Asleep

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lagu dapat diputar melalui header. Terima kasih dan selamat membaca!

*****

Waktu menunjukan pukul 2:30 tetapi mata ini nggak mau berkompromi dan masih terjaga sambil menatap langit-langit atap. Semua terlihat normal mulai dari pantulan bayangan dahan pohon yang sesekali hilang saat terkena pantulan cahaya lampu kendaraan yang melewati jalan aspal di depan rumahku, hingga suara rintik hujan ringan yang mengetuk atap.

Aku masih menyumpal telinga dengan earphone, daftar lagunya pun sudah kususn rapih; mulai dari Lux Aeterna gubahan Clint Mansell, Mad World yang dinyanyikan oleh Gary Jules, Breathe Me ciptaan Sia, dan satu yang paling kusuka dan diputar terus menerus; Asleep yang dibawakan oleh The Smiths.

Nadanya mengalun manja, ritmenya pun berhasil membius untuk memikirkan hal yang seharusnya kulupakan, dan liriknya mengajakku untuk ... Entahlah, aku lelah. Aku ingin istirahat dan tidur dengan tenang seperti anak kecil yang merindukan momen tidur siangnya ketika sudah tumbuh dewasa.

Sing me to sleep
Sing me to sleep
I'm tired and I
I want to go to bed

Lagu The Smiths itu diputar ulang kembali. Aku menyipitkan mata melihat ke layar tetap dan membiarkan lagunya bermain. Aku nggak bermaksud untuk menggantinya, biar aku mendengarkannya sambil memikirkan Yuki.

Ya, mantanku.

Dia istimewa, dia luar biasa, dan dia kejam.

Kehadirannya bagaikan hujan yang mengguyur musim kemarau panjang; tetapi kepergiannya mencabik-cabik hati ini tanpa ampun.

Aku memiringkan posisi tidur ke arah nakas. Di sana terpampang sebuah kotak musik yang mengukir sebuah tulisan The Legend of Zelda, salah satu gim konsol kesukaanku sekaligus kotak musik pemberian Yuki.

Kotak musik itu kuputar. Nada-nada manis dan menggemaskan pun terdengar. Namun aku merasakan ada yang berbeda di bagian bawah kotak musik ini. Ketika kuperiksa ternyata ada sebuah potongan kertas terselip. Selanjutnya pelupuk mataku mulai berembun.

Sing me to sleep
Sing me to sleep
And then leave me alone
Don't try to wake me in the morning
'Cause I will be gone

***

Malam ini aku ada janji kencan dengan Yuki. Dia mengajak ketemuan di tempat makan kesukaannya sebuah gerai kebab dengan konsep container, kebetulan aku juga suka kebab jadi aku meng-iyakan. Sesampainya di sana mata ini menyusur ke tiap sudut meja, suasananya cukup ramai. Namun, bola mata ini masih belum bisa menemukan keberadaan Yuki.

"Muhammad Hans Cormac!"

Seorang perempuan dengan rambut diikat buntut kuda menyolek bahuku dua kali dan tersenyum manis ke arahku. Matanya berbinar memancarkan perasaan tulus akan pertemuan ini. Satu hal yang nggak kuduga lagi, dia melompat dan ndusel manja dalam dekapanku.

Jujur aku nggak bisa merespon apa-apa selain membatu dan membiarkan degup jantung ini berdetak gak keruan.

"Eh, kok kamu deg-degan, Hans?"

Belum sempat menjawab dia menangkap basah wajahku yang memerah terbakar malu. Yuki tertawa geli lalu membenamkan kepalanya sekali lagi dalam dekapanku sebelum akhirnya kami berjalan ke meja yang sudah ditempati Yuki.

"Kamu mau mesen apa?" tanya Yuki seraya membolak-balikkan menu.

Hans you're imbecile! Aku melihat Yuki sibuk dengan menu aja lucu gimana waktu tadi dia tiba-tiba memelukku?

"Hans?"

"Oh," aku mangut seperti orang tolol dan buru-buru memeriksa menu yang ada dihadapanku. "Pesen yang kamu pesen aja deh."

Yuki mengernyitkan dahinya. Mampus, kayaknya aku salah ngomong, "Emangnya aku udah fix mau mesen apa?"

Aku menelan ludah sekaligus menelan rasa gugupku dalam-dalam. Rasanya seperti di sihir ketika berada di dekatnya. Aku bisa melihat tatapan memikat dari bola mata hitam pekatnya. Dari seberang sana pula aku tahu dia sedang mengorek gerak-gerik canggungku.

"Hans, kasih tahu aku. Kita udah jalan berapa bulan?"

"Dua bulan," jawabku.

Sebelum melanjutkan, dia memberikan menu yang sudah ditulis ke arah kasir. Cara berjalannya juga menggemaskan; mengenakan hoodie biru dongker polos yang kebesaran dan celana jeans senada menutupi kaki jenjangnya dipermanis dengan sepatu converse chuck taylor. Dia gemesin banget.

"Maaf kepotong, sampai mana tadi?"

"Kita udah jalan dua bulan," jawabku singkat.

Yuki menjentikan jarinya, "Aku ngebuat kamu takut nggak, sih?"

Dua es teh manis datang sempat membuyarkan lamunanku. Namun nggak semudah itu untuk mengalihkan topik pembicaraan dari Yuki. Dia menepuk punggung tanganku bermaksud mengingatkan untuk menjawab pertanyaannya. Aku menghela napas panjang.

"Nggak, kok. Kenapa kamu mikir begitu."

"Hans," panggilnya sambil mengaduk dan meminum teh itu, "Aku ngerasa kamu canggung banget sama aku entah saat ketemu langsung ataupun chatting, aku nggak ngebuat kamu takut, kan?"

"Nggak, Yuki," balasku singkat tetapi lembut.

Ia menggigit pipet sedotannya sambil melamun. Sepertinya dia nggak puas dengan jawabanku di satu sisi aku juga mencoba untuk menjelaskan kenyataannya. Memang singkat karena aku bukanlah diplomat yang baik.

Yah, begitulah Yuki, begitulah aku. Berbeda kelas tetapi menyatu karena terikat perasaan sama. Yuki memang insecure banget. Dia mendapatkan rasa takut berlebihnya itu sejak duduk di bangku sekolah dasar. Yuki kecil mencoba untuk menyeberang jalan, kala itu hujan. Teman-temannya sudah lari duluan meninggalkannya. Yuki yang tertinggal mengejar dari belakang dan hampir tertabrak mobil sedan. Ia jatuh telungkup, lututnya terluka dan seragamnya kotor terkena lumpur. Lebih mengenaskan lagi, Yuki bercerita kalau orang yang hampir menabraknya bukan langsung membantu malahan membentak Yuki dengan keras tak luput hinaan keluar dari mulut orang itu. Yuki menangis dan menangis. Dia menyaksikan teman-temannya nggak berdaya untuk membantu dari seberang sana. Sementara di bawah guyuran hujan—Yuki, menangis dan merasa kesepian.

"Aku nggak takut sama kamu, Yuki, malahan aku seneng banget bisa menjalani hubungan ini. Aku cenderung pasif bukan karena takut, jujur aku masih bingung kenapa kamu mau sama aku. Setelah aku mencoba untuk ngejalanin hubungan yang udah menginjak bulan kedua ini, rasanya aku salah menilai semua tokoh masyarakat itu sama berengseknya. Kamu nggak begitu, kok. Sebaliknya, kamu aktris yang menurutku rendah hati dan peka dalam urusan hubungan," jelasku tapi nggak berani menatap matanya.

Sementara di sekeliling kami, orang-orang mulai sadar kalau aku sedang kencan dengan Yuki setelah penutup kepala hoodie-nya nggak sengaja terlepas. Seorang aktris pendatang baru yang namanya melejit beberapa tahun belakangan, tetapi aku sudah mengenalnya sejak kita masih duduk di bangku SMA. Dan tepat saat itulah aku mulai mengaguminya diam-diam.

Kupikir setelah lulus SMA nggak akan bertemu dengannya lagi. Perasaan campur aduk bertarung kala diriku harus sedih atau bahagia karena menginjak masa kuliah; bahagia karena bisa lulus dan masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi; tetapi sedih karena nggak bisa bertemu dengan Yuki lagi. Namun, rencana Tuhan itu hebat.

"Kamu tahu nggak? Tiap malam aku susah tidur karena se-nggak-percaya-itu bisa jadi pacar kamu. Dulu waktu SMA aku sering merhatiin kamu diam-diam. Keluar dari kelas dengan kacamata besar dan rambut yang diikat buntut kuda. Kamu jalan sambil memeluk buku di dada. Sekarang kamu udah jadi orang ternama, tapi aku kagum—kagum banget sama kamu karena sifat rendah hati Yuki waktu SMA nggak pudar walaupun udah punya nama," lanjutku kali ini memberanikan untuk menautkan tatapan kami, "You're not aim for fame and fortune but your heart is bigger than that. Yuki, let me fight for you until dead do us apart."

Ia tersenyum seraya menyeka air matanya yang jatuh dengan pungung tangan. Jujur aku nggak tahu mengapa bisa berkata demikian, seperti yang kukatakan sebelumnya: Hans bukanlah diplomat yang baik.

"Hans, lo sengaja mau buat gue sakit jantung, ya?"

Aku menggelengkan kepala mantap. Dia malah tersedu-sedu dan nggak berhenti menarik tisu yang ada di depannya. Orang-orang membuka ponsel pintar mereka dan mulai merekam. Yuki meminta untuk membungkus pesanan kami dan membayarnya. Tepat sebelum dia membayar semua tagihan, aku langsung menolak.

"Aku mau kita patungan."

"Tapi, aku kan yang ngajak kamu," kata Yuki sedikit memaksa.

"Dengerin aku, kalau kita bayarnya masing-masing berarti aku menghargai percakapan dan pertemuan kita. Kalau kamu sendiri yang bayar, berarti cuman kamu dong yang menikmatinya."

"Ih nyebelin banget, sih," ujar Yuki masih tersedu. Kami pun membayar tagihan masing-masing. Padahal itu cuman akal-akalan aku juga biar nggak dibayarin.

Kami bertolak pukul 20:30. Aku memberikannya helm dan siap menyusuri jalan untuk mengantarnya pulang. Namun di tengah jalan kami terpaksa berhenti karena hujan deras tiba-tba mengguyur. Sebuah halte kecil dengan sebuah penerang jalan menjadi destinasi nggak terduga. Yuki memberikan helm-nya lalu menguraikan rambut basah itu.

"Maaf ya, harusnya aku biarin kamu naik taxi atau tj aja," sesalku setelah melihatnya agak cemberut.

"Kalo aku kenapa-napa, gimana?"

"Eh, anu, bukan gitu," aku menggaruk kepalaku.

Selanjutnya sunyi mewakili kondisi kami hanya ada suara rintik hujan. Sesekali aku melirik ke arahnya, ketika dia mencoba untuk membalas tatapanku lantas aku langsung membuangnya. Telapak tanganku terasa hangat dan bahuku menjadi berat; dalam artian baik.

Yuki menggenggam tanganku erat, sementara kepalanya sudah bersandar pada bahuku. Lagi, aku dibuatnya gugup dan nggak tahu harus merespon apa.

"Waktu acara konferensi pers, aku ngerasa ada yang beda. Aku ngobrol sama manajerku dan dia khawatir kalau aku sakit, ternyata nggak. Saat itulah aku sadar, kalau ada kamu duduk di bangku paling belakang. Kukira kamu bakal memberikan pertanyaan, ternyata temanmu aja yang melempar itu, tapi aku berani bertaruh kalau pertanyaan itu kamu yang buat, kan?"

Aku menggigit bagian dalam rahangku dan bertanya-tanya dalam hati bagaimana Yuki bisa tahu hal itu. Aku pun mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya.

"Sejak hari itu aku nggak berhenti mikirin kamu, Hans. Dulu pas kita masih SMA, aku juga diam-diam mengagumi kamu, tapi apa daya? Aku cuman gadis culun yang sehari-hari dijejalin ulat bulu dan dicemooh karena kacamata besarku. Sekarang kita dikasih kesempatan ini. Aku bahagia, Hans."

Tubuh ini nggak berdaya padahal aku ingin merespon. Hujan mulai mereda diwarnai lampu besar mobil yang berlalu di hadapan kami.

"Your arrival feels like the sweet rain from an long drought. I will fight for you too, Hans, until dead do us apart."

Tatapan kami bertautan. Aku memberanikan diri untuk mendekatkan ikatan itu; sebuah ikatan transparan yang dapat dirasakan dengan intens. Pipinya dingin dan bibir tipisnya sangat indah; seperti bulan sabit. Aku memejamkan mata kemudian mengecup perlahan bagian atas bibirnya. 

Yuki nggak melawan. Ia membiarkan napas dan perasaan kami mengadu malam itu.

Setelah itu kami tertawa, entah apa yang lucu, kami hanya tertawa saja—lepas seolah nggak ada beban yang terjadi. Aku pun memutuskan untuk mengantarnya pulang karena sudah hampir pukul sembilan malam.

"Ohiya, hampir lupa." Yuki merogoh saku jaketnya lalu memberikanku sebuah kotak yang dibungkus rapih dengan pita coklat pastel di atasnya.

"Apa ini, Yuki?"

"Nanti bukanya di rumah aja ya ehehe."

Aku sepakat dan mengantarnya pulang sebelum semakin larut.

Selama perjalanan kami membicarakan hal-hal random dan menertawakan sesuatu yang sebenarnya nggak lucu. Seperti cone yang ditaruh di pinggir jalan sampai membayangkan markah jalan berubah menjadi ular naga panjang.

"Kamu suka The Smiths, kan?" tanya Yuki setengah berseru karena kami sedang dalam perjalanan, lantas aku pun mengurangi kecepatan motor.

"Banget. Aku suka yang judulnya Asleep," ungkapku.

"Aku apal liriknya, mau dengerin nggak?"

"Boleh."

Sebelum masuk ke lagunya dia seolah-olah berbicara seperti penyiar radio, "Satu kosong satu koma satu juta Smiths FM akan menyiarkan lagu kesukaan seorang laki-laki canggung yang nge-fans banget sama band The Smiths. Ohiya, kamu mau request judulnya apa?" Yuki menyundul punggungku dengan helm-nya.

"Asleep!" seruku mantap.

Dia pun mulai bernyanyi bersamaku. Ya, kami melakukan duet yang nggak jelas tetapi bahagia saat melakukannya.

Sing me to sleep
Sing me to sleep
I don't want to wake up
On my own anymore

Sesampainya di rumah, aku mematikan mesin saat berada di depan pagar. Yuki turun lalu memberikan helm-ku.

"Makasih, ya."

Aku mengangguk. Lagi, aku dibuat kaget setelah Yuki mencium pipiku.

"Besok ketemu lagi, ya, Hans!"

"Sampai ketemu lagi, Yuki."

Don't feel bad for me
I want you to know
Deep in the cell of my heart
I really want to go

***

Aku membuka isi kertas itu yang berkata:

"Muhammad Hans Cormac. Bayangin aku Zelda dan kamu Link; cerita gim konsol kesukaan kamu berubah jadi kenyataan dan kita yang jadi tokoh utamanya! Semoga suka ya, Hans."

Hampa. Kata itu yang berhasil mewakili perasaanku setelahnya. Yuki berjanji setelah aku antar malam itu, kami akan bertemu lagi. BOHONG! Dia malah nggak hadir. Namun begitulah waktu, cinta, dan manusia; nggak ada yang abadi. Semuanya fana. Aku pun begitu, Yuki juga.

Aku menangis dalam keheningan. Sekuat tenaga melupakan Yuki, tapi dia selalu hadir menghantui benakku dengan senyum dan suaranya yang menggemaskan. Astaga, Yuki, aku sangat merindukanmu.

Aku nggak menyalahkan mobil yang merenggut nyawamu, tetapi aku menyesali satu hal; aku nggak ada di saat kamu membutuhkanku. Di saat kamu berharap aku ada, aku malah hilang. Bukan kamu yang mengingkari janji kita, tapi aku yang nggak bisa menepatinya.

Yuki, your arrival feels like the sweet rain from an long drought; yet your departure torn my limb to limb. I hate you yet I miss you so much.

There is another world
There is a better world
Well, there must be
Well, there must be
Well, there must be
Well, there must be

Bye
Bye
Bye.

***


*apakah cerita ini harus ada versi panjangnya (read:novel)?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro