7. TERHIPNOTIS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maaf, kalo saya terkesan nggak tahu diri dan sok pintar. Coba Mbak Ina pikir lagi juga. Sebagai pemilik, Kia harus kenal produk yang dijual. Apa itu salah?" Magara melirik ke arah Kia yang masih diam sambil memegang cangkir kopinya. Sedikit ragu datang mengganggu, tapi dia harus jalan terus demi keberhasilan tujuannya. 

"Lanjutin, Gara!" Ina bersedekap dan siap mendengarkan. 

Kia belum memberikan reaksi apa pun. Dia biarkan Magara mengatakan semua pendapatnya. Dia kesal? Itu pasti, sudah dari tadi dia ingin menyemprot dan mengusir baristanya itu untuk pulang. 

"Gue lebih baik panggil Mbak Kia saja, nggak sopan rasanya mengingat ehm …." 

"Umur gue yang lebih tua? Fine, whatever you want, Magara. Lanjutin!" potong Kia langsung, karena dia melihat keengganan Magara yang tumben muncul setelah jadi pegawainya. 

"Ok. Gue mau ajarin Mbak Kia soal kopi, gue lihat hal basic saja Mbak Kia nggak tahu."

"Kenapa gue harus tahu? Gue cuma  harus memastikan kafe tetap berjalan dan kalian digaji." Kia meletakkan cangkirnya yang sudah kosong. 

"Iya, tapi Mbak Kia sudah dua kali ganti barista, dan mereka juga sempat berbohong soal harga bahan tertentu waktu belanja." 

Ina dan Kia saling berpandangan. Keduanya sama-sama tidak tahu mengenai ini. 

"Bukan hanya hal teknis seperti ini yang Mbak Kia harus tahu, tapi juga harus mengenal dan menyukai." 

"Tunggu, Gara! Jujur gue nggak tahu sama sekali soal barista sebelumnya yang bohong." Ina menyesal sekali sampai ada kejadian seperti itu. 

"Lo nggak salah, Na! Mereka langsung lapor dan minta dana ke gue soal beberapa bahan yang habis. Sepertinya nota yang mereka kasih juga palsu." 

"Bisa saja. Kalo Mbak Kia mau gue bisa cek notanya." 

"Nggak ada gunanya, orangnya juga udah kabur. Gue akan pertimbangin saran lo. Sekarang udah terlalu malam, mending pulang dan siapin tenaga buat besok." 

Ina sudah berlalu pulang, tinggal Kia yang mengunci rolling door depan dan menitipkan kunci ke security yang berjaga malam itu. 

"Mau gue temenin pulang, Mbak?" 

Tangan Kia terhenti saat akan membuka pintu mobilnya. Dia pikir Magara sudah pulang bareng Ina tadi. Ternyata dia masih berdiri di dekat pos security

"Nggak perlu, rumah gue jauh dan lawan arah sama tujuan lo. Mending lo pulang, gih!" Kia hanya menatap Magara sebentar lalu membuka pintu mobil bagian kemudinya. Tetapi suara langkah mendekat, membuatnya menduga kalau barista itu mengacuhkan sarannya. 

Lo mau apa, Magara? Jangan bikin gue bersikap ketus lagi karena detak jantung yang menyebalkan ini. Sial! 

Tangan Magara terulur dan menyentuh lengan dan turun ke telapak tangan Kia yang memegang kunci. 

"Gue harus pastiin Mbak Kia sampai ke rumah dengan selamat," bisik Magara tepat di telinga bosnya. Aksinya berhasil karena kunci mobil sudah berpindah ke tangannya. 

Untuk sejenak Kia seperti tersihir dengan ulah Magara. Di usia akhir dua puluhan, Kia belum pernah menjalin hubungan dengan pria. Apa itu jadi penyebab apa yang dia rasakan sekarang? Dia tidak menolak meskipun sangat ingin membentak Magara. Cowok ini sangat tahu cara memperlakukan dirinya. 

Hingga mobil melaju ke jalanan yang lumayan macet, Kia hanya terdiam sambil sesekali melirik Magara. 

"Apa gue seganteng itu?" 

Kia langsung tersadar dan memalingkan muka. "Gue harap cuma kali ini saja lo anterin gue pulang." 

"Kenapa? Niatku baik, kok! Mbak Kia perempuan dan ini sudah malam. Nggak baik kalo pulang sendirian."

"Jadi, lain waktu antar Ina juga dong, kalo pas dia pulang sendiri?" 

"Ha? Ehm, dia kan udah punya pacar , Mbak. Nggak berani lah." 

"Lo nggak takut sama pacar gue?" 

Ekspresi Magara menegang. Ini di luar informasi yang dia tahu. 

"Gue kira dia bakal marah besar kalo tahu pacarnya dianterin sama cowok lain. Makanya lain kali nggak perlu nganter lagi." 

Seperti ini lebih baik, kan. Lo tahu gue punya pacar, dan jangan deketin gue lagi.

Kia rasa itu yang terbaik baginya. Berhubungan dengan pria akan mengganggu fokusnya sekarang. Ryan akan menyindirnya habis-habisan, dan menganggapnya tidak serius mengurus kafe. Jangan sampai itu terjadi. 

"Jangan melamun, Mbak. Lain kali gue akan minta ijin dulu kalo nganter pulang. Perlu gue anter sampai atas?" 

Kia bengong makin lebar, mereka sudah sampai di gedung apartemennya. Dari mana Magara tahu? 

"Pertanyaan Mbak Kia gue jawab lain waktu, aja. Sekarang Mbak cepat naik dan istirahat. Jangan mikirin saya, ntar malah susah tidur. Selamat malam." 

"Malam."

Magara tersenyum lalu melangkah pergi. 

"Magara." 

Langkah Magara terhenti, dia berbalik. "Kenapa, Mbak? Mau mengundang saya mampir?" 

Kia mulai malas mendengar Magara yang terang-terangan berusaha mendekatinya. 

"Cuma mau bilang makasih." 

"Sama-sama." 

Kia lebih dulu berbalik dan memasuki gedung apartemen. Meninggalkan Magara yang tersenyum geli. Wajah merona Kia berulangkali muncul tadi. Apa usahanya berhasil? 

Jangan buru buru ambil keputusan, lo. Kia akan kabur dan kalo lo terlalu agresif. Magara setuju dengan kata hatinya. Kia berbeda dengan gadis lain. 

***

Aktivitas kafe berjalan seperti biasa. Pelanggan makin bertambah dari biasanya. Dua minggu berlalu, pemasukan belum signifikan kenaikannya, tetapi Kia patut lega dengan usahanya. 

"Bos K, mau pergi?" Ina yang baru saja melayani pelanggan langsung menghampiri. 

"Ya. Papa pengen ketemu di rumah. Gue tinggal dulu, ya." 

"Bos K. Nggak minum atau makan sesuatu dulu? Sebentar lagi makan siang, muka lo pucat, gitu." Ina khawatir kalau pertemuan Kia dan papanya seringnya berlangsung tidak baik. 

"Nggak ada waktu lagi, Na." Kia berkeras menolak. 

"Jangan berperang dengan perut kosong, Mbak. Minum susu dan sandwich, aja." Magara memberikan nampan kecil dan membawanya ke meja dekat kasir. 

Ina membujuk lagi dan Kia menurut. Baiklah, Kia. Cepat habiskan dan segeda berangkat! 

Magara kembali ke tempatnya untuk membuat pesanan. Dia harus menahan diri untuk tidak mengatakan ingin mengantar. Tetap di kafe adalah keputusan terbaik. Dia melihat ketakutan di mata Kia. Kesal rasanya tidak bisa melakukan apapun saat orang yang dikasihi mungkin sedang dalam masalah. Dia akan cari tahu nanti. 

Saat Magara melihat meja tempat Kia makan tadi, orangnya sudah menghilang. Mobilnya juga tidak ada di tempat parkir. Waktu makan siang, Magara memilih makan di kafe saja. Dia malas keluar, apalagi cuaca agak mendung. 

"Loh, Gara nggak makan siang?" Ina yang baru sampai dari makan di luar, langsung bertanya. Baru kali ini Magara tidak makan siang di luar. 

"Udah kok, Mbak. Tadi anak-anak kitchen masak sayur bening sama sambal terasi. Jadi saya ikutan." 

Ina tidak bertanya lagi. Kafe memperbolehkan pegawai makan di kafe, dan memasak dengan bahan tertentu. Lumayan sekali bagi pegawai yang ingin berhemat. 

"Mbak Ina, boleh saya tanya sesuatu?" Magara menghampiri Ina setelah menyelesaikan transaksi dengan salah satu pelanggan.

"Soal Bos K?" 

Bersambung

Ina macam cenayang, aja. Kayaknya dia serba tahu. Perlu kita wawancara gak, nih? Tanya soal Kia samaMagara bakal jadian, nggak? Wkwkwk

Thank you for reading. See you on the next part.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro