Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PERHATIAN:
Sebelum membaca harap perhatikan 3 hal berikut:
- Isi cerita mengandung kebaperan tingkat akut
- Setiap quote yang menarik, bisa kalian share di sosial media dan wajib tag instagram aku (@)yudiiipratama
- Vote terbanyak & komentar menarik kalian di setiap bab akan berkesempatan mendapatkan spesial gift dari Author.
x
x
x
x
[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

Kepada hati yang mendadak bersuara
Selamat! Kau berhasil membuat riuh di dada

Bandung, Februari 2018

Perdebatan antara hati dan logika mulai tak terhindari, dan sialnya, hati selalu menjadi pemenang dalam urusan mempengaruhi diri. Sejak pertemuan bisu yang terjadi antara Fabian dengan masa lalunya, ia memutuskan menjadikan Bandung sebagai tempat keduanya untuk bisa lebih dekat dengan Gisa.

Konyol memang, meskipun tak pernah bertemu lagi setelah hari itu dan ia hanya mengetahui Gisa menempuh pendidikan di salah satu kampus ternama di Bandung, perasaan justru mulai mengambil alih kendali akalnya. Fabian yang menetap dan beraktivitas di Jakarta menjadi sering ke Sukabirus, Bandung Selatan untuk sekadar menikmati secangkir kopi kemasan di salah saru warung bernama Warung Tauhid di sekitar area kampus Gisa.

Satu dua seruput kopi panas yang sebelumnya ditiup tipis di dalam secangkir plastik itu membuat tenggorokan Fabian ikut merasakan kehangatan. Kesendiriannya di dalam keramaian kota Bandung masih juga membuat hidupnya hampa; bersuara tapi tak bernada.

Beberapa kali pandangannya menatap ke segala penjuru, memperhatikan orang yang lalu lalang, mendengarkan suara adukan kopi Mang Ujang, hingga menutup mata sembari mengembuskan napas pasrah. Ia seakan jenuh dengan hidup.

Sebuah sobekan kertas bekas bungkusan gorengan ia tarik dari atas piring, lalu ia kembali menuangkan segala keresahan yang memenuhi pikirannya tentang sosok masa lalunya, juga tentang kehidupan yang membuatnya jenuh. Hatinya benar-benar diselimuti kegalauan dan melankolis.

Hari ini, suasana hati dan pikiran tak bisa terelakkan

Sekali memandang hanya wajahnya yang terbayang di ingatan

Membawaku pada sebuah kenyataan penuh kepahitan

Tentang sosok dia, merupakan kenangan yang masih saja kuharapkan.

Wajarkah jika hati ini merindu?

Wajarkah jika rasa ini masih saja menggebu-gebu?

Sampai kapan hati ini harus menderita?

Entah ini karma atau kesialanku saja, sampai detik ini sulit untuk membuka hati.

Hidup ini masih terasa kurang, terasa kosong, seperti ada sesuatu yan hilang

Perihal masa depan aku semakin bimbang, ingin terus-terusan bersedih atau mengejar kesembuhan,

Semesta baru saja memberiku kesadaran,

Tiada pencapaian apa pun yang mampu membawa ke puncak kebahagiaan

Selain, bersamamu, hidup bersandingan selaras dengan harapan

Berdua denganmu, merangkai dunia 'kita' di masa depan.

Ah, lagi-lagi memikirkan hal yang tak mungkin,

Sejatinya telah kusadari itu hanyalah hayalan .

Tulisan lama yang mengandung pilu nan sendu membawa Fabian jatuh begitu dalam ke lembah penuh lara. Setelah menuliskan sajak tersebut pada sebuah kertas gorengan, ia langsung merenyukkannya dan melemparnya ke tong sampah.

"Kumaha atuh, Kang? Galoo pisan euyyy," teriak Mang Ujang yang sontak mengejutkan Fabian.

Fabian hanya tertegun diam menoleh ke Mang Ujang. Saat ini, pikirannya menembus pada seorang perempuan yang pernah memainkan temali kehidupannya. Terlihat jelas ia sangat menyesali perbuatannya di masa lalu. Menyianyiakan seseorang yang tulus mencintai, mengejar sesuatu yang hanya bersifat duniawi tanpa memikirkan perasaan orang lain adalah perbuatan yang baru Fabian sesali saat ini.

Ya benar, Fabian memang telah membagi hati, tetapi tidak dengan perempuan, melainkan dengan dia yang bernama—Ambisi.

Karir, pekerjaan yang layak, memang semuanya telah ia dapatkan, kerja kerasannya menjadikan sosok Fabian sukses di usia yang masih terbilang muda. Namun sukses dalam dunia pekerjaan saja tidak cukup untuk membuat hidupnya seimbang, kebutuhan hati harus ada juga yang mengisi agar perasaan tidak mati. Tampan dan juga mapan, tapi sayang Fabian telah gagal dalam percintaan.

Saat ini Fabian tengah membuka galeri foto pada ponsel-nya, matanya tepat di depan layar yang saat ini menampilkan foto wajah Gisa. Ada senyum bangga di sana oleh karena dirinya pernah memiliki seorang kekasih yang sungguh manis. Sosok perempuan yang membuatnya percaya bahwa bidadari juga ada di bumi.

Agisa Arafadyah adalah sosok perempuan yang berhasil manaklukkan hati Fabian di masa putih abu-abu. Seorang yang sangat mengerti Fabian dengan semua kekurangannya, yang sangat mengasihinya meski Fabian tak pernah menyadari keberadaan Gisa yang selalu ada untuknya. Bahkan ketika Fabian berada di situasi tak ada orang yang mempercayainya lagi, Gisa selalu hadir sebagai penolak bala tersebut. Semua komentar negatif orang-orang terhadap Fabian ditepisnya. Tak jarang pula Gisa meyakinkan mereka bahwa Fabian adalah sosok laki-laki panutan mengalahkan Rangga dan Dilan.

Gisa tak henti-hentinya selalu memberi perhatian lebih pada Fabian, kasih sayang yang tulus juga cinta yang luar biasa ia berikan dengan cuma-cuma. Hingga suatu ketika semua berubah, cintanya justru dibalas dengan derai air matadan pilu yang menjadikannya sendu.

Apa yang salah dalam hubungan mereka? Semua janji yang telah terucap untuk sehidup semati telah terkhianati. Bahkan komitmen untuk tetap bersama, saling menguatkan, lambat laun menyusut dengan sendirinya. Komunikasi yang kian menipis menimbulkan jarak di antara keduanya kian melebar. Fabian dengan kesibukannya, Gisa dengan rasa memendamnya mengharuskan hubungan mereka kandas di tengah jalan. Hubungan berakhir begitu saja tanpa ada kata putus dari kedua belah pihak, mereka berpisah dengan status yang masih menggantung hingga detik ini.

Hubungan tanpa ada kejelasan seharusnya meninggalkan penjelasan bukan hilang tanpa berpamitan. Wajar saja jika Fabian dilanda kegalauan, sepertinya ia masih mengharapkan cinta dari masa lalunya.

"Gisa?"

Suara teguran mengejutkan Fabian yang sedang memandang foto Gisa pada layar ponselnya. Segera ia menekan tombol off untuk mematikan layar. Fabian menoleh ke sumber suara.

Seorang perempuan dengan perawakan membungkuk ke arahnya membuat Fabian hampir terperanjat. "Ke—nal?"

Perempuan itu tidak menjawab, ia langsung duduk di bangku kosong depan Fabian. "Gue Erma, teman kampusnya Gisa," sapanya sembari menjulurkan tangannya.

Fabian menjabat tangan Erma. "Gue—"

"Nggak usah lo jawab. Fathur Safabian, kan? Senior sekaligus mantan pacar Gisa?"

Alis Fabian seketika berkerut, namanya disebut dengan lengkap dan cepat tanpa cacat, terlebih singgungannya yang sungguh menyayat. Sebelumnya Fabian tidak mengenal siapa perempuan yang bersamanya sekarang, beberapa detik tercengang, ia langsung bertanya, "Apa sebelumnya kita pernah ketemu?"

Erma menggelengkan kepala. "Enggak. We don't know each other. Gue kenal lo dari Gisa sendiri."

"Kok bisa?" tanya Fabian datar, padahal rasa ingin tahunya tinggi.

"Ah, kepo! Kenapa lo natap-natap foto temen gue dalem banget tadi? Kangen, ya?"

Fabian tersenyum simpul. "Ngaco."

"Masih aja gengsi. Kalian tu sama aja yaaa. Sama-sama berharap, tapi susah jujur dengan perasaan sendiri."

"Lo jangan sok tau. Gue dan temen lo si Gisa udah lama putus. Dia hanyalah masa lalu," jelas Fabian, mencoba mengembalikan harga dirinya

"Sejak kapan lo putisin dia? Dan sejak kapan juga dia mutusin elo?" tampar Erma.

Pertanyaan tersebut membuat Fabian kehabisan kata-kata. Pembahasan yang baru saja dimulai antara mereka sudah semakin dalam, Erma yang baru saja bertatap langsung dengan seorang Fabian untuk pertama kalinya seakan-akan sudah banyak mengetahui seluk beluk kisah asmara putih abu-abu yang pernah dirajut oleh Fabian dan Gisa.

Fabian mendengkus. "Lo pasti udah tahu banyak tentang gue?"

"Not at all. Gisa cerita ke gue tentang kebaikan-kebaikan lo doang, so far nggak ada yang bad. Padahal gue tahu benar kalau hubungan pacaran masa SMA itu banyak lika likunya, tantangannya. Tapi semua yang gue dengar dari Gisa hanya yang manis-manisnya doang. Ha ha, mana mungkin juga hubungan semanis itu bisa kandas tanpa sebab, aneh. gue yakin pasti ada yang nggak beres" Ujar Erma.

Wajah Fabian tiba-tiba berseri. Matanya seakan tertuju membayangkan wajah senyum manis milik Gisa. "Dia nggak pernah berubah. Selalu menjaga nama baik gue."

"I know. Dan ini nggak fair menurut gue! Gisa itu udah ngelakuin banyak hal buat lo di masa lalu. Tapi gue penasaran, kenapa bisa tanpa ada kata putus hubungan lo berdua berakhir gitu aja? Heran gueee."

Erma berusaha keras mengorek masa lalu Gisa yang memojokkan Fabian. "Atau jangan-jangan lo selingkuh ya dari Gisa?

"Jangan sembarangan kalau ngomong! Gue nggak pernah selingkuh, apalagi ngehianatin Gisa." Fabian melakukan pembelaan.

"Terus lo kenapa sama si Gisa? Lo lepasin gitu aja, lo pergi tanpa ada kejelasan. Kalau gue jadi Gisa sih, udah gue cincang-cincang lo." Terlihat Erma memancing Fabian untuk menceritakan segalanya padanya.

"Gue nggak bakalan cerita. Ini masalah personal gue sama si Gisa. Lo nggak ada hak buat tahu." Fabian kekeh untuk menutup mulut.

"Jadi lo mau lari dari urusan yang belum tuntas? Gila yah, emang hubungan itu jemuran, seenaknya lo gantung-gantung! Gue rasa Gisa cuman butuh penjelasan."

Fabian mendengkus kasar. "Terserah lo mau nilai gue seperti apa. Nggak ngaruh. Semua nggak sesederhana yang lu pikir"

Kehadiran Erma yang begitu antusias ingin mengetahui bagaimana hubungan antara Fabian dan Gisa di masa lalu mengingatkan Fabian pada kenangan lama, bertegur sapa kembali dengan orang-orang yang pernah menjadi saksi kisah asmaranya bersama Gisa. Seperti menolak untuk lupa, bahwa dirinya juga pernah meninggalkan luka pada hati yang seharusnya ia jaga.

Erma tidak berhenti membujuk Fabian untuk menceritakan semuanya. "Maafin gue kalau nge gas, tapi pleasecerita ke gueee."

"Sorry, gue nggak bisa cerita." Lagi-lagi Fabian menolaknya.

Erma mendengkus. "Please, I really want to know about your love story." Wajahnya seketika ditekuk ke bawah. "Hubungan kalian itu langka dan siapa saja yang menjadi saksi pada saat itu pasti ingin tahu akhirnya."

"Gue tetap nggak mau. Kenapa lo begitu penasaran, sih?" tanya Fabian.

"Banyak pertanyaan di kepala gue tentang kisah lo dengan Gisa. Dia susah banget diajak cerita, merasa baik-baik aja tapi sampai sekarang sulit untuk jatuh cinta, padahal banyak cowok seantero kampus ini yang deketin dia, tapi alasannya klise; mau fokus kuliah." Erma menghela Nafas, matanya memandang lurus menatap fabian.

"Gue yakin pasti ada sesuatu yang terjadi diantara kalian, dan—mungkin kalau gue tahu cerita versi lo secara jelas, gue bisa menarik benang permasalahan antara lo dan Gisa. Yah, barangkali setelah ini gue bisa bantu lo untuk bicara langsung dengan Gisa? Karena beberapa kali lo minta waktu buat ketemu, dia nggak pernah mau kan?" Lanjut Erma.

Alis Fabian memekik, suaranya terdengar mendengkus. Lalu sejenak ia terdiam seperti orang yang sedang berpikir. Setelah menimbang-nimbang, Fabian pun menarik napas panjang.

"Janji lo nggak akan bocor? Janji cerita ini berhenti di elo dan cukup untuk lo asal tau?"

Erma memutar kedua bola matanya. "iya udah, janji. Cerita lo aman."

"Baiklah, gue akan cerita ke lo semuanya. Dari awal gue pertama kali menatap Gisa. Dan tatapan itu akhirnya menjadi tatapan pertama yang langsung buat gue jatuh cinta ke Gisa. Saat itu gue mikir bahwa Gisa adalah makhluk Tuhan yang paling indah."

Erma tersenyum lebar. "Hmm, bener kata Gisa. Lo emang romantis."

Perempuan itu langsung memperbaiki duduknya, matanya tajam jatuh ke wajah Fabian yang telah memulai menceritakan masa putih abu-abunya. Masa lalu yang setidaknya pernah membuatnya berjuang untuk menggapai cinta, bukan hanya cita semata.

Gisa ...

Fabian ....

Dan masa lalu mereka yang penuh kejutan.

****
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro