1 : Villa Jahanam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dedicated to kudanilbiru, saya menunggu kritiknya selalu ...



Sinta menatap laki-laki di depannya itu dengan pandangan nanar. Dia tak habis mengerti dengan apa yang ada di pikiran keponakannya itu.

"Kamu gila, Rafael !!! Di mana logikamu kau letakkan ? Apa kamu nggak ingat ? Aku ini tantemu, aku adik ayahmu ! Harusnya kamu ingat itu !", sentak Sinta dengan murka.

"Aku nggak peduli. Pokoknya, kamu harus jadi istri aku, apapun dan bagaimanapun caranya !", Rafael menjawab dengan suara membentak membuat nyali Sinta seketika menciut.

Apalagi ketika dilihatnya laki-laki bertubuh tinggi coklat dengan otot-otot seksi dan liat itu berjalan pelan ke arahnya. Dengan kaki nyaris leleh karena gemetar bercampur antara rasa marah dan takut itu, Sinta berjalan mundur.

"Raf !!! Jangan mendekat !!", Sinta mencicit dengan peluh mulai merembes di dahinya.

"Kenapa, Tant ? Kamu takut ?", Rafael tersenyum dengan nada mengejek.

"Karena aku nggak ingin ... aku nggak ingin kamu salah terbawa emosi !", Sinta mencoba mengingatkan Rafael.

"Kamu yang selalu membangkitkan emosiku, Sinta ! Kamu membuatku emosi karena selalu menunjukkan kemesraan dengan Pram di depan mataku ! Kamu yang selalu menguasai otakku, kamu yang membuatku tak mampu melihat perempuan lain, karena kamu yang selalu ada di sini !!!", Raf menunjuk pelipisnya dengan pandangan geram.

"Raf !!! Hentikan !! Jangan mendekat atau ... atau aku akan ... akan berteriak !!", Sinta semakin panik karena ketakutan.

Bagaimanapun, dia tak mungkin akan menang melawan laki-laki didepannya itu.

"Kalau kamu pikir dengan berteriak aku akan menghentikan niatku, kamu salah ! Karena ... kamu hanya milikku !!! Hanya untukku !!"

"Akh !!!", Sinta menjerit ketika dengan tiba-tiba Rafael meraih dan kemudian menghempaskan perempuan bertubuh cenderung mungil itu ke atas ranjang.

Ranjang ?

Tentu saja !

Karena entah setan mana yang membuat Rafael, laki-laki berperawakan tinggi dengan otot-otot yang seksi dan berkulit coklat itu tiba-tiba membawanya ke villa keluarga dengan alasan yang sebenarnya tak masuk akal.

Lalu sebuah kegilaan kemudian dilakukan Rafael, karena dengan mata yang menggelap penuh nafsu, dia lantas menerkam Sinta yang terhempas di ranjang. Dengan kekuatan laki-lakinya, dia membuat Sinta tak berkutik meski tetap meronta hendak melepaskan diri.

Dengan segenap hasratnya, Rafael meraup bibir mungil perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan Tante ini. Menyecap rasa manis yang ada di bibir itu dengan sedikit kasar. Meski Sinta tak berniat sama sekali untuk membalas cumbuannya itu, tapi Rafael sama sekali tak berniat berhenti.

Karena bahkan dia semakin menggila. Baju kantor yang masih dikenakan Sinta di renggutnya dengan paksa, hingga mempertontonkan kemolekan ragawi yang selalu Rafael impikan seumur hidupnya itu.

"Raf !!! Sadar !! Hentikan !!!", Sinta masih sempat mencicit sambil terus berusaha melepaskan diri sebelum akhirnya Rafael berhasil melampiaskan hasratnya.

"Aaakkkkhhhh .... !!!!!", Sinta berteriak ketika Rafael berhasil membenamkan dirinya ke dalam diri Sinta, meski dengan sedikit memaksa tentu saja.

Terpaku.

Sejenak Rafael terpaku bahkan terkejut ketika menyadari ada yang tak biasa di sini. Ya, Rafael sangat tak menduga bahwa Sinta masih perawan. Terasa dengan bagaimana ekspresi perempuan itu ketika Rafael menerjangkan dirinya menembus perempuan itu. Apalagi ketika dia juga merasakan ada yang terkoyak oleh kejantanannya yang selalu menegak setiap kali berdekatan dengan perempuan ini.

Tapi Rafael telah dikuasai oleh hasrat liarnya sehingga membuatnya tak mendengarkan suara hatinya, bahkan tangisan Sinta pun tak dihiraukannya sama sekali. Karena dia seperti singa lapar yang tak menemukan mangsa selama beberapa bulan. Dengan segenap hasrat dan nafsunya, dia menghentakkan diri menyerang Sinta yang hanya bisa menangis.

Dan ketika akhirnya Rafael menemukan puncaknya, dia memuntahkan lahar nafsunya dengan penuh kesengajaan di rahim Sinta. Sepenuh-penuhnya. Dengan harapan bahwa akan tumbuh janin di sana, agar dia memiliki Sinta seutuhnya. Untuk kemudian melenguh puas, menikmasti sisa-sisa pelampiasannya kali ini.

Dengan peluh yang membanjir, Rafael menggulirkan tubuhnya ke samping Sinta, menyisakan perih di kewanitaannya, dan juga pedih di hatinya. Bahkan, rasa sayang sebagai seorang tante kepada keponakannya, kini musnah entah kemana.

Karena Sinta kini merasakan sebuah kebencian yang menggunung.

* * * * *

Di sebuah gedung komplek perkantoran elite yang berada di pusat kota, seorang perempuan cantik modern dengan wajah jutek terlihat mondar mandir di lobi gedung tersebut. Beberapa kali dia terlihat menghubungi seseorang lewat telepon genggamnya.

Beberapa kali terlihat tak ada jawaban, karena wajah gadis cantik itu jelas menunjukkan kekecewaannya. Tapi ketika pada panggilan ketika, sepertinya si tujuan berkenan mengangkat teleponnya.

"Kamu kemana saja sih, Raf ? Kamu nggak lupa kan kalau hari ini kamu udah janji sama aku untuk nganter aku ke butik ? Lusa kakak aku tunangan, dan kamu udah janji nganter aku", perempuan itu berkata sengit dengan kemarahan yang tak bisa di tutupinya lagi.

" ..... ..... ..... "

"Apa, Raf ? Kamu ada di luar kota ? Kalau becanda jangan kelewatan dong, kamu kan udah janji mau nganter aku ? Kok bisa-bisanya kamu sekarang ada di luar kota ? Mendadak lagi ?"

" ..... ..... ....."

Entah apa alasan yang dikemukakan Rafael, laki-laki yang kini sedang ditelepon oleh perempuan cantik ini, sehingga dengan mudahnya perempuan ini luruh kemarahannya.

Oke, siapapun bahkan sangat tahu, bahwa Rafael memang laki-laki penuh pesona dan daya tarik yang luar biasa. Bagaimana tidak ? Rafael Asmawirdja adalah cucu pertama keluarga Asmawirdja yang terkenal aristokrat karena adanya sedikit percikan darah biru dalam trah mereka.

Laki-laki berperawakan tinggi dengan kulit coklat khas asia, dengan beberapa otot liat yang menyembul diantara lengannya, juga body yang semakin sempurna karena adanya six pack yang menambah kesan seksinya semakin menggoda.

Dan di villa keluarga Asmawirdja ...

Rafael melempar telepon genggamnya ke atas ranjang usai menerima panggilan beruntun yang membuatnya sangat jengah. Siapa lagi kalau bukan Susan, perempuan semampai dengan bodynya yang sempurna karena dia memang seorang model.

"Mengganggu saja !", Raf menggerutu.

Lalu sekonyong-konyong, pandangannya tertuju pada perempuan yang terbaring terisak di sampingnya. Tangannya menggenggam erat sisi selimut yang tersempul di depan dadanya. Sesekali guncangan bahunya masih terlihat, meski tak lagi sekencang tadi.

Raf memiringkan tubuhnya yang masih telanjang, menghadap ke tubuh Sinta yang berbaring membelakangi dirinya. Pelan, dia mengusap bahu telanjang perempuan itu, mengecupnya lembut yang entah mengapa dan bagaimana, hal itu malah membangkitkan sisi liarnya yang menuntut untuk dipuaskan, segera.

Maka tanpa menunda hasratnya lagi, Rafael membalikkan tubuh Sinta. Dan perempuan yang masih letih itu terkesiap hendak meronta kembali, tak ingin mengulang kesalahan yang sama seperti yang tadi dilakukan Rafael.

Tapi bukan Rafael namanya kalau dia mampu dicegah, karena pada menit berikutnya, dia bahkan berhasil menggeluti Sinta kembali. Mengecup dan menyecap segala rasa yang disuguhkan oleh kemolekan Sinta. Yang bahkan tangisnya seperti sebuah nada yang membuai Rafael mendaki surga impiannya.

Dan Rafael yakin, surga itu kini tenga dinikmainya sepenuh jiwa raga. Karena dia yakin, bahwa Sinta memang telah ditakdirkan untuknya.

Sementara Sinta yang tak mampu melawan kekuatan Rafael hanya menangis tertahan, bahkan ketika Rafael terus menghentaknya dengan sangat kasar, seolah ingin menuntaskan semuanya saat itu juga.

Dan sialnya, Rafael tak juga usai. Meskipun tubuh jantannya telah mengkilap dengan keringat, dan Sinta bahkan nyaris pingsan menghadapi kegilaan nafsunya. Dan tanpa mempedulikan perempuannya, Rafael terus memanjakan hasratnya. Hingga pelepasan selanjutnya dia raih, Rafael mengerang penuh kenikmatan.

'Tolong cabut nyawaku, Tuhan ...', Sinta mengeluh tepat pada saat dia kehilangan kesadarannya ...

* * * * *

Malam telah sangat melarut ketika Sinta mendapati kesadarannya. Dia mencoba membuka matanya yang sempat hilang fokus, mengumpulkan segenap kesadarannya yang tadi tercecer. Ketika dia melihat ke sekelilingnya, dia mencoba mengingat kembali keberadaannya saat ini.

Ketika dia tahu, hatinya terasa nyeri. Dia menoleh ke arah kanannya saat ini. Dan terdengar dengkur halus dari seorang lelaki yang kini pulas di sampingnya tersebut.

Rafael ...

Ya, Rafael yang sebenarnya demikian tampan dan gagah itu kini tengah tertidur pulas. Tentu saja dia pulas, setelah sesi pemerkosaan yang dilakukannya beberapa kali hingga mengantar Sinta pada kegelapan tak sadarkan diri itu.

Dengan gerakan halus, Sinta bangkit. Tapi gerakannya tertahan ketika dia merasakan sesuatu yang nyeri di bagian tubuhnya yang paling intim. Sinta meringis menahan perihnya. Namun demikian, dia tetap menguatkan diri untuk bangkit.

Sinta bertekad bahwa dia harus segera berkemas dan meninggalkan tempat ini, atau dia akan semakin membenci dirinya dan laki-laki ini. Maka dengan bersijingkat dia menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya dan tubuh Rafael. Sejenak hatinya demikian nyeri demi dilihatnya ada noda darah di atas sprei itu.

Sejenak, dia menatap Rafael. Entahlah, dia bahkan tak tahu apa yang dirasakannya kini. Karena Rafael, laki-laki itu adalah keponakan yang memang tak terlalu dekat dengannya. Sikap Rafael yang pendiam bahkan cenderung tertutup, membuat Sinta tak banyak mengenal dan mengetahui sifatnya. Usianya yang hanya terpaut tiga tahun dengan laki-laki itu bahkan tak memberikan kesan bahwa Rafael lebih muda darinya.

Tapi kini Sinta tahu, bahkan sangat mengerti, laki-laki seperti apa yang kini ada di hadapannya.

Karena Rafael adalah laki-laki bajingan yang pernah diketahuinya, yang pernah dikenalnya.

Lalu Sinta bergerak pelan memunguti pakaian kerjanya yang tadi terserak karena ulah Rafael. Memakainya dengan sedikit gemetar karena takut Rafael terbangun. Dan dengan langkah ringan, dia berjalan pelan meninggalkan kamar villa yang dianggapnya laknat.

Suasana sekitar villa sangat sepi ketika Sinta merasakan hawa dingin menusuk kulitnya. Rasanya gamang ketika dia sampai di luar. Karena villa ini memang jauh dari pusat kota. Tapi Sinta tak ingin mundur. Maka dengan penuh rasa pedih, dia menghubungi seseorang.

"..... ..... ..... "

"Bisakah aku minta tolong, Nis ?", Sinta bertanya lirih saat dia melangkah meninggalkan area villa.

" ..... ..... ..... "

"Aku di villa kawasan Anggrek. Bisa kan kamu menjemputku ? Oke, aku ... aku tahu ini jauh, tapi bisakah ?"

" ..... ..... ..... "

"Oke, aku tunggu. Terima kasih ya ?", Sinta berkata dengan nada gemetar.

Segera di tutupnya handphone nya dan dia bergegas meninggalkan pekarangan villa, sambil menunggu Anis, teman tomboy Sinta semenjak dari bangku SMA.

Udara di sekitar villa masih terasa dingin bahkan semakin mencekam, membuat Rafael semakin nyenyak oleh kelelahan yang melandanya. Dia tak menyadari, bahwa perempuan yang menjadi obsesinya itu telah meninggalkan dirinya dan villa jahanam itu. Ya, Rafael masih tenggelam dalam sisa-sisa kenimatan ragawi yang dicecapnya dari Sinta, tante yang diam-diam diinginkannya.

* * * * *

"Coba kamu katakan sama aku, apa yang telah terjadi sampai aku harus menjemputmu ke villa itu ?", tanya Anis dengan sedikit penekanan ketika mereka sampai di apartemen Anis, subuh itu.

Sinta masih saja menangis sesenggukan, namun tak juga menjawab pertanyaan Anis. Hal ini tentu saja membuat Anis sedikit geram.

"Sin .... kamu masih menganggap aku sebagai teman kan ?"

Sinta mengangguk.

"Jadi kamu tetap nggak ingin berbagi kesedihanmu ?"

Sinta mendongak menatap Anis dengan pandangan memohon pengertian.

"Please, Nis ... Jangan paksa aku mengatakannya. Setidaknya untuk saat ini"

Anis menatap Sinta yang kondisinya sangat mengenaskan itu dengan pandangan tak mengerti. Tapi persahabatan mereka yang telah terjalin lama, membuat Anis mengerti bagaimana sifat Sinta.

Maka dengan iba, dipeluknya Sinta yang terlihat sangat rapuh dan depresi ini. Bukannya mereda, tangis Sinta semakin menggugu membuat Anis semakin mempererat pelukannya.

"Tenanglah ! Aku akan selalu ada kalau kamu perlu tempat untuk bicara dan berbagi", bisik Anis.

Dalam tangisnya, Sinta mengangguk lirih.

Sementara di villa, Rafael terbangun. Di sela kesadarannya yang belum sepenuhnya pulih, dia meraba ke samping tidurnya. Namun tempat yang dingin dan kosong membuat Raf bergegas terjaga. Matanya mengedar mencari ke seluruh ruangan, namun dia tak menemukan apa yang dicarinya sejak tadi.

"Sinta !!", Raf memanggil dengan suara menggema.

Sepi.

Tak ada jawaban apalagi sahutan.

"Sinta !!", Raf mengulang panggilannya sambil berjalan menuju ke kamar mandi yang ada di ruangan itu. Handuk yang tersampir di sana segera digunakannya untuk membalut tubuh seksinya yang sejak tadi telanjang.

Namun di kamar mandi pun hanya ada kosong. Dia lantas bergegas keluar kamar, mengelilingi segenap ruangan sambil menyebut nama Sinta berulang kali.

Tapi dia tak juga menemukannya. Dan ketika dia melihat daun pintu yang sedikit terbuka, tahulah Rafael bahwa Sinta telah kabur darinya, entah kapan.

"Sial !!!", Raf merutuk sambil mengepalkan tangannya dengan geram.

"Sejauh apapun kamu pergi, aku pasti menemukanmu, Sinta ! Karena kamu hanya untukku !", Rafael merutuk sambil bergegas menuju kembali ke kamar untuk mandi.

Keinginannya untuk kembali menemukan Sinta membuat Rafael memangkas waktu mandinya menjadi sesingkat mungkin. Tapi di sela guyuran air dari shower kamar mandi villa nya itu, Rafael tersenyum penuh kemenangan mengingat keberhasilannya menjadi lelaki pertama dalam tubuh Sinta.

Dia bersumpah bahwa Sinta akan menjadi miliknya, menjadi belahan jiwanya.

Tapi sekilas Rafael tertegun. Dia ingat ada Rama yang posisinya akan sangat menghalangi keinginannya mendapatkan Sinta. Karena Rama adalah lelaki yang paling dekat dengan Sinta akhir-akhir ini. Dan kemesraan mereka seolah mengukuhkan bahwa mereka adalah soulmate.

Tapi siapa yang peduli ? Karena Rafael bertekad akan mengubah takdir, bahwa Sinta bukan untuk Rama. Karena Sinta adalah belahan jiwanya, bukan belahan jiwa Rama.

Atau mungkin usianya yang terpaut tiga tahun di bawah Sinta ? Rafael bahkan tak peduli, meski dia sangat tahu bahwa Sinta adalah tantenya yang paling muda, adik perempuan Ayahnya.

Tapi sekali lagi, siapa yang peduli ?

Tidak dengan Rafael.

Tidak sama sekali.

_ oOo _


Saya suguhkan novel ketiga untuk para pembaca yang mulai order novel saya sebelumnya.  Saya menunggu saran dan kritiknya, tapi maaf jika tidak menjawab. Untuk novel kali ini, mungkin saya akan jadi silent author utk responnya. Yang suka mari vote, yang kurang suka, terima kasih sudah berkenan mampir ...


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#cinta