Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PERHATIAN:
Sebelum membaca harap perhatikan 3 hal berikut:
- Isi cerita mengandung kebaperan tingkat akut
- Setiap quote yang menarik, bisa kalian share di sosial media dan wajib tag instagram aku (@)yudiiipratama
- Vote terbanyak & komentar menarik kalian di setiap bab akan berkesempatan mendapatkan spesial gift dari Author.
x
x
x
x
[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]


            Teriknya matahari tidak membuat Fabian lelah meski keringat sudah mulai bercucuran menembus seragam putihnya. Sesi perkenalan organisasi di aula telah selesai, para peserta MOS dengan arahan dari kakak-kakak pendamping berombongan keluar dari aula secara teratur.

            Aldi yang melihat Fabian menggeleng-geleng kepala sembari tertawa. "Lo emang nggak pernah bosan dihukum sama Pak Hans, ya, Ian. Udah langganan! Ha ha ha."

            "Maklumlah, kalau siswa terkenal mah bebas, Kak," teriak Fabian dengan mata menyipit menahan panas.

            Siswa-siswi yang berhamburan keluar aula mengarahkan pandangannya ke arah lapangan, tanpa ada rasa malu sedikitpun Fabian menebarkan senyum manis kepada mereka yang menatapnya. Fabian berusaha terlihat ramah terlebih ke para siswi. Baru hari pertama masuk, Fabian sudah menjadi pusat perhatian bagi angkatan baru.

            Beberapa saat kemudian, seorang siswi peserta MOS melintas di depannya lebih dekat, ia berjalan tepat di depan mata Fabian. Sontak matanya terfokus pada siswi tersebut. Bagaikan tertarik magnet bola mata Fabian terus mengikuti gerak langkah siswi itu.

Agisa Arafadyah.

Name tag yang terbuat dari kardus bertuliskan nama lengkap siswi tersebut dibaca cekat oleh Fabian dalam hati.Cantik wajahnya, putih kulitnya, lurus rambutnya membuat mata Fabian tidak berkedip sama sekali, Fabian seperti terhisap oleh daya tarik wanita tersebut. Dari sisi lapangan, Pak Hans meneriaki nama Fabian.

            Fabian sama sekali tidak mengindahkan suara Pak Hans yang memanggilnya, ia hanya membayangkan wajah yang telah membuatnya merasakan getaran di hati.

Siapa dia?

Kulitnya mulus banget kayak ubin masjid

Tahun yang barokah, akhirnya sekolah ini kedatangan bidadari

Desis fabian dalam hati, dirinya terpesona oleh sosok siswi baru tersebut. Seketika senyum Fabian mengembang sambil memegang dadanya yang berdetak tak karuan. Ia mengembuskan napas. "Ya Allah, kenapa hati gue nyut-nyut kek gini? Sakit jantung apa ya?" lirih Fabian dalam hati.

            Suasana hati Fabian tiba-tiba berubah, bergetar seperti terkena demam tinggi. Apa ini yang dinamakan jatuh hati? Atau ini hanya perasaan kagum saja karena melihat seorang perempuan yang sungguh mempesona dan berhasil membuatnya terperangah? Ah , tidak tahu! Tidak peduli. Tapi yang pasti, begitu kuat magnet perempuan itu sampai mampu meluluhkan dirinya hanya dalam satu pandangan pertama.

            Cantik,

            Manis,

            Fabian sungguh kalang kabut dengan perempuan yang bernama Agisa Arafadyah, sebuah nama yang kini terngiang-ngiang dalam pikirannya.

            Fathur Safabian!

            Teriak Pak Hans sekali lagi. Fabian langsung memutar kepalanya mencari-cari sumber suara yang memanggil namanya. Fabian akhirnya tersadar dari lamunannya.

"Siap, Pak!" balasnya. Secepat mungkin, Fabian berlari menuju Pak Hans yang sedang bertolak pinggang di koridor depan ruang guru.

"Ikut ke ruangan saya."

Fabian mengangguk, tapi matanya masih mencari-cari ke mana perempuan yang baru saja menggetarkan hatinya itu.

***

Sepuluh hari setelah memperhatikan gerak gerik Gisa selama di sekolah, dimana Fabian selalu membawa buku catatan untuk mencatat hampir semua aktivitasnya; dari pukul berapa Gisa berada di kelas, di kantin, dan pukul berapa Gisa berada di masjid.

Sekarang Fabian juga sudah tahu kebiasaan-kebiasaan perempuan itu; seperti membaca, mendengarkan musik, dan juga suka makan cokelat. Sedetail itu Fabian menelusuri perempan yang belum juga diajaknya kenalan. Entah apa yang ia tunggu.

Pada jam salat zuhur, untuk pertama kalinya Fabian mengikuti salat jamaah di masjid sekolah. Setelah melihat Gisa dan beberapa temannya berjalan menuju masjid, Fabian dengan sigapnya langsung mengambil tempat pada bagian laki-laki.

Saat itu, Windy salah satu sahabatnya tak sengaja mendapati Fabian yang selesai mengambil air wudhu.

Sesaat ingin masuk ke dalam masjid, Windy berteriak, "Gila, gue baru tau setan bisa salat!" Nadanya seperti mengejek.

"Ah, bacot lo mak lampir!"

Tanpa mengindahkan Windy, Fabian langsung masuk ke dalam masjid dan lebih mengejutkannya lagi adalah ia mengambil alih posisi imam.

Wajah-wajah pengurus masjid saling melirik satu sama lain, dan tak ada yang berani menghalau Fabian. "Luruskan dan rapatkan saf," tutur Fabian halus.

Salat zuhur yang dimami oleh Fabian tengah berlangsung. Untung saja pengucapan ayatnya dalam hati, coba aja salat magrib, yang ada Fabian akan ditertawai oleh anak-anak lainnya.

Usai melaksanan salat zuhur, mata Fabian tertujua pada Gisa yang sedang duduk di teras masjid seorang diri sambil mengikat tali sepatunya. Seperti tidak ingin ketinggalan momen, Fabian langsung menghampiri perempuan itu.

"Hai," sapa Fabian, duduk di sebelah Gisa.

"I—iya, Kak?" dijawabnya polos.

"Sekarang jadi imam salat dulu. Latihan, nanti jadi imam di rumah tangga, yaaa," ucap Fabian.

Hampir saja Gisa terperanjat. Tanpa menunggu sanggahan dari Gisa, Fabian kemudian beranjak pergi meninggalkan Gisa dengan sensasi perasaan tak menentu.

Ah, Fabian, lo sadar nggak sih dengan ucapan lo sendiri?

Dasar tukang gombal! Eh masih mending sih daripada tukang bangunan.

Selanjutnya, di pukul 17:00 waktu sore dengan langit yang sudah menampakkan pesona kemerah-merahannya. Wajah itu kembali terlihat berdiri di depan gerbang SMA Negeri Cendekiawan. Oleh karena penasaran, Fabian mencoba lebih dekat dengan pemilik wajah yang tengah memorak porandakan hatinya.

Tak ada keraguan sedikit pun dari Fabian untuk menghampiri juniornya itu. Wajah itu semakin jelas, Fabian kini hanya berada lima langkah saja darinya. Akan tetapi baru saja ia ingin mengajaknya bicara, perempuan bernama Gisa itu langsung melangkah menjauh menuju ke suatu tempat.

Jantung Fabian berdetak dengan cepat, bahkan tak lagi berirama dan bernada sepeti biasa. Perempuan tersebut tidak menyadari kehadiran Fabian lantaran sedang memakai earphone. Kemudian Fabian menuruti nalurinya untuk mengikuti Gisa hanya untuk melihatnya lebih lama.

Gisa diketahui sedang menuju halte untuk menunggu angkot arah pulang. Ia tengah melewati jalan di sisi taman, dan sore itu tak cukup jauh di hadapannya ada sekumpulan lelaki sedang nongkrong menutupi satu-satunya jalan yang akan dilewatinya. Perlahan langkah Gisa pun melambat, lalu berhenti sejenak. Seperti orang yang sedang berpikir, dahinya berkerut. Ia hanya punya dua pilihan; terus melangkah dan beresiko digoda oleh sekumpulan lelaki yang sedang nongkrong tersebut, atau berbalik arah. Memilih jalan memutar yang sangat jauh.

Fabian yang masih berdiri di belakangannya ikut berhenti, ia tersenyam-senyum melihat Gisa. Entah kenapa Fabian mulai berhitung dengan suara yang pelan.

Satu ...

Dua ...

Tiga ...

Tepat pada hitungan ketiga Fabian, Gisa berbalik arah.

Pandangan Gisa masih tertunduk dan belum melihat laki-laki yang dari tadi mengikutinya karena pandangannya yang menunduk ke bawah sambil merutuki kenapa ada sekumpulan lelaki itu yang menghalangi langkahnya.

Dengan cepat, Fabian menghampiri Gisa. "Hei," sapa Fabian pada perempuan itu.

Perempuan itu melepaskan earphone dari telinganya setelah sadar oleh kehadiran seseorang di hadapannya.

"Mau saya temani? Daripada muter  jauh? Yuk," ajak Fabian.

Tak perlu menunggu jawaban Gisa, Fabian memimpin langkah di depan. Gisa tak ada pilihan, tanpa berkata sepatah kata, ia menyetujui penawaran Fabian. Menyusul langkah Fabian, hingga kini mereka berjalan sejajar namun masih berjarak sekitar satu langkah.

Tiga langkah lagi menuju tempat sekumpulan lelaki itu, Fabian menarik Gisa agar lebih dekat dengannya, kemudian meraih tangannya untuk digenggam. Ia tidak melepaskan genggaman tangannya tersebut.

"Permisi," ucap Fabian santai ketika berjalan melintasi para lelaki yang nongkrong di dekat taman. Tak cukup tiga menit berjalan, mereka akhirnya tiba di halte. Kemudian Fabian spontan melepaskan genggaman tangannya yang menggenggam Gisa.

"Eh, keterusan, he he he," Fabian terkekeh. "Maaf, saya lancang," ucapnya menundukkan sedikit kepalanya.

Gisa masih terdiam. Apa yang Fabian lakukan benar-benar di luar kesadarannya, kemudian perasaan penasarannya yang mendorong Fabian ingin berkenalan secara langsung.

"Oh, iya. Sebelumnya kenalin. Fabian. Fathur Safabian."

Gisa melihat uluran tangan Fabian. "Eh, Kak?" Gisa tersadar setelah beberapa detik menatap laki-laki bermata cokelat itu.

"Fabian. Fathur Safabian." Fabian menyebut lengkap namanya.

"I—iya, Kak. Saya Gisa," balasnya terbata-bata sembari menjabat tangan Fabian.

"Salam kenal, ya. "Saya pamit. Hati-hati di jalan," lanjut Fabian. "Selamat juga, kamu sudah berhasil menembus lubuk terdalam hati saya."

Gisa tersentak, kemudian tersenyum simpul dengan alis yang mengkerut. Perasaannya campur aduk. Setelah perkenalan yang super singkat itu, Fabian langsung melangkah menjauh begitu saja dengan senyum yang terus merekah. Meninggalkan Gisa dengan jantung berdebar.

Fabian terus saja berjalan mantap ke depan dengan senyum bahagianya. Kali ini, perasaanya sudah terjawab bahwa benar kalau dirinya sedang jatuh hati pada perempuan yang baru saja ia temui.

Sebagian orang mungkin tidak akan percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Tapi tak semua hati diberi leluasa untuk merasakan indahnya jatuh hati, dan cinta tak mengenali sasarannya—ia bisa datang kapanpun, dan menuju kepada siapapun. Seperti halnya Fabian, untuk pertama kalinya ia merasakan jatuh hati di awal tatapan pertama pada perempuan yang baru saja melukis senyum di wajahnya.

Jangan sampai ada yang tahu dulu, apalagi Agam sama Windy! Bisa-bisa rencana untuk mengetuk hati Gisa bisa dirusak oleh kelakuan mereka yang suka berlaku aneh! Perihal soal hati yang serius, tidak boleh dijadikan bahan bercanda.

****
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro