dengan semangat.

Arin yang terlihat bingung hanya dapat menggaruk pelipisnya dengan pelan. "Emangnya tangan Mama kamu nggak bisa gerak?" tanya balik Arin dengan polosnya.

"Iya, tubuh Mama aku dinyatain lumpuh 85% dan untuk pertama kalinya tangan dia gerak."

Arin ikut bahagia mendengar ucapan Angga, dia pikir tangan ibu Angga bisa bergerak sejak awal sehingga Arin tidak bereaksi apa-apa.

"Makasih ya, Rin. Makasih sudah bikin Mama aku gerak lagi," ucap Angga sembari reflek memegang tangan Arin yang membuat pemiliknya kebingungan.

Arin bahkan sampai terpaku dan tak dapat mengatakan apa-apa lagi.

Menyadari apa yang dia lakukan salah, Angga langsung melepaskan pegangan tangannya dan sedikit menjauh. "Maaf, maaf bikin kamu kaget."

"Nggak pa-pa kok, aku cuman kaget aja," balas Arin karena tidak enak pada Angga yang terlihat begitu menyesal.

Guna mencairkan suasana yang sempat membeku, Angga memutuskan untuk memanggil dokter untuk memeriksa ibunya. "Aku keluar dulu ya, mau manggil dokter."

"Iya."

Arin kembali ditinggal sendirian bersama dengan ibunya Angga yang terus memperhatikannya. Selagi menunggu Angga kembali, Arin kembali berbicara.

"Tante, anaknya gemesin banget sih. Boleh nggak buat aku?" goda Arin dengan maksud bercanda dan tak lama kemudian Angga datang bersama seorang dokter juga suster.

Melihat kedatangan tiga orang itu, Arin bangun dari duduknya dan sedikit menjauh untuk memberi ruang.

Cukup lama ibunya Angga diperiksa dan saat itu, Arin dan Angga terus mendampinginya walau harus berdiri cukup jauh.

Keduanya sama-sama khawatir dengan kondisi perempuan paruh baya itu dan terus berdoa di dalam hati untuk hasil yang nantinya dokter berikan.

Setelah diperiksa, dokter yang menangani Ibunya Angga terlihat kaget juga takjub pada apa yang perempuan paruh baya itu lakukan karena setelah nyaris satu Minggu di rumah sakit, ibunya Angga tidak mendapat kemajuan apa-apa.

"Saya cukup kaget dengan kondisi ibu anda sekarang, saya harap beliau bisa meningkatkan progres geraknya agar bisa cepat sembuh."

"Baik, Dok."

"Ya sudah, saya tinggal dulu ya. Nanti malam saya kembali lagi untuk memeriksa."

"Iya, Dok."

Karena terlalu asyik menemani ibunya Angga, Arin tidak menyadari bahwa jam sudah menunjukkan pukul empat sore yang berarti Rian harus makan obat. "Astaga, udah jam empat ya!" pekik Arin dengan panik.

Perempuan itu langsung bangun dari duduknya dan menyita perhatian Angga juga ibunya. "Kenapa? Ada masalah?"

Sebenarnya Arin tidak ingin mengatakan tentang apa yang dia pikirkan sekarang. Namun, mengingat dia harus pergi dan perlu jawaban untuk disampaikan pada Angga, perempuan itu akhirnya jujur.

"Hmm, gini. Mas Rian harus makan obat sekarang, aku lupa," jelas Arin dengan sedikit gugup.

Raut wajah Angga berubah seketika saat mendengar nama Rian kembali Arin ucapkan. Namun, karena menyadari Arin memperhatikannya pria itu langsung mengalihkan pandangannya dan bersikap seperti biasa.

"Nggak pa-pa kan, aku balik. Tapi, nanti aku ke sini lagi kok," ucap Arin dengan pelan.

"Iya, nggak pa-pa."

Suara datar Angga membuat Arin gelisah, dia tau pria itu cemburu. Namun, dia juga tidak bisa meninggalkan kewajibannya untuk mengurus Rian.

Perlahan Arin mendekat ke arah Angga dan memegang lengannya. Perempuan itu perlu memberi pengertian pada Angga yang terlihat cemburu padanya. "Ngga, aku nggak bisa ninggalin Mas Rian soalnya orang tua dia lagi di luar kota. Tapi, aku bakal bagi waktu kok buat kalian berdua."

"Nggak pa-pa kok, Rin. Aku juga nggak punya hak buat ngelarang kamu," jelas Angga sembari menatap Arin. Sebelumnya pria itu enggan bertatapan karena takut kembali terjebak dengan Arin.

"Kamu punya hak kok, karena aku ngebolehin itu."

Ucapan Arin yang ambigu membuat Angga mengerutkan dahinya. "Maksudnya?"

"Hmm, aku nggak berpengalaman deket sama cowok selain Mas Rian. Tapi, sekarang aku yakin mau deketin kamu. Siap-siap aku gangguin ya habis ini."

Arin berjalan menjauh dari Angga dan hingga sampai di pintu, perempuan itu melambaikan tangannya. "Aku pergi dulu ya. Jangan kangen!"

Setelah meninggalkan ruang rawat ibunya Angga, Arin segera berlari menuju ruang rawat Rian yang cukup jauh. Sesampai di sana, dada perempuan itu naik turun hingga kehabisan napas dan membuat Rian kebingungan.

"Dari mana lo? Kenapa ngos-ngosan gitu? Abis dikejar setan?" tanya pria tersebut yang membuat Arin mendekat ke arahnya.

"Ih, nggak mau! Aku nggak mau dikejar setan."

"Lah, terus? Kenapa lo lari-lari gitu?"

Dengan raut wajah bersalahnya, Arin mencoba untuk menata ucapan yang dia akan sampaikan kepada Rian. Karena cukup lama, pria itu kembali bertanya. "Kenapa nggak jawab? Lo kenapa? Terus, dari mana?"

Mengalihkan rasa gugupnya, Arin memperbaiki tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Matanya enggan menatap Rian saat berbicara. "Hmm, tadi ada urusan dulu Mas."

"Urusan?" Jawaban tak masuk akal itu tentu membuat Rian bingung, Arin pergi untuk waktu yang cukup lama dan berbohong padanya. "Lo nggak mau jujur?"

Wajah Arin menoleh menatap Rian yang sudah memasang wajah datarnya. Dia tau apa yang pria itu pikirkan dan mungkin lakukan jika dia tidak jujur. "Iya, iya. Aku jujur, Mas. Tadi aku nggak sengaja ketemu Angga. Mama dia ternyata lagi dirawat di sini, terus ... ."

"Terus gara-gara dia, lo tinggalin gue?" potong Rian yang membuat bola mata Arin membulat sempurna.

"Nggak, nggak gitu, Mas. Aku sebenernya cuman pengen bentar doang di sana. Eh, kelamaan hehe."

Arin sengaja tertawa kecil di akhir pembicaraannya walau tidak ada yang lucu saat ini, dia hanya mau mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa tidak enak.

Menanggapi sikap Arin, Rian menghela napasnya dengan kasar. "Ya udah, terserah lo. Gue mau tidur!"

Rian bersiap membalik tubuhnya agar tidak berhadapan dengan Arin. Namun, perempuan itu menahannya. "Ih jangan tidur dulu, Mas belum minum obat!"

Dengan posisi yang sama dan hanya kepala yang menoleh, Rian menatap Arin dari ekor matanya. "Gue udah minum obat, lo nggak usah khawatir."

Walau sudah diperingatkan oleh Rian, nyatanya Arin masih khawatir pada pria itu. Dia kembali duduk dan menatap punggung kokoh milik Rian. Rasa bersalahnya terus meningkat hingga tanpa sadar dia menangis pelan. Maafin aku, Mas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro