enam belas.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wanita muda itu memperkenalkan dirinya sebagai 'Anne Anantika Sfortz'.

Gelagatnya, setelah melihat Anne menaikkan rok panjangnya sedikit, menyilangkan kedua kakinya untuk memberi tanda tunduk perkenalan, menunjukkan statusnya di hadapan Kellan Kiesling yang baru saja mengetahui bahwa bangsawan masih 'banyak' di bagian utama Medea.

Terlalu lama hidup tanpa terikat status membuat Kellan semula ragu untuk berlaku. Lagi, ia tahu bahwa ia akan berusaha memperlakukan Anne sebagaimana Kellan sendiri ingin diperlakukan.

"Kamu tidak segan denganku?"

Kellan ingat ketika suatu hari Anne bertanya demikian, mereka tengah ada di kantor SPADE menyortir informasi yang mereka dapatkan ketika bertugas di luar. Kala itu, mereka bergerak di tempat terpisah sambil saling berkomunikasi melalui telepon.

Anne menatapnya lama, ragu jelas tergambar di wajahnya. Saat mereka pertama kali bertemu, Kellan selalu melihat Anne sebagai sosok pemalu - Anne tidak akan banyak bicara, Anne akan lebih banyak memperhatikan dalam diamnya dan menyuarakan penolakannya dengan gestur yang sedikit, seperti sekali gelengan kepala atau mengibaskan tangan.

Bila Anne bertanya seperti ini, artinya ia ingin benar-benar mengetahui. Membalasnya dengan jawaban yang setengah-setengah hanya akan membuatnya urung bertanya untuk kali kedua. Menjawab sesuatu itu bukan berarti dia harus menjawab dengan 'benar', sudut pandang manusia terlampau subjektif untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah. Tidak ada yang absolut.

"Aku tidak terlalu peduli soal status," Kellan mulai menjawab. "Aku memperlakukan orang lain sama seperti aku ingin diperlakukan."

Senyum kecil terkembang pelan di bibir Anne, sesuatu yang membuat Kellan ikut lega. Kellan merasa ia telah selangkah lebih dekat mengenal partnernya itu, walau belum banyak cengkerama yang mereka lakukan di luar kegiatan misi.

Sepertinya, sepertinya, ia telah datang ke tempat yang tepat. Ia telah datang ke tempat di mana ia akan diterima.


Rumah itu tampak kecil dan sempit dari luar, namun Kellan terkagum-kagum ketika ia menapak ke dalam. Lorong kecil dan sempit itu menjelma menjadi sebuah ruangan besar tidak bersekat banyak dinding. Hanya ada pagar kayu tebal yang memisah ruangan menjadi beberapa bagian: dapur berbahan utama kayu di bagian barat, tempat tidur kayu bersusun di arah utara, rak-rak buku dengan sofa di arah timur, dan tempat untuk menjamu tamu terlihat saat mereka baru saja masuk. Ada satu lampu besar menggantung di tengah-tengah ruangan, menerangi seluruh belantara rumah, bentuknya seperti lampion bulat.

Tower mendorong kursi roda Kellan dengan pelan dan hati-hati, mencoba agar 'Ran', gadis kecil tadi, tidak iseng untuk menjegal roda atau menghalang-halangi Kellan.

Ketika Tower berhenti, sosok kecil seperti Ran, namun dengan rambut hitam dan manik hitam, mendekati mereka dan menunduk hormat.

"Rin, ajak Ran buat teh untuk tamu kita. Yang biasa saja." perintah sang tuan rumah lembut. Dua Golem itu saling bertatapan, Ran menatap kecut ke arah Kellan sebelum akhirnya mengekori Rin menuju ke arah dapur.

"Kurasa anda punya banyak sekali pertanyaan, tapi aku tidak yakin bisa menjawab semuanya."

Tower duduk di salah satu kursi berlengan kayu, jari-jarinya ia silangkan di depan dagu, ekspresinya terbuka dan bersahabat. Kursi roda milik Kellan ia sandingkan di sebelah kursi yang didudukinya, alih-alih membuat mereka dekat dan setara.

"Apa kota ini nyata?"

Wanita itu awalnya tertegun, sebelum akhirnya terbahak. "Kalau kujawab kota ini 'mati', bagaimana, apa anda akan marah, Magician?"

"Memang tidak ada jawaban yang lain," pungkas Kellan, menginderai bahwa mereka punya selera humor yang mirip. Pertanyaan tadi bukan candaan, akan tetapi. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Aku membuat perjanjian dengan seseorang – ah, bukan, anggap saja dia 'malaikat maut', karena sekarang kita ada di Kota Mati."

Kellan terhenti. Segera di benaknya terbayang akan empat Arkana yang tidak diturunkan, Fool, Death, Tower, dan Judgement. Tapi, Arkana perlambang kematian tidak pernah ambil andil ke arah sana, mengingat tidak ada lagi tanda-tanda Arkana nomor tiga belas itu aktif setelah Perang Arkana Terakhir.

Apa yang dimaksud Tower sebagai 'malaikat maut' belum tentu berarti 'Death', hanya kebetulan saja Kellan terpikirkan demikan.

"Perjanjian? Dengan seorang pemegang Arkana hebat sepertimu?"

"Aku tidak bisa mendefinisikan diriku sebagai hebat, Nona Magician, tapi ya, terserah padamu," ia terkekeh. "Aku hanya ingin hidup tenang, jauh dari intrik Medea."

Tower menunggu dua pembantu kecilnya menaruh teh di atas meja bulat yang ada di hadapan mereka. Ran masih saja bermuka sinis, berbeda dengan Rin yang tersenyum manis. Mereka mundur bergiliran, mengambil tempat di sisi pembuatnya di bagian kanan kursi berlengan.

Gelas keramik hijau itu berisi teh berwarna merah pekat, ada wangi berbagai herbal timbul dari uapnya, Kellan tidak bisa menebaknya satu persatu.

"Tidak ada racunnya, kok."

"Ada racun pun tidak masalah, sihir di tubuhku akan menetralkan dengan sendirinya." Ini bukan gertakan, ini kenyataan.

Tower tak pelak membelalakkan mata, "Sepertinya repot sekali menjadi seorang Magician."

"Ya, sangat."

Kellan menyesap teh setelah melihat Tower meminum dari gelas miliknya. Sedikit manis, namun tidak terlalu menyengat mengganggu. Kecut bergamot dan kepekatan krisan beradu, membuat urat tegang di lidahnya perlahan melembut.

"Kamu seorang herbalis, di ladang gersang begini?"

"Terasa, ya, dari tehnya. Aku sering panen dari perkebunan di sekitar Distrik 32."

"Sampai mana kita tadi?"

"Heh, tidak bertele-tele. Aku menyukaimu, Magician."

"Maaf, tapi sudah ada orang lain di hatiku."

"Oh, kamu pun sangat tahu cara untuk menyayat hati pengagum. Sempurna."

Tower menjentikkan jari sekali, sebuah layar muncul di udara menggambarkan citra sebuah – ralat – ratusan Golem yang tampak mirip dengan 'Ran'. Golem-golem itu ada dalam keadaan tidak aktif, mereka berjejer selayaknya berbaris di dalam sebuah barak yang tampak tidak digunakan selain sebagai tempat penyimpanan senjata.

Kellan menelan ludah, "Kamu meminjamkan tentara Golem sebagai persyaratan?"

"Sebelum anda menghakimi saya, ada batas-batas tertentu yang kuajukan pada malaikat maut untuk penggunaan anak-anakku ini," Tower menyilangkan jarinya lagi, air mukanya rileks, seperti tidak merasa bersalah maupun berdosa. "Mereka tidak boleh digunakan untuk membunuh."

"Tapi-"

"Itulah alasan kenapa aku tahu kamu adalah Magician, Nona."

Tower mengulurkan tangan pada Rin, segera Rin mengeluarkan sesuatu dari kantung yang ada pada jubah putih yang ia kenakan: sepasang mata boneka berwarna biru. Wanita bersurai hitam itu menunjukkan mata tersebut untuk Kellan lihat. Mata itu kemudian mengeluarkan nomor seri yang Tower proyeksikan ke atas meja.

"Setiap Golem memiliki kemampuan untuk merekam data. Semua data itu akan sampai kepadaku, walaupun ada intervensi sekalipun dari sang malaikat maut," Tower menjelaskan. "Golem yang kamu kalahkan saat itu menangkap memori mengenai siapa yang mereka lawan: Hermit, Hanged Man dan juga Magician."

Proyeksi dari mata itu memainkan kilas balik saat Kellan tengah membalikkan serangan pilar batunya. Hingga pada akhirnya, Kellan berhasil menghimpitnya di antara batu dan menghancurkan bagian kakinya. Kellan ingat ia masih merasakan keberadaan Golem tersebut, namun Golem itu memilih untuk kabur. Mungkin, tidak lama setelahnya, Golem itu hancur karena mendera banyak kerusakan, dan sang majikan melihat apa yang telah terjadi.

Tower tidak terlihat marah melihat kreasinya dihancurkan, juga tidak terlihat takut melihat bagaimana pertarungan itu berlangsung.

"Jadi, kamu sudah mengira salah satu dari kami akan mencarimu?"

Tower menggeleng pasti, "Tidak juga, tapi aku yakin kalian tidak akan tinggal diam mengetahui pemegang Arkana asli Tower masih ada di suatu tempat, dan ..." ia mengerling. "Aku yakin juga anda ke sini bukan sekedar mencari jawaban."

Giliran Kellan tersenyum, "Bagus, aku tidak perlu bertele-tele lagi, kalau begitu."

Berdiri dari kursinya, Tower segera diikuti oleh dua Golem kecilnya menuju ke arah kamar. Sekilas, Kellan melihat kalung bermata merah yang ada di lehernya bersinar lebih terang, seakan merespon antusiasme sang pemilik.

"Jawabannya adalah 'ya', aku akan ikut denganmu ke SPADE."

"Lalu? Sepertinya kamu ingin mengucapkan syarat."

"Tunggu saja di sana, nikmati teh anda." Ia melepas tali yang mengikat rambutnya, Kellan segera menarik mata dari memerhatikan, terutama ketika kemeja putih itu sudah ditanggalkan ke arah lantai. "Ada satu tempat yang ingin kuberitahu sebelum kita pergi."

Di Kota Mati seperti ini tidak ada apa-apa, pikir Kellan awalnya, ia menerawang ke arah langit mengamati lampion. Teh di lidahnya mulai terasa sedikit sepat.

"Ada satu bangunan yang tidak hancur ketika tragedi itu terjadi," suara Tower lembut mendayu. "Perpustakaan 7B, daerah arsip istimewa Kaulis."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro