3 : KENAIFAN YANG FATAL

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Just for shadowshades, unyiel, kudanilbiru, syahaz, najingga, @krisslyd, @subekti2109, @renandaprastiwi,

saya tunggu vote nya ...

So, happy reading ...



Rafael PoV

Setengah berlari aku turun dari mobilku yang kuhentikan di pelataran parkir kantor Adam, yang artinya itu kantor Sinta juga.

Melewati resepsionis yang cantik, aku tak menanyakan apakah Adam ada di ruangannya atau tidak. Tanpa mempedulikan teriakan nyaring si resepsionis, aku segera memasuki lift yang biasanya hanya digunakan oleh jajaran direksi perusahaan Adam.

Aku tak peduli. Untungnya aku kenal dengan salah satu security yang berada di sekitar pintu lift, sehingga aku bisa masuk lift tanpa hambatan.

Ting !!!

Lantai 7, dan aku sungguh tak sabar ingin mengetahui kabar tentang Sinta, langsung dari Adam. Tanpa permisi aku mendorong handle pintu, dan ...

'Setan !', aku bergumam lantas kembali menutup pintu ruangan Adam.

Bagaimana aku harus masuk sementara di dalam si Adam sialan itu sedang bermesraan dengan seorang perempuan.

Mereka sepertinya terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Tapi yang seharusnya terkejut adalah aku, karena perempuan yang sedang berdua dengan Adam dan berbuat mesum itu adalah .... Susan. Perempuan yang akhir-akhir ini dekat denganku.

Sial !!!!

Dasar perempuan sial !

Tak berapa lama, kudengar pintu terbuka dan Susan nampak keluar dengan mukanya yang merah padam. Aku hanya tersenyum sinis saat dia menatapku dengan tatapan penuh rasa bersalah.

"Raf ... aku ..."

"Stop !!! Aku sedang tak ingin mendengar ocehan apapun darimu, karena ada yang jauh lebih penting darimu", kataku menjawab kata-kata Susan yang sedikit gugup.

Dia nampak putus asa tak berhasil bicara denganku sama sekali. Tapi aku tak peduli, aku bahkan kembali memasuki ruangan Adam.

"Sori, Bro ! Aku ... aku tak tahu kamu akan datang ke sini", kata Adam dengan muka gugup.

"Never mind. Toh dia juga bukan siapa-siapaku. By the way ... bagaimana Sinta ?", aku langsung bertanya tentang apa yang ingin aku ketahui. Sesegera yang kuinginkan.

"Itu yang membuat aku kalang kabut. Kamu tahu, dia akuntan andalan yang dimiliki perusahaan kami. Dan baru kali ini dia mangkior tanpa ijin"

Sejujurnya aku sangat ingin marah dengan kelakuan Sinta kali ini. Tapi benarkah ? Haruskah aku marah jika apa yang dilakukan Sinta ini bahkan karena kelakuanku ?

Aku mengusap wajahku yang gusar.

"Kamu tahu alamat apartemennya ?", tanyaku.

Adam mengangguk lantas membuka laptopnya untuk mencari data pegawai. Beberapa saat kemudian dia memberiku catatan kecil berisi alamat Sinta.

Aku menerima dan membacanya sekilas. Aku tahu alamat ini, tak jauh dari lokasi kantor Adam.

"Oke, Dam. Terima kasih untuk ini, aku akan mencarinya ke apartemen", kataku sambil bergegas.

"Tunggu, Raf !"

Aku berhenti mendengar panggilan Adam. Menoleh padanya ketika dia kemudian bertanya.

"Ya ?"

"Ada apa sehingga kamu juga mencari Sinta ? Kamu mengenalnya dengan baik ?"

Aku diam sesaat, tak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi aku selalu punya jawaban cadangan.

"Ya. Tapi sejauh apa, aku janji akan mengatakannya padamu. Tapi tidak sekarang", kataku datar.

Kulihat Adam hanya angkat bahu.

"Oke, katakan padanya bahwa kantorku akan kolap jika dia tak datang"

Aku mengangguk. Tanpa pamitan lagi, aku bergegas keluar dari ruangan Adam. Tujuanku hanya satu, apartemen Sinta.

Oke, tante Sinta, seharusnya ...

* * * * *

Kamar kost Anis yang sedikit luas ini lumayan lapang untuk menginap dirinya dan Sinta saat ini. Ya, semenjak malam itu Anis menjemput Sinta ke villa dalam keadaan kalut dan mengenaskan, Sinta belum lagi pulang ke apartemennya. Dan Anis dengan senang hati menampung Sinta di kost nya.

Seperti kali ini, mereka sedang diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sinta yang sedang memikirkan nasib yang menimpanya dan juga langkah ke depannya yang sekiranya bisa dia tempuh, dan Anis yang sedang menyelesaikan deadline pekerjaannya sebagai seorang editor novel.

"Kamu nggak makan, Sin ?", Anis memecah kesunyian.

Sinta hanya diam tak menyahut, bahkan terdiam seperti tak mendengar sapaan Anis. Anis menatap gadis itu dengan sedikit bimbang. Tapi lantas dia bangkit dari kegiatannya yang berkutat dengan laptop, lalu berjalan ke arah Sinta.

Pelan, dipegangnya bahu Sinta yang sedang termenung dengan tatapan hampa.

"Sin .... kamu belum makan dari tadi pagi"

Sinta menatap Anis sekilas dan tersenyum sedih.

"Belum lapar", jawabnya lirih.

Anis menggeleng.

"Lapar atau tidak, tak akan terasa saat pikiran kita kalut, Sin. Kita makan ?"

Dengan sedikit malas, Sinta beranjak ke meja makan yang ada di dekat mereka. Menyantap makanan dalam diam, bahkan Sinta tak merasakan apa yang dikunyah dan ditelannya. Semua hampa. Sehampa hidupnya semenjak malam terkutuk di villa jahanam, bersama laki-laki paling bajingan yang pernah dikenalnya. Meski laki-laki itu keponakannya.

Dan semua kehancuran itu berawal dari kebodohannya senja itu ...

Flashback ...

Hari memang sudah demikian sore ketika Sinta keluar dari kantornya. Dengan langkah lelah setelah seharian berkutat dengan angka-angka yang membuat dunianya penuh nominal, dia berjalan meninggalkan ruangan yang memang disediakan khusus untuknya. Semua tahu, bahwa dia adalah akuntan paling handal yang pernah dimiliki perusahaan tempatnya bekerja. Tak heran jika dia adalah pegawai yang lumayan awet untuk bidangnya tersebut. Lima tahun sudah Sinta mendedikasikan kemampuannya dalam kalkulasi keuangan pada perusahaan ini. Dan untuk loyalitasnya ini pula, dia mendapatkan imbalan yang seimbang dari perusahaan.

Hari ini, dia terpaksa harus menggunakan jasa taksi untuk pulang ke apartemennya, karena beberapa jam lalu Rama menghubunginya dan mengatakan bahwa dia harus pulang cepat untuk mengantar Ibunya ke rumah Mbak Dewi, kakak Rama. Praktis, dia tak bisa mengantar Sinta pulang sebagaimana biasa.

Sinta tak tahu bahwa di lobbi bawah seseorang sudah menunggu dirinya. Laki-laki dengan tampilan maskulin dan macho, dengan kulitnya yang coklat namun bersih, dengan pakaian kantornya yang masih lengkap tersandang.

Setelah menunggu dengan kegelisahan, laki-laki itu akhirnya bernafas lega setelah dilihatnya sosok Sinta keluar dari lift. Bukan, bukan bernafas lega, karena kemudian dada laki-laki itu berdetak dengan irama indah dan menyenangkan. Bahkan, sesuatu yang lain menggeliat di tubuhnya. Dan ini selalu terjadi saat dia melihat Sinta.

"Hai, Tant ... ", laki-laki itu menyapa begitu Sinta sudah berada dekat dengannya.

Sinta tentu saja terkejut.

"Hei, Raf ? Apa kabar ? Kok kamu disini ?", Sinta menjawab dengan nada suaranya yang riang.

Rafael, laki-laki keponakan Sinta itu tersenyum demikian elegan.

"Aku sengaja ke sini", jawabnya singkat.

Sinta mengerutkan keningnya.

"Kok sengaja ?"

"Aku ada kejutan untuk tante"

"Kejutan ?", Sinta bertanya dengan senyum yang tak lekang dari wajahnya.

"Ayah membelikan aku sebuah villa di kawasan Anggrek. Kalau tante berkenan, mau nggak liburan akhir pekan ke sana, sama aku ?"

"Hanya berdua ?"

Raf sedikit gugup dengan pertanyaan Sinta.

"Oh, tentu saja tidak. Nanti Susan akan menyusul ke sana"

"Susan ? Pacarmu ?"

Rafael tersenyum.

"Belum. Hanya teman dekat"

Sinta mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Bagaimana ?"

"Apanya ?"

"Berakhir pekan ke villa Anggrek ?"

Sinta kelihatan menimbang.

"Tapi aku harus pulang dulu, Raf"

Raf menggeleng.

"Bajuku bahkan masih baju kerja, Raf ?"

"Kita bisa membelinya di jalan menuju ke villa"

Sinta ragu.

"Plisss...."

Sinta menatap keponakannya itu dan tersenyum sambil mengangguk.

"Kita berangkat sekarang ?"

Sinta mengangguk dengan senyumnya yang masih terkembang.

Kemudian Raf mengiring langkah Sinta menuju ke mobilnya yang terparkir manis di depan gedung kantor Sinta. Setelah membukakan pintu untuk Sinta, Raf mengitari mobilnya untuk kemudian membuka pintu dan duduk dengan manis di belakang kemudi.

Raf tersenyum riang ketika melajukan mobilnya menuju luar kota. Ke villa barunya yang baru saja dibelikan ayahnya untuknya.Seperti janjinya, Raf menghentikan mobil ketika melewati toko pakaian dan membeli beberapa potong baju untuk Sinta dan baju santai untuknya sendiri.

"Kita makan dulu, Tant ?"

"Boleh ... boleh ..."

Rafael menghentikan mobilnya di depan sebuah restoran masakan padang.

Sembari makan, Raf berusaha bersikap akrab. Mengingat selama ini mereka tak pernah bertemu karena Raf yang harus study ke luar. Dan selama itu pula, dia tak pernah pulang untuk berkunjung. Karena malah Wisnu, ayah Raf dan juga ibunya yang mengunjunginya sekalian liburan.

"Apakah Susan sudah tahu alamat villanya, Raf ?", Sinta bertanya di sela-sela acara makan mereka.

Raf terkejut, tak menyangka bahwa Sinta akan menanyakan hal tersebut.

"Hmm ... ya ! Beberapa hari lalu kami datang ke sana", jawab Rafael sedikit gugup.

"Hanya berdua ?"

Raf mengangguk.

"Nginep ?"

"Yap !", Rafael mengangguk mantap.

Dan jawaban itu membuat Sinta tersedak makanannya sendiri.

"Nggak usah buru-buru kali, Tant, makannya", Raf menyodorkan minuman ke depan Sinta. Sinta segera meneguknya untuk menhilangkan rasa panas di hidungnya.

Selanjutnya mereka makan dalam diam. Hati Sinta mulai tak tenang ketika sedikit mengetahui bagaimana bebasnya kehidupan Raf.

"Bagaimana kabar Rama, Tant ?"

"Rama ? Dia baik"

"Dia mau seriusan sama Tante ?", Raf memandang sekilas ke arah Sinta untuk kemudian kembali berkonsentrasi dengan kemudinya.

"Pengennya iya", jawab Sinta sedikit malu.

Raf tertawa. Sungguh, senyum malu Sinta membuatnya semakin hanyut dalam pesona perempuan itu.

"Kok pengennya ? Apa dia nggak pengen serius sama Tante ?"

"Nggak usah membahas itulah. Kalau jodoh, pasti suatu hari jadi nikah. Kamu sendiri bagaimana dengan Susan ?"

Raf kembali terkekeh.

"Kok mengalihkan pembicaraan ?"

"Bukan mengalihkan, Raf. Tante hanya tak mau membahas masalah pribadi dengan orang lain"

"Jadi Tante menganggap aku orang lain ?", tanya Raf sambil melihat Sinta, sekilas.

Sinta terkejut dengan reaksi Raf.

"Bukan begitu, Raf. Kamu tentu saja keponakan Tante. Tetapi tetap saja tak enak kan bicara soal pribadi begini ?"

"Aku melihat sepertinya ada sesuatu dengan hubungan Tante dan Rama"

Sinta terdiam. Bagaimanapun Rafael benar. Hubungan mereka belum mengantongi ijin dari orang tua Rama, tersebab usia Rama dan Sinta yang terpaut lima tahun.

"Kalau Rama tak srius dengan tante, kurasa dia laki-laki terbodoh yang pernah ada"

Sinta menatap Raf.

"Maksudnya ?"

"Hanya laki-laki bodoh yang meninggalkan perempuan secantik dan secerdas tante"

Sinta terkekeh.

"Kamu bisa saja"

"Aku serius, Tant. Dan tante bisa menjadikan aku penganti Rama kalau laki-laki itu sampai meninggalkan tante", kata Raf dengan nada serius.

Tapi Sinta hanya tertawa. Dia hanya berfikit pikir ternyata Raf punya selera humor yang lumayan bagus. Tidak seserius ayahnya, juga tidak seangkuh ibunya.

Tak terasa, mereka sampai di villa Anggrek. Suasana sudah mulai malam ketika mereka turun dari mobil. Sinta tampak kagum dengan keasrian villa Anggrek. Bangunannya yang minimalis menunjukkan kenyamanan dan kesejukan.

Mereka memasuki villa.

Dan ketika tanpa sengaja Sinta tersandung alas kaki di depan pintu villa, Raf segera meraihnya membuat perempuan itu tanpa sengaja berada dalam pelukan Raf.

Keduanya berdebar dan saling menatap. Dada Sinta berdebar karena terkejut hampir terjatuh, tapi tidak dengan Raf. Dadanya berdegup ketika menyadari bahwa yang berada dalam jangkauan pelukannya itu adalah Sinta, perempuan yang tanpa sengaja menyita perhatiannya beberapa waktu belakangan ini.

Apalagi ketika aroma wangi menguar dari kelembutan Sinta dan menyeruak ke indra penciuman Rafael. Sejenak, laki-laki itu terbuai.

"Raf, maaf ... ", kata Sinta sambil berusaha lepas dari Raf.

Tapi Raf yang terlanjur terbuai dalam pesona Sinta, tak menggubris sama sekali perkataan Sinta. Bahkan dengan berani, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sinta. Tentu saja Sinta mengelak. Karena dia seakan sadar, bahwa ada yang tidak beres di sini.

"Raf ....", Sinta mencoba mengingatkan.

"Ssssttt ..... ijinkan aku menjadi Rama, Tant", bisik Raf dengan suara bergetar menahan nafsu.

Plakk !!!

Sontak Raf terkejut dengan reaksi Sinta yang di luar dugaannya. Seketika Sinta meronta untuk melepaskan diri dari Raf.

Tapi tidak semudah itu untuk lepas dari rengkuhan Rafael, karena nyatanya laki-laki itu semakin erat merengkuh Sinta. Bahkan dengan setengah memaksa, dia membawa perempuan itu ke kamar villa yang ada di lantai dua. Dengan sedikit usaha keras tentu saja, karena Sinta terus saja meronta ingin lepas.

Ketika sampai di kamar, Raf melepas dan menghempaskan perempuan itu.

"Aku menginginkanmu, Sinta ! Aku sangat menginginkanmu, kamu tahu ?", tiba-tiba Raf berteriak lantang.

Sinta menatap laki-laki di depannya itu dengan pandangan nanar. Dia tak habis mengerti dengan apa yang ada di pikiran keponakannya itu.

"Kamu gila, Rafael !!! Di mana logikamu kau letakkan ? Apa kamu nggak ingat ? Aku ini tantemu, aku adik ayahmu ! Harusnya kamu ingat itu !", sentak Sinta dengan murka.

"Aku nggak peduli. Pokoknya, kamu harus jadi istri aku, apapun dan bagaimanapun caranya !", Rafael menjawab dengan suara membentak membuat nyali Sinta seketika menciut.

Flashback off ...

"Hei, Sin .... ", tepukan lembut Anis menyeret Sinta untuk kembali ke alam nyata. Pelan diusapnya air mata yang mengalir tanpa sengaja.

Lalu Anis merengkuh perempuan kalut itu ke dalam dekapannya. Membuat Sinta semakin meratapi kemalangannya. Meratapi hidupnya yang sepahit kopi tanpa gula itu.

Pekat.

"Sssshhh... ada aku kalau kamu tak bisa menanggung bebanmu sendiri", kata Anis sambil mengusap punggung Sinta.

Tapi Sinta masih tenggelam dalam tangisnya. Luka itu terlalu perih untuk diurainya.

"Kamu sudah ijin karena mangkir dari kerjamu hari ini ?", Anis bertanya setelah Sinta sedikit tenang.

Perempuan itu menggeleng.

"Sebaiknya kamu telepon bos kamu"

"Aku akan menghubunginya nanti", jawab Sinta lirih.

Anis tersenyum melihat Sinta sudah mulai bisa di ajak komunikasi tanpa melamun.

Sementara Sinta mencoba mengolah ulang langkah yang harus ditempuhnya setelah kehancuran ini. Dia mungkin terpuruk, tapi hidup harus terus berjalan. Dia nyaris tak punya pilihan, selain tegar dan kembali menjalani hidupnya. Meski dia tahu, semua tak akan kembali sama sebagaimana semula.

Dan Sinta tahu, bahwa langkah awal yang harus ditempuhnya adalah .... Rama !

* * * * *


Saya tunggu vote nya ... dan juga ... komentarnya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#cinta