Bab 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

Dalam hitungan detik, aku menyukaimu

Dalam hitungan menit, aku ingin lebih dekat denganmu

Dalam hitungan hari, aku mulai menyayangimu

Lalu waktu berikutnya aku memastikan diri telah mencintaimu

Tanpa sebab, atau pun alasan.

Memang hanya sesingkat itu waktu yang kau perlukan
untuk membuatku jatuh kepadamu

Tapi gilanya –

Perihal hidup bersamamu

Aku ingin selamanya!

Rintik hujan mengetuk kaca mobil Fabian malam itu, alunan lagu Akhirnya Ku Menemukanmu diputar ulang oleh Fabian dalam mobilnya. Lagu yang tadi tak sengaja ia dengarkan dari suara seorang musisi jalanan ketika di Warung Tauhid terus terngiang-ngiang di telinganya, lirik lagu tersebut terasa tepat untuk mewakili suara hati Fabian saat ini, membawanya ke perenungan dalam mengenai menerima keadaan, berdamai dengan diri sendiri, dan mengakhiri cerita sebelumnya untuk memulai sebuah awal baru.

Mampukah ia?

Itulah yang saat ini sedang direnungkan Fabian, pergulatan antara hati dan logika tak lagi terelakan. Hatinya masih terasa menginginkan sosok Gisa kembali, tetapi mengenai Kara, ia juga tak ingin pergi. Sungguh nuraninya masih penuh tanda tanya, apakah rasanya pada Kara memang muncul dari hati atau hanya bentuk manipulasi rasa yang begitu rindu dicinta?

Fabian mengenang kembali proses pertemuannya dengan Kara hingga kemudian menjadi dekat, bagaimana kara bisa mengisi satu ruang kosong di hati yang membuatnya nyaman, namun tak butuh lama menjeda. Imaji tentang Gisa mengambil alih mengingatkannya pada rasa bersalah dan urusan yang belum tuntas. Bila masih ada hal yang tercecer di belakang, bagaimana dirinya bisa melangkah dengan lega ke depan? Tetapi begitu ia lihat ke belakang, kini sosok tersebut sudah tak lagi menoleh ke arahnya. Dia bagaikan api yang menjadikan Fabian abu ketika berada dalam satu frekuensi ingatan yang menyakitkan. Sebegitu besar amarahnya, sebegitu lebar lukanya.

Musik tak bernada dari rintikan hujan membawa jauh imajinya, dirinya diibaratkan sebagaimana ombak yang habis dibentur oleh karang kehidupan, namun mampukah Gisa menjadi seperti lautan? Yang tetap menerima ombak kembali dalam keadaan apa pun meski telah berupaya pergi ke daratan, atau justru Kara adalah teluk yang menampung air ombak yang tak kembali ke laut?

Suasana malam kota Bandung mengurung sendu bersama tetesan hujan yang membasahi bumi pasundan. Membawa pesan rindu, juga memori pilu pada siapapun yang sedang terjebak di ruang kedap suara yang terletak di bagian dalam dada paling inti, yang bernama—

Hati.

Pukul 23.55, Fabian tiba di kamar hotelnya. Usai bersih-bersih diri, Fabian menatap wajahnya dalam pantulan kaca. Ia berbicara pada hati, mencoba untuk mengerti apa mau diri.

Sedangkan di tempat lain, Kara yang lebih dulu tiba di rumah sudah membungkus diri dengan selimut tebal bersiap untuk tidur, namun matanya tak kunjung bertemu kantuk. Di kepalanya, segala tentang Fabian masih berputar-putar mengitari pikiran. Kara sedang mendapati dirinya berada dalam posisi orang ketiga usai mengetahui salah satu fakta terbesar Fabian dari mulut Rara. Kara mengingat percakapannya dengan Rara saat berada di vila kedua.

"Dasar Fabian, padahal dengan segala yang dia punya, dia bisa aja pilih wanita manapun untuk jadi pacarnya," celetuk Rara tiba-tiba ketika menemani Kara menunggu giliran take.

"Maksudnya teh?" tanya Kara.

"Iya dia masih belum bisa move on dari mantannya. Udah dua bulan belakangan karena kostku deket Sukabirus jadi aku sering nemenin dia di warung tauhid cuman buat ngopi dan katanya pengen aja ada disini." Cerita Rara. "Jadi kayak cuman biar deket aja gitu sama tempat pacarnya, padahal berkali-kali ditawari bantuan untuk di temuin tapi dia nya malah nolak mulu, aneh kan?" lanjut Rara.

Kara hanya terdiam, dan menampilkan sedikit senyum untuk merespon cerita Rara. Padahal di dalam lubuk hatinya terasa sedikit kekhawatiran yang entah bersumber dari mana, di tambah malam harinya ketika menunggu jemputan pulang, pancingan pertanyaan Kara tentang masa lalu berhasil mendapatkan jawaban dari Fabian meski tak lengkap. Fabian menceritakan kisah lalunya dengan mata berbinar, dan kadang ditemukannya bibir Fabian kelu, terasa berat saat mengingat sosok yang diduga Kara pernah atau bahkan masih menjadi bagian penting dari hidup Fabian. Perasaan tak diundang yang datang tadi siang bernama Khawatir, malam ini telah berubah menjelma jadi sel yang membuat nyeri di dada.

Ada apa dengan Kara?

Tubuhnya kembali meraih selimut agar melindunginya dari hawa dingin berpadu dengan ingatan yang menjadi sumber rasa sesaknya saat ini.

Fathur Safabian, Jantungnya berdegup tak beraturan begitu mengeja nama tersebut.

  Bisa dipastikan malam itu Kara mengenali jelas nama yang sekarang telah menghuni hatinya, dirinya telah terdeteksi jatuh hati dalam keadaan yang tak pasti.

Masih di kota yang sama, Fabian terlihat sedang menyuruput kopi hitam yang baru dibuatnya di balkon hotel tempatnya menginap. Ia menenangkan diri, juga hatinya dari pergulatan yang sedari tadi berlangsung tanpa henti, sekalipun Fabian juga di kamar mandi.

Tak lama berselang, terdengar dering tanda ada pesan line masuk ke ponselnya. Fabian membuka isi pesan yang tertulis nama Kara sebagai pengirimnya.

Kara               : Kak?

Fabian            : Iya? Kok kamu belum tidur?

Kara mengetik ...

Kara               :Iya, mikirin kakak.

Fabian            :He he he, masih ada hari esok.

Pembukaan percakapan yang berhasil membuat Fabian mulai senyam-senyum sendiri.

Kara               :Kepikirannya sekarang.

Fabian            :Kenapa? Saya baik-baik aja.

Kara               :Tentang tadi, ajakan kakak di eskalator mal

Wajah Fabian tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya ia mengingat peristiwa tadi siang di ekskalator, ketika ia berbual soal tanggal bagus kemudian mengajak Kara menjadi pacarnya hari itu juga.  Fabian tersenyum kemudian membalas pesan Kara.

Fabian            :Oalah itu, kalau kamu belum bisa jawab nggak apa-apa. Lupain aja.

Kara mengetik ...

Kara               :Bukan begitu, aku cuma takut.

Fabian mengernyitkan keningnya, kali ini ia mendudukan tubuhnya di kursi balkon, sembari pandanannya tak lepas dari ponsel dalam genggamannya.

Fabian            :Takut apa?

Kara               :Takut belum bisa menjadi cewek pendamping yang baik buat kakak.

Kara mengetik ...

Kara               :Aku masih anak SMA kak, yang orang-orang bilang masih labil. Aku merasa belum layak buat berada disamping kakak.

Fabian            :Usia kita cuman beda 4 tahun. Jarang ada anak SMA yang menyadari kelabilannya, itu artinya kamu lebih dari itu, dan kara, terlepas dari umur yang cuman angka, aku merasa nyaman sama kamu, kamu memberikan warna baru dihidup aku, mengembalikan banyak hal yang sudah lama hilang dari dalam diriku.

Fabian            :Satu lagi, cuman proses yang bisa menghakimi perkara layak dan tidak layak. Bukan hanya untukmu, tapi juga berlaku padaku.

Kara               :Aku orangnya gampang bosen kak, dan jujur aja, aku juga belum pernah senyaman ini dan sesering ini kepikiran tentang cowok, baru kakak.

Terfokus dengan ponselnya, Fabian telah melupakan kopi hitamnya yang sudah mendingin.

Jemarinya kembali bergerak membalas pesan Kara.

Fabian            :Mau taruhan?

Kara               :Hah? Taruhan apa?

Fabian            :Kalau sama aku nggak akan bikin kamu bosan.

Kara               :Gimana kalau ternyata kakak gagal?

Fabian            :Ambisi Fabian tak pernah mengenal gagal, cuman kenal berusaha dan coba lagi.

Fabian menghela napasnya sambil menunggu balasan Kara, kedua matanya menatap langit yang membentang di hadapannya. Hembusan angin malam secara tiba-tiba mengantarkan tamu yang tak pernah diharap—memori dari masa lalu, menelisik masuk berupaya mengusik hati yang sedang berupaya memantapkan pilihan.

Fabian termenung.

Kara               :Yaudah ayo kak

Pesan masuk lagi dari Kara yang seketika membuat wajah menungnya berubah menjadi senyum. Kara tidak lah labil, hati Fabian yang sebenarnya sedang labil dalam menentukan pilihan, dilahap oleh dilematik rasa yang terus menerus merayap tanpa mampu di tampiknya.

Fabian            :Ayoo apa?

Balas fabian menggoda, padahal sebetulnya dirinya sudah tahu apa maksud dari pesan ajakan Kara itu.

Kara               : Eh iya, ayo apa. Maksudku ...

Di tempat lain, Kara sedang salah tingkah. Senyam-senyum merutuki diri yang tak dapat mengontrol rasa karena pesan yang ditulis oleh dorongan alam bawah sadarnya. Kara menutupi wajah merahnya dengan bantal. Sungguh lucu, orang yang sedang jatuh hati, ketika logika sudah tak mampu lagi mengendalikan rasa yang menggelora menguasai diri.

Fabian            : Yah ayo apa?

Balas Fabian, menggoda sekali lagi

Kara               : Yaa itu kak iaann, ih.

Fabian            : Jadi pacar saya?

Kara mengetik ...

Kara               : Iya

Detik kemudian pupil mata Fabian melebar, ia berdiri kemudian meloncat diatas kasur dan sorak - Yes!. Isi dadanya mendadak langsung berpesta dalam euforia rasa berhasil mendapatkan dia. Fabian mengatur tempo napasnya. Sedangkan Kara di suatu tempat di sana hatinya tak kalah bergemuruh dan tak sabar menanti pesan Fabian selajutnya.

Fabian            :Tanggal 9 April 2018, pukul 01.13, akhirnya setelah petualangan panjang, Fathur Safabian resmi punya tempat pulang!

Kara tersenyum haru melihat isi balasan pesan Fabian, kemudian dirinya terpikir untuk balik menggoda.

Kara               :Nggak jadi ah, kakak nggak romantis, masa nembaknya di chat!

Fabian            :Kan aku nembaknya langsung tauk! Tadi siang di ekskalator, cuman kamu aja baru jawab sekarang

Kara membenarkan pesan balasan Fabian. Ah, dirinya memang selalu kalah dalam beradu kata dengan Fabian. Kara memutar otak membalasnya kemudian merajuk.

Kara               :Tetep nggak mau ah, maunya ditembak ulang , yang romantis!

Pesan bertanda "Read" berjeda cukup lama membuat jantung Kara berdegup, menunggu beberapa saat kemudia ia memilih mengirim pesan lagi.

Kara               :Kak

Kara               :Tidur yah?

Sedangkan di kamar hotel, Fabian sedang fokus menuliskan pesan balasan dengan rentetan kalimat.

Fabian            :

Kara Lestari, terima kasih loh yaa karena sudah tiba-tiba nerobos masuk ke dinding paling batu dalam diri aku tanpa permisi.

Kalau aja perasaan ada hukumnya, kamu pasti udah aku laporin tuh dengan tuduhan masuk ke hati dan pikiran orang tanpa izin , terus seenaknya mundar mandir dipikiran , bikin orang gak bisa tidur!

Tapi sekarang kita sudah berdamai, faktanya aku suka kamu ada di hidup aku sekarang.

Aku seneng mikirin kamu

Aku suka lihat senyum kamu

Aku juga suka godain kamu sampe ketakutan, soalnya biar digandeng. Syukur syukur dipeluk. He he he he.

Udah, ah, capek saya ngetik!

Aku mau kita mengenal satu sama lain dalam ikatan yang membawa kita ke arah yang positif.

Saling mengisi, saling melengkapi , mendampingi , dan lain lainnya.

Intinya merubah kata Aku dan kamu , menjadi Kita.

Mau yaa jadi pacarku?

Mau yaa?

Ya?

Ya?

Mau donggg ....

Harus mau pokoknya!

Usai mengirim pesan ungkapan rasa tersebut, Fabian justru dibuat kembali termenung. Ketika alarm masa lalu berdering mengingatkan Fabian akan urusannya yang belum tuntas. Dengan dia yang masih dirundung pilu, dan mendera luka karenanya. Fabian juga lagi-lagi menarik diri mencoba memastikan pada diri; apakah ia benar-benar jatuh hati, atau ini hanya bentuk dari manipulasi rasa yang rindu dicintai?

Pertanyaan yang selalu muncul di benaknya setiap hari namun belum juga mampu ia jawab dengan pasti.

Fabian langsung menekan ikon panggil di ponselnya, ia memutuskan untuk menelepon Kara. Tak butuh waktu lama, dalam dering pertama suara yang ia nantikan di seberang sana sudah menyapa.

"Halo Kak, kenapa?"

"Nggak apa-apa. Biasa, cuman mau denger suara kamu aja," ucap Fabian, lengkung bibir Kara seolah tak mengenal lelah melukiskan senyum karena Fabian.

"Btw, aku telepon malam-malam, nggak apa?" tanya Fabian

"Sudah terlanjur," jawab Kara dengan mendayu menahan gelora riangnya agar tak meluap.

"Maafin aku, Aku ragu," ujar Fabian membuat suara diantara mereka hening seketika.

"Bukan sama kamu, tapi ragu pada diriku sendiri. Seperti yang sudah kamu tahu dari sumber lain, bahwa aku sedang dalam keadaan sakit," jeda Fabian sejenak mengondisikan hatinya yang sedang bergolak tak menentu, takut salah bicara pada Kara.

"Aku sakit; Ragaku ada di sini, sekarang, dan lagi teleponan sama kamu. Tapi hatiku, masih tertinggal di masa lalu," lanjut Fabian.

Kalimat selanjutnya tak mau Fabian ceritakan pada Kara. Katanya; ia lelah mengulang, dan mengingat kisah yang sama. Kara memaklumi itu, karena napasnya terasa berat kala menceritakan bagian itu padanya.

Pada intinya melalui panggilan telepon kala itu, Fabian melakukan pengakuan pada Kara mengenai situasi hatinya yang masih dihuni oleh sosok dari masa lalunya—yang tak lain ialah; Gisa.

Sudah pasti perasaan Kara malam itu begitu tersayat, nyeri di hati tak lagi bisa dihindari. Namun kau tahu apa yang mengejutkanku berikutnya? Yaitu respon Kara terhadap Fabian yang di luar dugaan.

Helaan napas berat Kara terdengar jelas meski hanya lewat panggilan seluler. "Kak, aku udah pernah janji untuk menjadi dokter kalau aku terus sama kakak, dan sekarang aku mau kakak jadi pasien pertamaku. Aku mau jadi orang yang bisa menyembuhkan kakak dari masa lalu yang menyakiti kakak," suara Kara terdengar bergetar dan terbata. Sudah jelas ia menyembunyikan hal yang sebenarnya ia rasakan.

Pengakuan Fabian sungguh terasa tajam menusuk ke lubuk hatinya, tetapi Kara memilih untuk berkomitmen berada di samping Fabian; mendampinginya, dan menyembuhkannya—sosok laki-laki yang sudah menghuni hatinya, dan diyakini Kara sebagai orang yang tepat untuk mengisi hidupnya.

Mana yang lebih pahit? Ketidaktahuan,

Atau  kebenaran yang menyakitkan?

Tetepi yang pasti, Hati ini telah menetapkan pilihan;

Untuk memperjuangkan.

Fabian tertegun mendengar jawaban Kara. Perkataan Kara membuatnya semakin yakin Bahwa Kara adalah wanita yang dikirimkan Tuhan atas permintaan bahagia yang Fabian panjatkan.

Malam ini, di bawah langit gelap bandung, disaksikan oleh kerlap-kerlip bintang di langit yang membentang. Di bawah rembulan yang ikut malu-malu menampilkan utuh dirinya, dua anak manusia telah sepakat untuk saling mengikat dalam sebuah hubungan yang menjadikan mereka lebih dekat. Membuka masing-masing hati untuk saling mengisi, melengkapi, dan memiliki.

Status baru telah resmi disematkan dalam hubungan mereka. Detik berikutnya panggilan telepon berlanjut dengan bualan Fabian menjadi penghibur Kara di malam hari.

"Pantesan sekarang langit malam cerah banget, dan sinar bintang lagi terang-terangnya. Kamu tau kenapa?" ucap Fabian

"Kenapa?" Kara tersenyum menanti kalimat selanjutnya dari Fabian.

"Mereka sedang ikut merayakan hari jadian kita, mereka ikut bahagia katanya," lanjut Fabian.

"He he he, emang denger mereka ngomong?" Lagi-lagi Fabian tak pernah gagal perihal membuat hati Kara berbunga.

"Dengar, emang kamu nggak?" tanya Fabian. "Oh, iya pantes, mereka malu ngomong sama ciptaan Tuhan yang lebih indah dari mereka, minder katanya," lanjut Fabian, lagi-lagi Kara tersipu dibuatnya.

Percakapan mereka berlanjut dengan Fabian mendongengkan cerita sebelum tidur untuk Kara, hingga suara merdunya perlahan mulai pamit dari kebisingan malam. Setelah memastikan Kara tertidur, dengan terpaksa Fabian menutup panggilan teleponnya.

Malam mendadak senyap

Setelah kamu pamit untuk terlelap

Lampu kamar meredup

Menyelaraskan dengan langit gelap,

Lalu kemudian tersisa sunyi yang merayap

Menggenapi rasa yang meletup

Menolak mata untuk menutup.

****
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro